“(Penjahat dan pejabat) Berkolaborasi untuk membuat satu kebijakan publik yang kemudian, karena penjahat dan pejabat sama lihainya, jadi rakyatnya enggak tahu juga kalau dibuat rekayasa sedemikian rupa, dimobilisasi sedemikian rupa, nampaknya ini yang harus kita hadapi…”
Mahfud MD
Melalui podcast Mahfud MD Official, mantan Menko Polhukam Mahfud MD terus bersuara mengenai situasi hukum. Tampak sekali ia begitu lelah dan gelisah dengan situasi yang ada. Pilihan katanya begitu lugas seperti “mual” dan “busuk”.
Kedua diksi keras itu muncul dari Mahfud, kelahiran Sampang 13 Mei 1957, menanggapi putusan MA yang mengubah syarat pencalonan kepala daerah pada saat “pencalonan” diubah menjadi “saat dilantik.” Uji materi Peraturan KPU itu menyerupai jalur uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Disebut-sebut uji materi itu membuka pintu bagi putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep untuk maju dalam bursa pencalonan pemilihan kepala daerah. Namun Presiden Jokowi, menurut Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, belum mengizinkan putranya maju dalam pilkada. Putusan MA itu masih butuh langkah KPU untuk mengubah peraturan KPU.
Selasa, 14 Mei 2024, saya menemui Mahfud. Bulan Mei 1998 adalah momentum bersejarah bagi bangsa ini. Gerakan Reformasi 1998 membuat sejarah bangsa ini berubah. Kekuasaan Orde Baru tumbang. Jenderal Besar Soeharto pada 21 Mei 1998 memutuskan berhenti sebagai Presiden setelah berkuasa 32 tahun. Wapres BJ Habibie menggantikan Soeharto. Kerusuhan sosial merebak. Jakarta terbakar. Korban jiwa berjatuhan. Tapi sampai 26 tahun, Tragedi Mei, tetap menjadi misteri.
Refomasi Mei 1998 membuka iklim kebebasan berpolitik dan berpendapat. Konstitusi diubah sampai empat kali. Presiden dipilih langsung. Polisi dilepaskan dari ABRI melalui Ketetapan MPR. MPR merumuskan etika kehidupan berbangsa dan bernegara. MPR merumuskan Tap MPR soal Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. MPR memerintahkan pengadilan terhadap Soeharto dan kroni-kroninya. Ketetapan MPR bisa disebut sebagai kontrak sosial bangsa ini.
Saya bertanya kepada Mahfud soal Reformasi Mei 1998.
Waktu reformasi terjadi Anda masih di Yogya ya?
Saya waktu itu menjabat Pembantu Rektor I merangkap Direktur Pascasarjana. Saat reformasi 1998 saya ikut gerakan. Pada waktu itu saya ikut memotori 86 perguruan tinggi di Yogya pada waktu itu kita kumpulkan di Kopertis, dan mengajak long march. Komunikasi dengan UGM, bergabung dengan UGM, long march dari UGM ke keraton.
Pada waktu itu, saya bersama aktivis yang keras, ada Loekman Sutrisno, Affan Gafar, Mubyarto, Revrisond Baswier, Anggito Abimanyu, Mochtar Mas’eod, semua termasuk Amien Rais berkumpul. Ketika Pak Harto sudah mau jatuh, beberapa hari sebelum itu kan mengumpulkan sembilan tokoh agama. Ada Nurcholish Madjid, Malik Fajar, Gus Dur, Cak Nun, dan lain lain. Ada 9 orang waktu itu. Lalu Pak Harto mengatakan, akan melakukan reshuffle kabinet. “Mari kita perbaiki bersama-sama, kita reshuffle kabinet,” kata beliau waktu itu.
Yang pertama bereaksi dari Yogya adalah kami. Kita demo. Karena masalahnya bukan reshuffle, masalahnya ada pada Pak Harto. Pak Harto harus mundur kalau negara ini mau selamat. Kan begitu. Coba Anda bayangkan, kalau waktu itu Pak Harto enggak mundur, kan gantian kita yang ditangkapi. Tapi pada waktu itu kita sudah enggak kuat menghadapi kekuasaan Pak Harto yang sudah sampai seperti itu guritanya. Jadi kita turun ke jalan, menutup jalan.
Terus pisowanan agung ke Sultan. Wah semua dari berbagai daerah, itu suasananya mirip film-film dramatik tahun 1945 ketika Soedirman berjuang. Orang menyediakan bakso, menyediakan air, melayani orang yang ikut berdemo pada waktu itu. Besoknya Pak Harto jatuh.
Reformasi melahirkan pemilihan presiden secara langsung, dibuat Mahkamah Konstitusi, ada Tap MPR soal Antikorupsi. Evaluasi Anda terhadap reformasi?
Saya cemas.
Cemas?
Mungkin kecemasan saya melebihi di akhir-akhir zaman pemerintahan Pak Harto.
Kecemasan sekarang?
Iya. Begini, dulu pada zaman reformasi awal itu, tahun 1998-1999 sampai 2004-2006 itu kan reformasi bagus ya?
Iya
Melahirkan hal-hal bagus tersebut. Semua konstitusi bagus terus dilahirkan. Pejabatnya juga bersih. Coba Anda teliti, undang-undang yang dihasilkan pada periode itu, hasil Pemilu pertama 1999, dan periode kedua, Pemilu 2004, itu bagus-bagus. Semua mozaik ketatanegaraan kita dengan instrumentasi hukum yang bagus pada waktu itu, lahir.
Kalau sekarang ini yang saya cemaskan apa, kalau dulu Pak Harto melakukan itu jelek banget. Tetapi dia koordinasikan sendiri. Dia mainkan sendiri. Kalau sekarang kan aneh, kanan kiri sama-sama main. Bahkan saya mengistilahkan, sekarang ini terjadi permainan antara penjahat dan pejabat.
Penjahat dan pejabat?
Iya. Berkolaborasi untuk membuat satu kebijakan publik yang kemudian, karena penjahat dan pejabat sama lihainya, jadi rakyatnya enggak tahu juga kalau dibuat rekayasa sedemikian rupa, dimobilisasi sedemikian rupa, nampaknya ini yang harus kita hadapi.
Kalau keadaan seperti sekarang masih banyak orang protes, orang melawan, media masih teriak, itu mungkin penjahat dan pejabat jahat itu masih bersatu. Bahkan menghadapi itu semua. Tapi kalau semua orang menganggap itu sudah biasa, yang berbahaya ini akan saling mengkhianati.
Tidak ada dua kejahatan bergabung, dua penjahat bergabung, yang satu kejahatan jabatan, yang satu kejahatan benar terhadap sumber daya alam, pidana, ini bisa bersatu. Tapi keduanya akan saling mengkhianati, akan saling caplok. Keadaan itu yang berbahaya bagi masa depan bangsa.
Anda mencemaskan reformasi berarti mencemaskan masa depan bangsa ini juga?
Iya. Saya mencemaskan masa depan bangsa. Mari mari kita semua berteriak karena situasi ini berbahaya. Kemudian fenomenanya itu, setiap habis kontestasi politik, lalu memperluas jabatan publik.
Anda bayangkan, Pak Harto itu tidak pernah memperbanyak jabatan menteri. Meskipun dulu sudah dikritik, ini Orde Baru, Golkar sangat hegemonik. Semua menteri yang sudah afkir dikirim ke luar negeri, jadi duta besar, karena bagi-bagi jatah ini.
Nah sekarang rasanya, pada zaman Pak Harto menterinya sekitar 26, era Gus Dur 31. Lalu timbul pikiran pada waktu itu, untuk menghindari kecenderungan tambah jabatan setiap habis Pemilu dan setiap ada presiden baru, maka dibuat UU Kementerian Negara. Itu zaman kita. Itu maksudnya agar tidak tambah-tambah. Nah sekarang, kalau tidak cocok, lalu undang-undangnya yang diubah. Kalau gagal, undang-undang yang sudah ada disuruh uji ke MK. MK yang disuruh mengubah. Fungsi legislasi lalu diberi fungsi positive legislator. MK sekarang banyak jadi fungsi positive legislator. Sesuatu yang tidak boleh diatur, diatur sendiri.
Jadi hampir tanpa pedoman, hampir tanpa kompas, sekarang semua lembaga improvisasi sendiri-sendiri?
Iya. Saya merasakan sudah ikut 26 tahun reformasi. Tapi mungkin orang lain menganggap, wah itu biasa. Silakan saja.
Tahun 1998 melahirkan Tap MPR Nomor XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tapi sekarang Tap MPR menjadi teks mati?
Iya. Mati itu. Itu kan Tap itu kan kemudian melahirkan UU Nomor 28 tentang Pemberantasan KKN. Itu kan juga mati. Ya matinya samar-samar. Seakan-akan semua masih berteriak anti KKN, tapi KKN-nya masih tumbuh subur.
Titik baliknya di mana?
Saya belum meneliti, kapan dan mengapa titik balik itu terjadi. Tetapi saya melihat, kira-kira menjelang tahun 2009 itu sudah mulai. Karena politik uang sudah muncul di situ. Orang mau mencalonkan diri, menyediakan uang, mau calon DPR menyediakan uang, mau calon apa menyediakan uang ke partai. Di situ situ kemudian terbiasa jual beli jabatan terjadi. Lalu KPK yang sebelumnya hebat akhirnya jadi seperti sekarang. KPK sangat menyedihkan. Karena kita tahu dulu KPK pernah punya masa jaya. Kita pernah sangat membanggakannya kan dulu.
Kemerosotan itu sebetulnya faktornya di mana. Apakah memang merosot, atau sengaja dilemahkan, dinormalisasi. Berbagai penyimpangan itu dinormalisasi saja?
Iya. Mula-mula mungkin sedikit orang yang melakukan itu. Kemudian melebar dan terus melebar. Mula-mula mungkin elite politik, “wah saya ingin jadi lagi lalu bayar ke sini dulu.”
Atau agar aman dari BPK, ini dulu didekati. Agar aman dari KPK, ini dulu digarap. Semua agar aman begitu. Dan itu tidak ditindak secara proporsional. Sehingga berkembang menjadi liar seperti sekarang. Sehingga terjadi pembicaraan kecil di forum serius, itu muncul istilah “penyanderaan.” Dan itu kan sudah biasa.
Anda punya kasus, dipanggil dikasih tahu, “mau begini enggak? Kalau enggak ya begini.” Itu sudah menjadi rahasia umum, dalam pengertian semua orang bisa bicara itu sekarang. Si A kasusnya ini, si B kasusnya ini. Nah kalau kita ngomong tentang itu, lalu muncul paranoid solidarity. Kita dikeroyok oleh sesama penjahat ini. Oleh satu komplotan itu, paranoid mereka. Kalau satu temannya dibilang ‘begini’ mereka berpikirnya, ah nanti saya ketahuan. Makanya mengeroyok semua ke kita. Kan begitu.
Itu menurut saya berbahaya. Karena nanti akan terjadi adalah anarki. Menurut saya yang sedang dibangun ini adalah pupuk-pupuk anarkisme. Karena nanti akan sendiri-sendiri. Membuat hukumnya sendiri, membuat aturannya sendiri, yang kuat yang akan menentukan dan bahwa kita akan mundur ke belakang.
Anda cemas dengan kondisi bangsa ini. Apakah bangsa ini sedang mengarah pada resentralisasi atau neo totalitarianisme?
Banyak orang yang sudah mengatakan resentralisasi diam-diam. Dan memang yang dulu sudah dibagi-bagikan kepada daerah mulai ditarik, diisi orang dari ini, diisi dari ini, kalau enggak ini diganti, dan lain sebagainya. Agar kendalinya ada di satu tangan. Itu yang kita cemaskan, dan kita berharap kita semua sadar. Dan pemerintah juga harus menyadari ini karena ini adalah satu situasi yang menurut saya akan menghancurkan diri sendiri dalam jangka yang mungkin tidak terlalu panjang juga kalau caranya begini.
Tidak terlalu panjang?
Ya kalau cara-caranya seperti ini. Kalau Pak Harto kan dulu sampai enam atau tujuh periode sudah ambruk juga, artinya kita masih bisa menyaksikan dari awal. Misalnya saya, saya tahu kapan Pak Harto mulai berkuasa, kapan mulai jatuh, kayak sebentar saja.Kayak-kayak gini, bisa terjadi. Oleh karena itu harus ditertibkan sejak sekarang. Tetapi kalau semuanya enggak sadar dan membiarkan pada hukum alam, itu akan parah jadinya.
Pembangkangan Sipil
Selain sebagai intelektual, Mahfud adalah seorang kolumnis di berbagai media. Tulisan kritisnya bisa ditemukan di sejumlah media, khususnya di Harian Kompas. Pada tahun 1999, Mahfud sempat menulis soal kemungkinan terjadinya civil disobedience akibat politik uang yang merajalela.
Anda di Kompas pernah menulis, Oktober tahun 1999. Money politics itu bisa memicu civil disobedience. Sekarang money politics kian marak?
Iya. Begini, dulu konteksnya mengapa money politic bisa memancing civil disobedience¸ karena setiap urusan ditebus dengan uang sehingga yang salah menjadi benar dan yang benar menjadi salah, bisa terjadi perlawanan dari masyarakat.
