Kematian Vina Dewi Arsita atau yang dikenal sebagai Vina Cirebon dan kekasihnya, Muhammad Rizky Rudian atau Eky, masih menyisakan banyak persoalan meski sudah terjadi 8 tahun yang lalu. Berawal dari laporan kecelakaan lalu lintas, kematian keduanya kemudian diketahui sebagai akibat pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok pemuda bermotor di wilayah Cirebon, Jawa Barat.
Kasus ini pun ditangani secara hukum, hasilnya 11 orang dinyatakan terlibat dan memiliki peran dalam hilangnya nyawa sepasang remaja itu. Dari 11 orang yang ditetapkan, 8 di antaranya menjadi terdakwa (1 telah bebas) dan menjalani hukuman penjara, 3 lainnya masuk Daftar Penncarian Orang (DPO) Polisi. Beberapa waktu yang lalu, kepolisian menangkap Pegi Setiawan yang disebut merupakan salah satu dari DPO, yakni Pegi alias Perong, dan menghapus 2 DPO yang lainnya, karena dianggap fiktif.
Meski kematian Vina dan Eky terjadi pada Agustus 2016, namun bola panas terkait siapa pelaku sesungguhnya terus bergulir hingga hari ini. Mulanya, dipicu oleh tayangnya film layar lebar berjudul “Vina: Sebelum 7 Hari” pada 8 Mei 2024.
Fakta-fakta baru terus berdatangan, seiring banyaknya sorotan yang menyebut proses penanganan kasus ini menyimpan begitu banyak kejanggalan.
Kejanggalan itu sudah tercium sejak awal, ketika kejadian dilaporkan sebagai kecelakaan lalu lintas, kedua korban terluka parah, namun helm dan motor yang digunakan korban relatif mulus, hanya terdapat sedikit lecet.
Kejanggalan selanjutnya disebutkan oleh pengacara Pegi Setiawan, Sugiyanti Iriani, ketika kliennya ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Misalnya identitas dan ciri fisik Pegi Setiawan berbeda dengan DPO Pegi Perong, mulai dari usia, warna kulit, rambut, dan alamat.
Mundur jauh ke belakang, ketika polisi mendatangi dan menyita barang bukti di rumah Pegi Setiawan, aparat juga tidak melakukannya sesuai prosedur. Mulai dari tidak menunjukkan surat perintah, tidak menghadirkan pihak dari RT RW, bahkan tidak menindaklanjuti penggeledahan itu dengan memanggil Pegi yang saat itu tengah berada di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Selanjutnya, janggal mengenai ketidaksesuaian antara hasil autopsi dan laporan yang dibuat oleh ayah Eky, Rudiana, soal adanya penusukan menggunakan samurai. Karena pada jasad korban, tidak ditemukan adanya bekas tusukan sebagaimana dilaporkan.
Tak berhenti di situ, kejanggalan juga disebut psikolog forensik Reza Indragiri Amriel terdapat pada sejumlah hal, salah satunya kesimpulan dari Dirkrimum Polda Jawa Barat tentang adanya rudapaksa yang dilakukan pertama kali oleh Pegi, padahal tidak dilakukan tes DNA terhadap cairan sperma yang ditemukan tertinggal di tubuh korban Vina.
Di tengah semakin kusutnya penyelesaian pembunuhan Vina dan Eky, masih adakah kemungkinan kasus bisa diurai dan dituntaskan dengan seadil-adilnya? Jika masih memungkinkan, bagaimana cara yang bisa ditempuh?
Sejumlah narasumber hadir di Satu Meja The Forum Kompas TV 19 Juni 2024 untuk berdiskusi persoalan ini.
Wakapolri 2013-2014 Komjen (Purn) Oegroseno memandang perlunya dibentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) dengan melibatkan ahli-ahli, salah satunya dokter forensik untuk mencari jawaban atas hal-hal yang sejauh ini belum terjawan.
“Terhadap Eky dan Vina ini pasti pembunuhan yang direncanakan benar, karena korbannya luka yang terdapat pada Vina itu kan ada keluar darah dari kemaluan yang bersangkutan, darah segar loh ya. Kemudian di situ ditemukan ada sperma. Gimana bisa ditemukan sperma kalau darah segar keluar terus?Ini mungkin saya selalu katakan perlu tim gabungan mencari fakta,” kata Oegroseno.
Sementara itu, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan ada dua hal yang perlu dilakukan untuk menemukan titik terang dari kasus ini. Pertama, melakukan eksaminasi ke titik hulu untuk meninjau kembali apakah proses pendekatan saintifik yang dilakukan polisi dalam mengungkap kasus Vina Cirebon sudah cukup memadai.
