Pemikir Bebas Sukidi Mulyadi Melawan Kebekuan

“Negara aparat seperti menjalankan strategi membiarkan teriak-teriakan terus terjadi sampai lelah kehabisan energi dan diam. Sementara publik disuguhi berbagai isu lama yang entah kenapa muncul kembali, misalnya kasus Vina di Cirebon”

Kolom Sukidi Mulyadi di Harian Kompas, 13 Juni 2024, bertajuk “Hukum Sebagai Alat Politik”, beredar luas. Beredar dalam format pdf (yang ini bisa berdampak pada penerbit), maupun dalam format tangkapan layar yang bisa ditemukan di media sosial.

Ganjar Pranowo me-repost kolom tersebut melalui Instagram @ganjar_pranowo dengan follower 6,6 juta, kemudian, kolom tersebut dicuitkan Mahfud MD melalui akun twitter (X) @mohmahfudmd dengan pengikut 4,5 juta.

Esai Sukidi, pemikir kebhinekaan, lulusan Harvard University, bisa jadi menggambarkan suasana kebatinan sebagian kecil kelas menengah Indonesia. Hukum sebagai alat politik. Ia memulai kolomnya dengan mengutip ucapan, diktator Peru Oscar Bonavides (1933-1939), “For my friends, everything. For my enemies, law.” Untuk teman-teman saya, segalanya. Untuk musuhku, hukum. Sukidi pun merujuk pada pandangan Thomas Power, penegakan hukum sebagai senjata politik oleh kekuasaan eksekutif.

Saya mengatakan sebagian kecil kelas menengah karena memang isu penegakan hukum, isu demokrasi, isu rule of law, isu konstitusi lebih dirasakan sebagai isu-isu elite. Sementara di kalangan bawah, menurut sejumlah lembaga survei kuantitatif, approval rating terhadap pemerintah masih terbilang tinggi. Dan, sebagian kelas menengah, termasuk ormas dan parpol, lebih memilih diam atas kondisi yang ada.

Pada sisi lain, situasi panik tampak di pasar saham. Indeks harga saham turun pada hari Jumat, 14 Juni 2024 sampai pada angka 6.734. Nilai rupiah melemah menyentuh angka 1 dollar AS senilai Rp 16.477. PHK terjadi di sejumlah perusahaan tekstil dan perusahaan teknologi.

Di tengah, sunyinya partai politik (minus PDIP) atas berbagai peristiwa politik kontemporer yang di luar nalar, langkah Sukidi justru menarik. Ia seperti sendirian berteriak-teriak di tengah gurun pasir. Keras dan lugas. Tapi sunyi dan sepi. Ia berteriak melawan kebekuan. Negara aparat seperti menjalankan strategi membiarkan teriak-teriakan terus terjadi sampai lelah kehabisan energi dan diam. Sementara publik disuguhi berbagai isu lama yang entah kenapa muncul kembali, misalnya kasus Vina di Cirebon.

Pada sisi lain, Mahfud MD selepas kontestasi pemilihan Presiden, membangun kanal Youtube MahfudMD Official. Ia pun merespon peristiwa-peristiwa hukum yang dibiarkan sampai kemudian sepi sendiri. Melalui kanal Youtube Mahfud MD Official dengan subcribe 38,9 ribu, Mahfud terus bersuara bahwa ada masalah dalam penegakan hukum. Masalah dalam putusan Mahkamah Agung, ada masalah dalam penguntitan Densus terhadap Kejaksaan Agung, ada masalah hubungan antara jaksa Agung dan Kapolri.

Di Kampus ada guru besar antropologi hukum Prof Dr Sulityowati Irianto yang juga berteriak-teriak soal kondisi ini. Dalam Koentjaraningrat Memorial Lecturer, Sulistyowati mengingatkan bahwa jalan politik dan jalan hukum telah buntu. Ia pun menawarkan jalan kebudayaan untuk mengubah keadaan.
Ada juga Bivitri Susanti di Sekolah Tinggi Hukum Jentera dan Zaenal Arifin Muchtar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Selebihnya narasi publik lebih banyak didominasi negara.

Sukidi dan Budiman Tanuredjo di Bentara Budaya Jakarta

Sementara isu strategis seperti konstitusi, demokrasi, rule of law, kerusakan lingkungan hidup menjadi isu pinggiran. Memang menjadi pertanyaan mengapa partai politik tidak bekerja menjaankan fungsi dan perannya. Mengapa anggota DPR juga tak bergairah menggunakan hak politknya. Mengapa organisasi masyarakat juga seakan terlepas dari situasi kemasyarakatan. Mengapoa organisasi advokat juga kehilangan nyali ketika eksistensi negara hukum tercobak-cabik? Organisasi advokat kehilangan sosok advokat berintegritas seperti Yap Thiam Hien, Adnan Buyung Nasution, atau Harjono Tjitrosoebono.

