“Sebagai menteri selayaknya saya bisa mencarikan pekerjaan bagi anggota keluarga. Saya kan menteri, masak saya punya saudara tercecer-cecer padahal dia punya ilmu yang cukup menurut saya seperti itu.”
Syahrul Yasin Limpo, bekas Menteri Pertanian
Jawaban bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di persidangan Pengadilan Korupsi itu menarik. Menarik karena publik bisa mengetahui bagaimana kekuasaan diperlakukan. “Saya kan menteri…” ucap Syahrul ketika jaksa mengejar siapa Tenri Olle Yasin Limpo dan diakui Syahrul, Tenny Olle adalah kakaknya.
Jaksa mencecar lagi bagaimana ceritanya? Syahrul menjelaskan, Tenri Olle adalah orang yang merawat ibunya yang telah sepuh di Sulawesi Selatan. Tenry merupakan mantan pejabat di Sulawesi Selatan. Syahrul mengaku saat itu sedang membutuhkan tenaga ahli sehingga ia meminta agar kakaknya mengisi posisi tersebut. “Oleh karena itu, secara manusiawi saya minta kepada dirjen waktu itu atau siapa, kalau mungkin dia jadi staf ahli, atau tenaga ahli. Tenaga ahli bukan staf ahli, kalau tenaga ahli itu berarti lepas saja, kalau staf ahli harus masuk kantor,” ujar dia.
Klaim, “Saya kan menteri…” jika terus direpetisi bisa membahayakan negara hukum. “Saya kan menteri…saya kan gubenur…saya kan bupati…saya kan Presiden…saya kan Ketua KPK…. Saya kan camat…saya kan lurah…” memberikan pesan bahwa negara ini telah bertransformasi menjadi negara kekuasaan. Kekuasaan digunakan untuk kepentingan privat, kepentingan domestik.
Klaim, “Saya kan menteri…” masuk dalam katagori korupsi politik. Robert Klitgaard (1988) memberi makna korupsi politik sebagai “misuse of public power for private profit” atau penggunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Definisi yang ditawarkan Klitgaard (1988) itu menekankan pada esensi dan dimensi penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas negara yang dipercayakan kepada pejabat publik guna memperoleh keuntungan pribadi yang sempit (vested interests), baik dalam bentuk uang, kekayaan, jabatan, maupun keuntungan ekonomi-politik lainnya.
Karena itu, Klitgaard menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, refromasi institusional dan perubahan sistema yang kuat agar menjadi insentif yang efektif untuk mencegah penyalahgunaan otoritas kekuasaan negara. (Ahmah Khoirul Umam, Bayang-bayang korupsi politik di tengah tren kemunduran demokrasi di Indonesia: Pelajaran dari dinamika Pemilu Presiden 2024, Integritas: Jurnal Anti Korupsi.
Senada dengan Klitgaard, RoseAckerman and Palifka (2016) dan Johnston (2005) juga memaknai korupsi politik sebagai “the use of public office for private gain”, atau penyalahgunaan otoritas publik untuk memperoleh manfaat yang tidak pantas bagi diri sendiri maupun kelompoknya. Argumen yang serupa juga disampaikan oleh Diamond (2007) yang mendefinisikan korupsi politik sebagai “the abuse of entrusted power for private gain“, yakni penyalahgunaan kekuasaan sekaligus pengkhianatan terhadap kepercayaan publik yang dititipkan kepada seseorang untuk keuntungan pribadi.
Kesaksian demi kesaksian mengejutkan terungkap dalam persidangan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Jaksa Penuntut Umun menuntut hukuman dua belas tahun penjara atas tuduhan telah menerima uang Rp 44,26 miliar dan 30.000 dollar AS. “Tindakan korupsi dilakukan dengan motif tamak,” kata jaksa penuntut umum dalam sidang.
Publik tentunya masih menantikan pembelaan dan juga nyanyian yang akan disampaikan Menteri yang berasal dari Partai Nasdem,. Dan, kemudian vonis yang akan dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam persidangan juga terungkap, uang Rp 1,3 miliar dari Syahrul mengalir ke Ketua KPK Firli Bahuri yang telah mundur dari KPK. Namun, hingga saat ini, perkara Firli masih belum berproses ke pengadilan.
Syahrul mengakui memberikan uang Rp 1,3 miliar kepada Firli. Namun, kuasa hukum Firli, membantah sebagai pengakuan Syahrul bohong.
Siapa yang benar? Biarlah pengadilan memutuskan apakah Syahrul berbohong atau Firli yang berbohong.
Tapi yang pasti semuanya harus dibuka di depan persidangan. Agar klaim, “saya kan menteri”, “saya kan Ketua KPK,” “saya kan camat,” “Saya kan gubernur..”, “saya kan presiden…”tidak terus menerus direpetisi karena itu mengindikasikan kian rampuhnya fondasi negara hukum dan bertransformasi menjadi “negara kekuasaan”.
Leave a Reply