“Seandainya lewat eksaminasi hulu itu disimpulkan dan diinsafi bahwa ternyata kerja saintifik tidaklah memadai maka ini kan sesungguhnya merupakan temuan, sehingga alih-alih menunggu terpidana mengajukan novum justru Polri dengan kebesaran jiwanya membawa novum ini untuk Peninjauan Kembali (PK). Tidak ada pihak yang akan dipermalukan ketika seandainya putusan PK mengatakan situasi yang berbalik 180 derajat dari nasib para terpidana saat ini,” jelas Reza.
Tak hanya di tubuh Polri, Reza juga memanggil Kejaksaan, Komisi Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisia untuk melakukan eksaminasi terhadap masing-masing lembaganya dalam hal penanganan kasus Vina ini.
Kedua, masih menurut Reza, Polri dinilai perlu mengecek, menakar, dan menguji tingkat kompetensi juga integritas para penyidiknya. Baik para penyidik kasus ini di tahun 2016 maupun 2024, termasuk kepada ayah korban Eky, Rudiana, yang juga merupakan anggota kepolisian.
Apakah hasilnya akan diberikan apresiasi pada para penyidik karena dianggap berprestasi, atau sebaliknya, mereka akan diberi sanksi. Bisa sanksi terkait lemahnya kompetensi sehingga kembali dikirim untuk bersekolah, sanksi etik, atau bahkan sanksi pidana karena rusaknya integritas anggota.
Melanjutkan pendapat Reza, Oegroseno menyebut saat ini Propam Polri sudah turun tangan untuk menyelidiki internal anggota mereka. Ia berharap, Polri akan menyampaikan hasil dengan terbuka. Jika benar katakan benar, jika salah katakan salah. Sikap seperti ini diyakini dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi Polri yang saat ini sudah cukup tinggi persentasenya.
Pengacara keluarga Vina, Saiful Salim dan pengacara Pegi Setiawan, Sugiyanti Iriani pun setuju dengan usulan eksaminasi ke hulu yang dipaparkan oleh Reza, demi terbukanya kasus ini secara terang-benderang, terungkapnya motif, dan tidak ada orang tak bersalah yang dijatuhi hukuman.
Lebih spesifik, Saiful menyebut perlunya Presiden membentuk tim pencari fakta secara independen untuk memulai semuanya dari titik nol. Sehingga bisa diketahio apakah benar Viina dan Eky meninggal akkibat kecelakaan lalu lintas, atau memang benar ada pembunuhan.
“Menurut kami dengan membentuk tim pencari fakta yang mendesak Presiden dengan berbagai macam unsur, bisa saja kalau misalnya kita merujuk pada scientific crime investigation itu bisa kita libatkan penyidik beberapa lembaga misalnya Komnas HAM, KPAI, kemudian kampus-kampus yang memiliki kapasitas di situ,” ujar Saiful.
Selebihnya, kepolisian diminta untuk menangani perkara ini dengan lebih transparan. Saiful menilai, ujung permasalahan dari proses pengungkapan kasus ini hanya satu, yakni tidak tranparannya proses di Polda sejak 2016 bahkan 2024 sekarang.
Menanggapi semua saran yang diberikan, Irjen Sandi Nugroho selaku Kadiv Humas Polri menyambut baik. Ia menegaskan Polri akan terbuka dengan semua kritik, saran, masukan, terkait penanganan kasus ini.
Terkait dengan uji kompetensi dan integritas penyidik sebagaimana disampaikan Reza, Sandi menyebut pemeriksaan sudah dilakukan dan tidak hanya melibatkan Propam, tetapi juga Bareskrim Polri, Itwasum Polri, bahkan pihak eksternal seperti Kompolnas dan Komnas HAM.
Semua dilakukan untuk memastikan apakah penyidikan sudah berjalan sesuai dengan koridornya atau ada yang salah..
Kapolri juga kerap menyampaikan kepada semua pihak untuk tidak ragu melontarkan kritik atau masukan kepada Polri soal kasus ini, karena itu bisa menjadi alat penerang untuk kasus lama yang belum sepenuhnya menemukan titik terangnya ini.
Sikap Polri yang terbuka terhadap dikritik itu diapresiasi oleh Oegroseno. Namun, akan lebih baik apabila ditindaklanjuti dengan bentuk sikap proaktif, seperti membuka dialog para pengacara dengan Kapolres di Cirebon, Kapolda, Kabidhumas Polri, Kabareskrim, dan sebagainya.
“Supaya dialog ini jangan buntu, kalau buntu nanti kan bisa timbul air bah, itu jadi jebol nanti bendungan dan saya rasa ini akan kembali menambah trust masyarakat terhadap kinerja Polisi yang selama ini sudah baik mencapai di atas 90 persen,” ujarnya.
Dialog selengkapnya dapat disaksikan melalui video berikut ini:
Leave a Reply