Dalam lanskap politik itulah, kolom-kolom Sukidi, podcast Mahfud MD, mengisi kekosongan ruang publik. Dengan subcribers yang kian meningkat, langkah Mahfud bersuara di podcast bisa menjadi sarana pendidikan politik bagi warga bangsa, bagi para pembayar pajak. Tugas itu sebenarnya menjadi tugas parpol dan ormas.

Situasi sosial politik yang “tintrim” atau perasaan publik yang tak pasti itulah yang saya rasakan dan saya bawakan, dalam pertemuan di Maarif Institute Kamis malam, 13 Juni 2024. Maarif Institute sekumpulan anak-anak ideologis Buya Ahmad Syafii Maarif baru saja mempunyai Direktur Eksekutif baru, Andar Nubowo, PhD lulusan Perancis.

Maarif Institute sebagaimana diwariskan Buya Syafii Maarif mengedapankan pemikiran kritis terhadap kondisi kebangsaan dan menjadi organisasi yang memerankan diri sebagai “muazin”. Muazin yang selalu berteriak memberikan peringatan ketika ada ancaman terhadap penegakan hukum, terhadap korupsi, terhadap pelanggaran konstitusi. Buya Syafii telah memberikan contoh dalam tulisannya di sejumlah media.

Salah satu tulisan Buya Syafii Maarif di Harian Kompas

Tulisan Buya Syafii sudah tiga tahun lalu. Namun, pesannya masih relevan dengan situasi kekinian. Coba kita tengok, esai Buya Syafii 10 November 2021. “….Ada aparat yang melindungi perjudian, penambangan liar, dan segala macam bentuk kelakuan busuk lainnya. Di dunia peradilan, gejala kumuh serupa juga tidak sulit ditemui. Di mana-mana terjadi jual beli perkara. Sekitar 80 persen pengacara, kata Todung Mulya Lubis kepada saya beberapa tahun yang lalu, adalah mafia hukum belaka. Sejak beberapa tahun terakhir, publik disuguhi berita kelam tentang BUMN pelat merah yang sudah lama makan ususnya sendiri. Sebutlah Asuransi Bumiputra 1912, Asuransi Jiwasraya, PT Asabri Persero, PT Garuda Indonesia, dan puluhan BUMN yang lain sudah di pinggir jurang kehancuran. Padahal, semua BUMN ini pasti ada komisaris yang bertugas mengawasi perusahaan.”

Bukankah situasi itu yang saat ini dihadapi bangsa ini.

Di bagian penutup Buya menulis demikian, :… Kegetiran ini telah lama mengundang pertanyaan besar, yakni apakah pola pembangunan bangsa dan negara ini mau berpedoman pada UUD 1945 atau Konstitusi ini hanya dipakai sebagai tameng untuk menutupi keganasan sistem de facto neoliberalisme yang mengkhianati seluruh ruh Pancasila dan UUD 1945?
Panorama ”rancak di labuah” atau ”mentereng di luar, remuk di dalam” adalah penyakit sosial kronis yang menipu kita selama ini. Sumpah jabatan para birokrat sebelum diangkat atau menjabat sebuah posisi seperti tidak ada pengaruhnya dalam mengawal dan meluruskan perilaku mereka sebagai pejabat publik. Kebiasaan ABS dan AIS (asal bapak senang dan asal ibu senang) yang memuakkan masih saja setia bersama kita sampai hari ini. Ini adalah perilaku culas yang menutup realitas hitam yang sebenarnya.

Bukanlah alarm yang dinyalakan Buya Syafii sekarang sedang di depan mata?

Dalam esai lainnya tahun 2011, Buya Syafii menulis, “Dengan penduduk 241 juta pada tahun 2011 saja Indonesia telah keteteran oleh berbagai masalah yang berimpit. Pada tahun 2050, jika rahim Nusantara gagal melahirkan para negarawan dengan wawasan yang jauh menembus ke depan, karena yang berkeliaran adalah politisi rabun ayam plus pengusaha tunamoral, Anda bisa membayangkan kira-kira seperti apa Indonesia pada tahun itu. Apakah pada tahun itu cucu-cucu kita masih bisa tersenyum atau mereka harus meratapi nasib malangnya sebagai ekor ulah buruk dari generasi yang melahirkannya?

Alarm dalam kesunyian itu perlu ditangkap dengan mata hati. Bertanya jujur pada diri sendiri. Saatnya masyarakat sipil yang tak membawa beban berat organisasi, para pemikir bebas, bertemu, menemukan masalah bangsa, menata peta jalan, dan menawarkan kepada pemerintahan baru untuk menemukan kembali Indonesia…

Budiman Tanuredjo


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *