“…bagaimana dengan AI itu, apakah dia punya jiwa? Punya empati? Bisa punya humor? Apakah dia nanti bisa mendominasi kita, sehingga kita terancam dimusnahkan oleh si AI itu. Ini pertanyaan besar yang saya kira menjadi fantasi banyak orang, tapi apakah benar atau tidak, saya tidak tahu.”
Ilham Akbar Habibie
Ilham Akbar Habibie, sulung dari Presiden ke-3 Indonesia, B. J. Habibie merupakan seorang insinyur, pengusaha, akademisi, juga aktivis yang kini namanya digadang-gadang maju dalam pemilihan gubernur untuk Provinsi Jawa Barat.
Bertempat di Perpustakaan Habibie-Ainun Jakarta, Ilham, begitu ia disapa, hadir dalam podcast Budiman Tanuredjo (26/6/202) dan membicarakan berbagai hal terkait Indonesia. Mulai dari Industri dirgantara sebagaimana lekat dengan sosok sang ayah, kehadiran kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang dikhawatirkan mengalahkan manusia, e-voting demi tekan biaya pemilu, hingga mengulik soal rendahnya rata-rata IQ orang Indonesia.
Industri dirgantara mandek?
Setiap mendengar nama B. J. Habibie, satu hal yang pertama kali terlintas di pikiran adalah ambisinya untuk Indonesia agar bisa membuat pesawat terbang sendiri. Kita ingat pesawat N-250 Gatotkoco, itulah buah dari mimpi besar Habibie, akhirnya Indonesia bisa menerbangkan pesawat buatan dalam negeri pada tahun 1995.
Sayang, pesawat kebanggaan itu tak lagi diproduksi dan kini fisiknya disimpan di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala (Muspusdirla) Yogyakarta.
Sebagai putra, Ilham sedikit banyak memahami alasan mengapa ayahnya begitu bertekad mengembangkan industri dirgantara di Nusantara. Mulai dari kebutuhan geografis Indonesia yang luas dan terdiri dari pulau-pulau, potensi pasar yang besar, hingga keyakinan untuk memajukan industri-industri kompleks di Indonesia.
“Beliau melihat industri itu sebagai ujung tombak daripada industrialisasi. Latar belakang daripada pemikirannya adalah kalau kita menguasai industri dirgantara maka kita sudah membuktikan kepada diri kita bahwasanya kita mampu menyukseskan industri sekompleks industri dirgantara. Sehingga industri lainnya yang setara atau yang kurang kompleks seperti itu atau yang bahkan lebih, kita bisa punya kepercayaan dan ada referensi untuk itu,” ujar Ilham.
Selain alasan-alasan tersebut, Ilham juga ingat ada salah satu ucapan pendiri bangsa, Bung Karno, yang berpesan kalau kita ingin memenangkan Indonesia maka harus menguasai industri maritim, dirgantara, bahkan antariksa.
Pertanyaannya, mengapa saat ini industri dirgantara di Indonesia tak nampak geliatnya?
Ilham menjelaskan, krisis moneter yang terjadi pada 1998-1999 nemiliki imbas besar terhadap industri penerbangan dalam negeri. Pengembangan N-250 ketika itu tidak bisa dituntaskan karena dilarang oleh IMF (International Monetary Fund).
“IMF sebetulnya tidak melarang langsung kepada N-250, tapi semua program pemerintah yang memerlukan pembiayaan dari pemerintah yang berlebih harus kita hentikan, karena kita fokus kepada pemulihan ekonomi kita secara menyeluruh jadi tidak bisa lagi proyek industri,” ujar dia.
Setelah masa krisis berlalu, Indonesia dipandang kurang fokus pada industri, termasuk industri dirgantara, karena sudah memasuki era di mana komoditas menjadi primadona. Jadi, industri dirgantara tetap berkembang namun kurang mendapat dukungan.
Indonesia pun mengalami deindustrialisasi selama lebih dari 10 tahun. Padahal, menurut Ilham, industri merupakan salah satu faktor utama menjadi negara maju. Pun dengan Indonesia, untuk bisa keluar dari middle income trap harus melalui jalan industrialisasi.
IQ dipengaruhi tingkat ekonomi
Perekonomian masyarakat yang mayoritas masih dalam kondisi rendah, disebut-sebut menjadi salah satu pangkal masalah mengapa rerata IQ bangsa Indonesia masih ada di angka antara 78-80.
Ekonomi yang rendah itu memiliki korelasi positif dengan tingkat pendidikan juga keterpenuhan gizi yang memegang peran terhadap tumbuh kembang seseorang.
“200 juta itu mereka seringkali tidak punya pendapatan yang menentu. Kedua tidak punya pendidikan yang mencukupi. Ketiga, kesehatan juga diragukan sehingga perikiran saya IQ yang tadi rendah itu kan rata-rata. Ada yang berkembang dengan baik, banyak sekali orang kita yang cemerlang, tapi banyak yang memang mohon maaf (kurang baik). Kalau menurut saya faktor ekonomi sangat berpengaruh, karena mereka tidak punya lapangan pekerjaan,” jelas Ilham.
Ia menyebut, lebih dari 50 persen masyarakat bekerja di sektor informal. Bukan karena ingin menjadi pengusaha, mereka bekerja di sektor itu karena tidak ada pilihan lain demi bisa mendapat nafkah dan bertahan hidup.
Harapan memperbaiki tingkat kecerdasar atau IQ masyarakat Indonesia tentu masih terus ada, selama kita bisa memperbaiki faktor-faktor penyebab di belakangnya.
“Apakah itu berarti bahwasanya kita sebagai negara merasa bodoh, ini adalah kenyataan yang harus kita hadapi, karena kita harus memperbaiki situasi kondisi dari saudara-saudara kita yang terperangkap dalam situasi seperti ini. Jadi saya tidak katakan di sinI kita enggak punya harapan, kita ini tentu ada harapan, tapi harus perbaiki itu dulu kalau kita mau meningkatkan rata-rata IQ kita,” jelas dia..
AI tak akan dominasi manusia?
Beralih pada perbincangan soal kemajuan teknologi, khususnya kemunculan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). AI bisa melakukan berbagai tugas yang sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh manusia. Kemampuan teknologi inilah yang dikhawatirkan dapat menekan kebutuhan akan tenaga manusia dalam hal lapangan pekerjaan.
Namun rupanya Ilham tak mengamini kekhawatiran itu. Menurutnya AI hanya sebatas alat yang membantu pekerjaan manusia, namun tak akan bisa menggantikan kerja manusia sepenuhnya.
AI diyakini hanya akan fokus pada satu bidang saja, misal di bidang literatur, farmasi, finansial, dan sebagainya, dia tidak akan bisa menguasai segala hal.
“Ada satu perusahaan yang menyebut Ai itu adalah copilot ya, jadi kita pilotnya. Tetap kita pegang kendalinya, tapi dibantu oleh si AI itu jadi kita bisa menerbangi pesaatnya dengan lebih aman, lebih efisien, lebih nyaman, dan sebagainya,” ujarnya.
Saat ini, kehadiran AI pun dinilai masih ada di tahap awal, di mana banyak orang masih bingung dan mempertanyakan bagaimana sebaiknya ia memanfaatkan teknologi ini secara efektif dan efisien.
“Saya pernah baca sebuah survei di Amerika Serikat, ini Amerika Serikat ya negara yang sangat maju, 90 persen dari CEO atau direktur utama perusahaan itu menjawab AI itu penting, tapi mayoritas di antara mereka masih bingung harus ngapain di bisnis mereka masing-masing. Karena masih belum jelas bagaimana dia bisa menggunakan itu untuk memperbaiki kinerja dan juga perkembangan perusahaan masing-masing. Masih bingung. Ada yang sudah mulai, tapi masih awal,” jelas Ilham.
Saat ini, dunia masih fokus pada definisi peraturan atau etika yang disepakati bersama. Apabila memiliki teknologi semacam ini, bagaimana menanganinya, bagaimana mendesain algoritmanya, dan sebagainya.
Jika pun kehadiran AI sudah pada tahap lanjut, teknologi itu dikatakan tetap tak akan gantikan manusia. Ilham melihat, dunia ke depan akan semakin sepi, manusia akan semakin sedikit karena tren yang saat ini terjadi populasi negara-negara banyak yang mengalami penurunan.
“Di situlah perlu mesin yang ambil alih tugas manusia, karena jumlah manusia tidak akan cukup dan bahkan kalaupun ada mahal. Kalau kita nonton film Hollywood atau film-film dari manapun ini lagi hot theme di banyak film-film yang kita nonton, bagaimana dengan AI itu, apakah dia punya jiwa? Punya empati? Bisa punya humor? Apakah dia nanti bisa mendominasi kita, sehingga kita terancam dimusnahkan oleh si AI itu. Ini pertanyaan besar yang saya kira menjadi fantasi banyak orang, tapi apakah benar atau tidak, saya tidak tahu,” ungkap Ilham.
Pemilu Indonesia gunakan e-voting
Mengingat posisi Ilham yang saat ini mulai turun ke dunia politik, insinyur yang mendapat gelar doktor dari Jerman ini pun diminta membagikan pandangannya soal pemanfaatan teknologi untuk menyimplifikasi proses demokrasi di Indonesia. Proses demokrasi di negara besar dengan jumlah penduduk yang banyak ini dikenal berbiaya tinggi, melelahkan, juga rawan praktik kecurangan.
