Menjaga “Danyang” Jurnalisme

“….Fungsi pers bukanlah untuk menjilat yang berkuasa tapi justru untuk mengkritik yang sedang berkuasa. Karena tidak ada koran yang berani mengkritik pemerintah maka menteri-menteri seperti Dr Soebandrio makin gila kekuasaan, makin nekad makin sewenang-wenang dan makin korup….”

PK Ojong

Jumat, 28 Juni 2024, saya datang ke Taman Makam Pahlawan Kalibata untuk berziarah ke makam salah seorang Pendiri Kompas, Jakob Oetama. 28 Juni adalah tanggal lahir Harian Kompas, 59 tahun yang lalu.

Berziarah ke makam pendiri adalah tradisi di lingkungan Kompas. Berziarah ke makam PK Ojong (25 Juli 1920- 31 Mei 1980 dan Jakob Oetama (27 September 1931-9 September 2020). Dwitunggal (Ojong-Oetama) itu adalah peletak “danyang” jurnalisme Kompas yang harus terus dirawat.

“Mengingatkan yang mapan, menghibur yang papa,” kata Jakob Oetama dalam beberapa kesempatan. “Ngono yo ngono, ning ojo ngono,” kata Jakob dalam kesempatan lain. “Teguh dalam prinsip lentur dalam cara,” ujar Jakob pada ruangan yang lain. Banyak ujaran Jakob seakan menjadi “mantra” jurnalisme Kompas.

Gaya jurnalisme Ojong terasa lebih lugas. Ojong menulis kolom Kompasiana yang kemudian berhenti. Dalam kesaksian Mochtar Lubis dalam buku PK Ojong: Hidup sederhana berpikir mulia, Mochtar bertanya kepada Ojong. “Pernah saya bertanya kepada dia, mengapa dia berhenti menulis Kompasiana. Ah saya terlalu sibuk dengan bagian manajemen. Hmm, kata saya, tapi kau cukup waktu bekerja macam-macam di luar.”

Dia tersenyum lalu berkata. “Saya merasa tiada gunanya. Kalau kita hendak menulis seperti yang kita yakini kita harus menulis, maka kehidupan surat kabar akan terancam. Jika harus menulis seperti kehendak yang berkuasa, kita tidak hidup damai dengan hati nurani kita. Bukankah lebih baik tidak menulis saja.” (Mochtar Lubis, dalam PK Ojong: Hidup Sederhana Berpikir Mulia, halaman 328)

Saya yang sempat menjadi bagian dari Kompas selama 36 tahun – sejak calon koresponden sampai Pemimpin Redaksi, Wakil Pemimpin Umum dan VP National News KG Media, pensiun 25 Februari 2024, menimba nilai-nilai dari kebijakan Jakob Oetama dan kelugasan serta kejujuran Ojong,

Putra Jakob Oetama, Irwan Oetama memberi sambutan di TMP Kalibata.

Irwan Oetama di Taman Makan Pahlawan Kalibata, menceritakan kembali kisah Jakob dan Ojong membangun Kompas. “Bekerja dengan kaus oblong karena panasnya ruangan,” ujar Irwan. Serba berkekurangan.

Irwan menceritakan pada saat Pak Jakob wafat dan disemayamkan di lobi Kompas. Ia menemani ibunya (istri Pak Jakob). “Ibu sempat bertanya, ‘ini kantornya Bapak?’” tanya Ibu Jakob pada Irwan. Dan, dijawab, “Iya”. Kisah itu menggambarkan, bagaimana keluarga tak pernah ikut campur dalam urusan perusahaan. “Bahkan ibu saya tidak pernah menginjak kantor,” ucapnya.

Begitu juga halnya saat, Irwan mau datang ke Kantor Kompas di Palmerah di kesempatan lain, Irwan bertemu dengan Pak Ojong. Pak Ojong bertanya, Kantor ini hanya untuk karyawan yang bekerja. Keluarga silakan di luar pagar. Luar biasa pengakuan Irwan Oetama. Nilai kejujuran membedakan urusan perusahaan dan urusan keluarga. Itulah “danyang” yang selalu harus dipelihara.

Membaca Kompasiana, seakan membaca kelugasan Ojong dalam menyikapi situasi. Dalam Kompasiana 6 April 1966, Ojong menulis demikian, “….Fungsi pers bukanlah untuk menjilat yang berkuasa tapi justru untuk mengkritik yang sedang berkuasa. Karena tidak ada koran yang berani mengkritik pemerintah maka menteri-menteri seperti Dr Soebandrio makin gila kekuasaan, makin nekad makin sewenang-wenang dan makin korup…..” (PK Ojong, Kompasiana, 1981).

Buku kumpulan esai PK Ojong terbitan PT Gramedia

Sedang membaca Jakob seakan melihat sosok berbeda. Saat ditanya Andi F Noya, soal gaya jurnalisme Kompas, Jakob menjawab, “Jurnalisme itu bukan menggebrak-gebrak meja, tapi meyakinkan.” Jakob kaya dengan frase-frase jurnalisme yang dipahami sebagian wartawan Kompas, seperti jurnalisme makna, media sebagai conscience of nation, media sebagai early warning system.

Saat berinteraksi dengan pemerintahan Orde Baru, tahun 1973, Tajuk Rencana Kompas menulis demikian, “….pers melakukan apa yang disebut early warning system, memberikan peringatan dan isyarat, sehingga tidak terjadi pendadakan sosial….Kita akui dalam usaha menyalurkan pikiran, dalam masyarakat itu, pers adakalanya kurang profesional.”

Buku Syukur Tiada Akhir Jejak Langkah Jakob Oetama

Keduanya saling melengkapi. Wijayanto yang meneliti Kompas dan menulis disertasi di Leiden menyebut Kompas sebagai, “polite watch dog”.

Zaman memang telah berubah. Lanskap industri media berubah total. Model bisnis berubah. Personal media mulai tumbuh dan berkembang. Berbagai disrupsi, disrupsi digital, disrupsi politik terjadi. Di tengah titik persimpangan jalan adalah bagaimana “danyang” jurnalisme Ojong-Oetama dirawat dan disesuaikan dengan zaman yang berubah, agar Kompas tetap bisa memberi arah. “Menjadi kawan dalam perubahan,” tulis Jakob dalam salah satu tajuk rencananya.

Selamat ulang tahun ke-59 Kompas….


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *