“Posisi Daerah Khusus Jakarta menjadi sangat strategis dengan anggaran lebih dari 80 triliun serta dalam proses transisi pemindan ibu kota pemimpin Jakarta yang bakal menjadi kota global dan kota ekonomi sangat patut diperebutkan Pilkada Jakarta diharapkan bisa menghadirkan pemimpin Jakarta yang bukan hanya populis tapi punya kompetensi dan kapabilit memimpin transisi,”
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 akan segera digelar pada November mendatang. Ratusan daerah di Indonesia akan menyelenggarakan salah satu hajatan besar politik ini, salah satunya adalah Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Pemilihan gubernur DKJ yang sebelumnya disebut sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta memang menjadi pusat perhatian nasional. Betapa tidak, Jakarta merupakan kota besar yang menjadi pusat kegiatan ekonomi nasional. Provinsi ini juga memiliki anggaran fantastis jika dibandingkan dengan Provinsi lainnya. Belum lagi, Jakarta yang dipandang sebagai etalase politik nasional, di mana siapa pun pemimpinnya secara otomatis akan mendapat panggung untuk bisa berlaga di kontestasi politik yang lebih tinggi, Pemilihan Presiden (Pilpres).
Sebulan menjelang dibukanya masa pendaftaran peserta Pilkada, belum ada satupun pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKJ yang resmi dideklarasikan oleh partai-partai politik. Yang riuh terdengar, baru sebatas nama-nama figur yang konon akan diusung. Sebut saja mantan gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, mantan gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, mantan Panglima TNI Andika Perkasa, dan Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep.
Dalam program Satu Meja The Forum yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (10/7/2024), sejumlah narasumber datang dan berdialog terkait Pilkada Jakarta.
Anies dilirik partai-partai politik
Sebagai Gubernur Jakarta periode 2017-2022 dan calon presiden 2024, nama Anies Rasyid Baswedan memiliki posisi yang kuat di DKJ. Hal itu dibuktikan dengan tingginya angka survei elektabilitas Anies di Jakarta dalam berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga.
Hasil survei itu menjadi salah satu faktor yang membuat sejumlah partai politik melirik dan menyatakan dukungannya kepada Anies untuk kembali berkontestasi di Jakarta sebagai calon incumben.
Salah satu yang sudah terang-terangan menyampaikan dukungan adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tak tanggung-tanggung, PKS sebagai partai pemenang di Jakarta pada Pemilu kemarin juga mengusung nama kadernya, Sohibul Iman, untuk menjadi pasangan Anies Baswedan. Pasangan itu pun kemudian disebut sebagai pasangan “Aman”, Anies-Sohibul Iman.
Terbaru, PKS kedatangan Kaesang Pangarep ke markasnya. Politisi PKS Pipin Sopian menyebut hal itu sebagai silaturahim politik biasa dan bukan untuk menggoyang pasangan “Aman” yang sudah mereka dukung sebelumnya.
“Presiden PKS Pak Ahmad Saikhu selalu mengatakan bahwa politik itu harus diperbanyak silaturahim, meskipun kita misalnya sama atau berbeda tetapi silaturahim itu harus dijaga sampai kapan pun,” kata Pipin.
Kehadiran Kaesang yang merepresentasikan PSI, justru dianggap PKS sebagai kesempatan untuk menawarkan pasangan Aman. PSI yang mendapat 8 kursi di Jakarta, bisa saja tertarik dan bergabung turut mengusung Anies-Sohibul Iman. Terlebih, sosok Anies memiliki angka keterpilihan yang tinggi, didukung dengan kapabilitas yang juga mumpuni.
Tak hanya PKS, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga mengaku sudah menyampaikan dukungan kepada Anies, bahkan jauh lebih dulu ketimbang pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh PKS.
Luluk Nur Hamidah politisi PKB mengaku orang-orang di partainya hanya senyum-senyum ketika melihat PKS dengan begitu percaya diri mengusung pasangan Aman.