E-voting. Itulah salah satu opsi pemanfaatan teknologi yang bisa digunakan dalam proses berdemokrasi, khususnya dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia. Jadi, masyarakat memberikan suaranya tidak lagi dengan cara konvensional, yakni mencoblos kertas yang berisi calon, melainkan memilih secara digital, mengklik foto atau gambar calon di perangkat yang sudah disediakan di masing-masing TPS.
Digitalisasi pemungutan suara semacam ini diyakini dapat menekan besarnya biaya pemilu, mengefektifkan waktu perhitungan suara, juga mencegah terjadinya kecurangan. Pemilu pun diharapkan dapat berjalan dengan lebih jujur, dan adil.
Pria berusia 61 tahun ini membagikan pengalamannya yang pernah menyelenggarakan e-voting dalam skala kecil, peserta ketika itu tidak mencapai 1.000 orang.
Beberapa belas tahun yang lalu, ia menyelenggarakan pemilihan ketua umum untuk komunitas Perhimpunan Alumni Jerman (PAJ) menggunakan sistem e-voting. Pemungutan suara dilakukan terpusat, hanya di satu lokasi, yakni di kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
“Karena saya memang orang teknologi, saya menawarkan dengan cara e-voting. Masalahnya bukan teknologinya, e-voting yang saya tawarkan adalah e-voting yang dikembangkan oleh BPPT ya dan e-voting nya bukan lewat internet. Dia benar-benar hanya masuk ke tempat kita nyoblos tapi bukan nyoblos lagi, kita cuma klik saja. Nyoblos tapi bukan nyoblos. Itu saja dan langsung kelihatan kan (hasilnya). Betapa besar resistensinya,” kisahnya.
Banyak pihak yang menolak usulan itu, karena lemahnya kepercayaan pada sistem pencoblosan dengan metode teknologi baru yang digunakan. Setelah diberikan penjelasan dan semua bisa teryakinkan, e-voting pun berhasil dilakukan dengan sangat jujur dan adil, Ilham mengatakan sangat memuaskan untuk semua pihak.
“Cepat, adil, transparan, dan ongkosnya rendah sekali. Yang menang ya menang, yang kalah ya kalah, bisa diterima oleh semua orang. Tapi yang saya lihat yang paling sulit dicapai dari pengalaman kecil saya itu adalah mendapatkan persetujuan dari semua pihak karena masalah kepercayaan, trust itu menjadi sangat rendah,” ujar dia.
Jadi jika e-voting juga akan diterapkan di Indonesia ia membayangkan akan terjadi resistensi di sana-sini, karena skalanya yang jauh lebih besar.
“Saya lihat tantangannya itu bukan teknologi dan saya tidak bicara mengenai internet gitu, enggak. Itu dalam satu ruangan saja kok, bayangkan TPS-TPS kita semuanya menggunakan sistem itu, enggak usah nyoblos lagi. Bukannya itu lebih efisien, lebih cepat, lebih Jurdil. Tapi kan ada faktor kepercayaan mungkin ada faktor lain juga tapi yang jelas teknologi itu sangat memungkinkan,” jelas Ilham.
Teknologi e-voting untuk saat ini sudah ada, sudah dikembangkan oleh BPPT. Badan pemerintah itu pun telah berulang kali melakukan e-voting di level desa.
Meski untuk dalam waktu dekat dinilai belum akan disetujui untuk dilakukan, namun ke depan bukan tidak mungkin kepercayaan tumbuh dan masyarakat siap dengan digitalisasi pemilu.
Melihat besarnya Indonesia dan banyaknya jumlah pemilih, penerapan e-voting menurut Ilham bisa dilakukan secara bertahap. Misalnya dari level kabupaten/kota terlebih dahulu, tidak langsung nasional.
“Tapi perlahan-lahan kita ada proses edukasi, kita sudah belajar. Saya melihat itu sebagai satu peluang bagaimana teknologi bisa membuat proses pemilihan.. tadi kan demokrasi dibilang rumit, mahal, mahalnya mungkin berkurang, kalau rumit ada kerumitan tambahan yaitu teknologi tapi saya kira itu cuma di awal saja. Ketika kita sudah mendidik semua orang, itu sudah menjadi kebiasaan, budaya, profesi baru orang yang mengerti teknologi dalam dalam kaitan pemilu,” papar Ilham.
Saat ini, sudah ada sejumlah negara di dunia yang menerapkan e-voting. Indonesia tentu bisa menjadikannya regerensi atau bahan berkaca, kemudian menerapkannya di dalam negeri dengan penyesuaian-penyesuaian tentunya.
Dialog lengkap Budiman Tanuredjo dan Ilham Akbar Habibie dapat Anda saksikan melalui tautan video berikut ini:
Leave a Reply