“Ketika teman-teman PKS begitu confidence nih, kita senyum-senyum aja. Ini sebentar, sebenarnya barang ini (Anies) milik siapa atau gimana?” ujar Luluk.
PKB yang satu koalisi dengan PKS pada Pilpres lalu mengatakan hal itu sebenarnya sah-sah saja mengingat PKS sebagai partai pemenang di Jakarta dan masih ada waktu satu bulan sebelum pendaftaran calon dimulai.
Hanya saja, sikap PKS yang langsung menyodorkan nama Sohibul Iman dianggap sebagai langkah “mengunci” partai-partai lain untuk mengajukan nama. Meski menang, PKS tidak memiliki cukup kursi untuk mencalonkan pasangan sendiri pada Pilgub Jakarta. PKS hanya memiliki 18 kursi, sementara syarat minimal untuk mengajukan pasangan calon adalah 22 kursi. Artinya, PKS tetap membutuhkan dukungan dari partai lain untuk bisa mengusung Anies.
“Kita ini kan tidak punya Golden Ticket yang bisa mengusung calon sendiri, tentu tidak elok kalau kemudian tidak memberikan ruang kepada partai-partai lain yang kira-kira memiliki kepentingan yang sama untuk bisa mengusung Mas Anies dan membangun Jakarta,” kata Luluk.
PKB dalam mencari sosok calon wakil gubernur pendamping Anies mengedepankan metode yang terbuka dengan diskusi antar partai.
Sejauh ini, PKB memang baru mengunci posisi calon gubernur yang akan mereka dukung, tidak dengan posisi wakilnya. Sejumlah nama dikantongi PKB untuk diajukan sebagai pendamping Anies, mulai dari Jazilul Fawaid hingga Ida Fauziah yang dianggap tak kalah mumpuni jika dibandingkan dengan Sohibul Iman.
“Itu adalah more than enough kalau kemudian dijadiin calon wakil gubernur Mas Anies. Jadi kalau dari sisi itu kita enggak punya keraguan, tetapi sekali lagi ini adalah kerja politik kolektif, ini enggak bisa sendirian. Kita juga harus cek bagaimana dengan PKS, bagaimana dengan partai yang lain. Kita berharap itu nanti akan ketemu di satu meja yang besar yang masing-masing boleh Proposalnya diajukan,” kata Luluk.
Selain tidak mengunci langkah parpol lain, partai politik juga disebut Luluk semestinya memberikan kesempatan kepada Anies Baswedan sebagai pihak yang diusung untuk menyampaikan preferensi dan pendapatnya. Bagaimana pun, Anies lah yang akan bekerja di lapangan bersama pasangannya. Diharapkan, calon gubernur memiliki kecocokan dengan pasangannya dan siap untuk bekerja bersama.
Menanggapi hal itu, Pipin Sopian dari PKS memberi respons. Pihaknya mengajukan nama Sohibul Iman, bukan untuk mengunci pasangan Anies, tapi sebagai bentuk tanggung jawab partai pemenang pemilu, PKS merasa perlu menyodorkan nama yang menjadi bukti bahwa mereka juga memiliki kader yang mumpuni.
Kami punya ikhtiar bahwa kami tawarkan kepada rakyat Jakarta dan juga kepada partai-partai politik bahwa kami punya Mas Anies sebagai calon yang digandeng salah satunya oleh PDIP, PKB. dan mungkin Insya Allah juga Nasdem. Sebagai yang memiliki suara tertinggi, kami menawarkan kader kami namanya Pak Sohibul Iman orang yang punya kredibilitas, punya kapasitas, dan kita ingin ikhtiarkan secara maksimal bahwa PKS dengan kita deklarasikan nama Pak Anies dan Pak Sohibul Iman itu supaya rakyat Jakarta tahu, ini tidak seperti membeli kucing dalam karung. Kita persilakan kepada rakyat, kira-kira apakah diterima atau tidak. Ketika naik elektabilitasnya, kami yakin bahwa setiap partai politik itu rasional mereka akan mendukung siapa yang berpotensi menang ke depan,” jelas Pipin.
Melihat apa yang terjadi hari ini, Luluk berharap tidak ada perpecahan di antara partai-partai pengusung Anies di Pilpres: PKB, PKS, dan Nasdem.
“Dari awal kita bilang kita ingin kekuatan ini tidak berkurang, syukur kemudian kita bertambah. Kita memberi kesempatan kalau misalnya ada kekuatan baru yang kemudian mempersatukan dua elemen besar di Jakarta seperti yang disampaikan secara simbolis ya ada sedikit dari PDIP untuk bisa bergabung dengan PKB mengusung Mas Anis Baswedan,” ungkap Luluk.
PDI Perjuangan memang beberapa kali sempat melontarkan ketertarikannya untuk mengusung Anies di Jakarta. Bergabungnya PDIP, dinilai bisa memperluas kantong suara yang dimiliki oleh Anies dan memperbesar kemungkinan untuk menang dalam Pilgub Jakarta Nanti.
Sebelumnya, Anies yang dianggap satu basis suara dengan PKS, mengantongi suara mayoritas di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan tipis di Jakarta Pusat. Sementara PDIP menang untuk wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat.
Politisi PDIP Eriko Sutarduga tak menampik fakta soal wilayah-wilayah yang dimenangkan tersebut. Namun, ia menegaskan PKS ditambah PDIP belum tentu menjamin kemenangan.
“Apakah PDI Perjuangan dan PKS kemudian bergabung 18+15=33 kemudian pasti menjadi juara? Belum tentu juga. Begitu juga dengan PKB dan PDI Perjuangan,” sebut Eriko.
Ketika disinggung soal arah dukungannya kepada Anies, Eriko menyebut partainya belum memiliki keputusan bulat apakah akan mengusung Anies atau yang lain.
“PKS, PKB, PDI Perjuangan, saya melihat tidak ada yang ngotot menjadi gubernur. Bukan tidak ada orang, di sinilah menurut saya bahwa PKB, PDI Perjuangan, dan PKS itu tidak ego. Tinggal sekarang berbicara mana yang paling mungkin menang. Pilkada (Jakarta) ini selesai, 5 tahun lagi tidak ada, kemenangan sekarang ini menjadi hal yang paling penting, siapapun itu, sehingga tidak satu partai pun boleh egois,” kata Eriko.
Menjadi pilkada terakhir, pasalnya pada 2029 berdasarkan UU DKJ, Jakarta menjadi provinsi yang gubernurnya ditentukan langsung oleh Presiden, tidak lagi melalui pilkada.
Di sisi lain, beredar isu bahwa Anies akan disandingkan dengan sosok mantan Pangliman TNI Andika Perkasa yang saat ini menjadi kader PDIP. Namun, Eriko berpandangan jika mantan pimpinan TNI dijadikan calon wakil gubernur terasa kurang patut, meski bisa saja itu terjadi.
Yang jelas, PDIP masih mengkaji sosok-sosok yang yang kira-kira bisa disandingkan dengan Anies dan berperan memperbesar kemenangan.
“Anies dengan Pak Sohibul Iman kan tidak memperluas (suara), ini kan harus paduan, supaya dikatakan Mas Anies itu adalah gambaran Indonesia, artinya merangkul juga pihak yang lain. Di kami calon wakil banyak,” kata Eriko.
Ia menyebut nama Charles Honoris, Once Michael, dan Putra Nababan. Dalam Skenario lain, PDIP pun mengaku sudah menyiapkan sejumlah nama jika untuk calon gubernur Jakarta. Setidaknya ada tujuh nama, di antaranya adalah Andika Perkasa, Basuki Tjahaja Purnama, dan Pramono Anung.
Semua peluang masih terbuka, meja diskusi diharap akan terus tercipta.
Ahli komunikasi politik Gun Gun Heryanto membenarkan bahwa Anies Baswedan memiliki magnet elektoral yang begitu kuat di Jakarta. Tak hanya untuk namanya sendiri, kekuatan Anies juga terbukti mampu memberi insentif pada partai-partai pendukungnya.
Perebutan sosok Anies Baswedan oleh PKS, PKB, dan mungkin juga PDIP, disebut Gun Gun merupakah hal yang lumrah terjadi.
“Faktor pertama tentu pertimbangan tingkat elektabilitas kandidat, pasti jadi bahan pertimbangan. Tetapi di sisi lain, akomodasi kepentingan di antara partai-partai itu sendiri dalam proses kandidasi,” ujar dia.
Ridwan Kamil: Jakarta atau Jawa Barat
Kegamangan bukan hanya dialami oleh partai-partai yang mendukung Anies Baswedan dalam Pilgub DKJ 2024. Hal yang sama juga dialami Ridwan Kamil.
Jika partai-partai pengusung Anies masih berhitung dan mencari siapa sosok calon wakil gubernur yang paling tepat, maka Ridwan Kamil masih dilanda kegalauan, apakah maju di Jakarta atau kembali di Jawa Barat.
Ridwan Kamil sebagai kader Golkar memang diberi penugasan di antara dua provinsi tersebut oleh partainya dan hingga hari ini (11/7/2024) belum ada keputusan resmi yang disampaikan kemana akhirnya langkah politik RK akan dijalankan.
Di Jakarta, elektabilitasnya cukup tinggi dan mendapat rekomendasi dari partai di Koalisi Indonesia Maju (KIM), koalisi di mana Golkar bergabung dalam konteks Pilpres 2024. Namun, ada Anies Baswedan yang siap menjadi rival beratnya. Di sisi lain, Jawa Barat lebih menawarkan potensi kemenangan mutlak. Langkah RK dinilai lebih ringan untuk mendapatkan kembali kursi Jabar 1 daripada bersaing memperebutkan Jakarta 1.
Politisi Gerindra Ahmad Riza Patria mewakili KIM menyebut pihaknya fokus mencari pemimpin Jakarta yang bisa mendukung program dan kebijakan pemerintah pusat. Dan sosok Ridwan Kamil dinilai paling pas untuk mewakili koalisi besar ini, bertarung di Jakarta.
“Sampai hari ini, KIM ya, yang kami lihat memiliki potensi, prestasi, dan juga elektabilitas, dan popularitas adalah Kang Emil. Atas dasar itulah Gerindra merekomendasikan Kang Emil (untuk Pilgub Jakarta). Dengan siapanya, sedang kita diskusikan. Semua ada potensi (termasuk Kaesang), beberapa nama yang tentu dipertimbangkan,” ujar Riza.
RK diyakini Gerindra memiliki potensi menang dan berprestasi di Jakarta. Keyakinan inilah yang sedang ditawarkan kepada partai-partai lain di koalisi. Dan PAN sudah memberi sinyal baik atas usulan Gerindra ini.
Riza menjelaskan, salah satu alasan mengapa pemimpin Jakarta sebaiknya harmoni dengan pemimpin pusat adalah adanya rencana perpindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur.
“Itu adalah perpindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur, tidak hanya fisik yang harus dibangun di Kalimantan Timur tapi perpindahan orang dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Tidak hanya orang, tapi juga programnya, dan lain sebagainya. Sehingga Kami merasa penting perlu ada keselarasan, harmonisasi berkelanjutan, dan sebagainya antara pemerintah pusat dengan (pemerintah) Jakarta, sehingga proses IKN itu juga bisa menjadi lebih baik dan lebih cepat,” jelas Riza yang merupakan partner Anies memimpin Jakarta 2020-2022.
Dialog selengkapnya mengenai Pilgub Jakarta 2 atau 3 poros dapat disaksikan melalui video berikut ini:
Leave a Reply