Saya pernah menteorikan adanya 4 Dis. Pertama, disorientasi. Kalau sudah disorientasi menimbulkan distrust, ketidakpercayaan. Distrust yang dibiarkan karena orang memilih diam, akan menimbulkan disobedience. Distrust-nya kan banyak dari permainan uang, money politics, jual beli jabatan dan lain sebagainya. Nah kalau sudah disobedience kan biasanya ikutannya adalah disintegrasi. Kalau sudah disintegrasi ya sudah sulit menyatukan lagi. Saya kira contoh hancurnya negara di masa lalu ya proses-proses seperti itu.
Dan Indonesia sedang mengarah ke situ?
Bibit-bibit ke arah itu sudah mulai terlihat. Saya ingin mengingatkan, kita semua sudah harus hati-hati. Mari mulai sadar bersama. Tidak usah saling menyadarkan dalam situasi sekarang, tapi di depan kita ada kayak gini lho. Ayolah kita sadari semua.
Kalau kita bicara soal demokrasi lebih makro ya, 26 tahun reformasi.
Menurut penilaian kualitatif Anda, kondisi demokrasi Indonesia seperti apa?
Substansinya semakin lama semakin hilang. Pelembagaannya iya. Lembaganya ada, prosedurnya ada, tapi prosedur-prosedurnya itu bisa dimainkan, bisa diubah, bahkan bisa dipesan. Kan gitu. Terlalu banyak kalau mau contohnya. Hampir setiap periode selalu ada.
Hanya prosedur saja? Sesuai dengan aturan lah kira-kira begitu?
Iya. Dibuat aturannya, dibuat apa yang diinginkan dibuat saja aturannya. Pesan saja. Kalau aturan sudah ada tinggal kasus konkret ke pengadilan, pesan saja ke pengadilan. Kan gitu kan? Oleh karena itu jangan heran kalau sekarang banyak hakim agung, hakim konstitusi, itu kan sudah banyak sekali yang dipenjarakan, yang ditangkap, dan lain sebagainya.
Anda bayangkan, hakim konstitusi itu jumlahnya sembilan dan dua sudah di penjara. Berapa tuh? Lebih dari 20 persen. Di Mahkamah Agung itu ada berapa sekarang? Dua sekretarisnya sudah begitu semua. Bahkan yang, ya dulu kan ada isu, Mahkamah Agung itu kan ngawasi Komisi Yudisial (KY), malah dulu KY lapornya ke saya lho. Bukan ke Mahkamah Agung.
“Pak, itu di Mahkamah Agung itu ada lift. Lift untuk Komisi A.” “Apa itu lift untuk Komisi A?”
Lift untuk anggota DPR?
Bukan. Itu lift yang dimatikan cctv-nya sehingga tidak terekam di situ. Dan di situ yang pegang kunci hanya 1 orang. Nah di situ, Along, Aling, Aleng, lewat situ kalau ke situ. Transaksinya langsung diantar ke ruang tertentu. Itu yang lapor ke saya KY. Padahal KY kan yang harus mengawasi itu.
Itulah yang kemudian saya bisikkan ke teman-teman di KPK. “Tuh, ada lift Komisi A di situ.” Itu saya bilang ke mereka. Yang sekarang sudah di-handle orang KPK, itu orangnya. Hanya dia yang punya kunci itu, diantar ke situ, masuk ke ruang tertentu, lalu tawar menawar di situ.
Itu dulu, sekarang sih sudah enggak ada kali ya. Karena orangnya yang pegang sudah ditangkap.
Kalau kita bicara soal korupsi. Anda itu pernah menulis di Kompas tahun 2013. Ini koruptor ini diamputasi atau diampuni saja? Dalam kondisi sekarang, sebaiknya seperti apa dalam menangani korupsi ini?
Memang kayak gitu ya. Harus ada keberanian. Itu kan tindakan radikal. Sebenarnya amputasi itu artinya, sudah potong saja orang-orang ini. Waktu itu kan pikiran saya begini. Saya waktu itu Menteri Kehakiman dari Presiden Gus Dur. Waktu saya minta Todung Mulya Lubis, saya punya dua ide nih, mari kita tiru Latvia. Di Latvia itu orang diamputasi semua. Dipecat semua dan diganti yang baru. Bahkan di Georgia itu hakimnya dipecat dan pinjam dari luar negeri. Amputasi dulu, menjadi beres.
Atau enggak usah diamputasi, karena yang mau diamputasi ini orang yang harus membuat keputusan. DPR mau diamputasi, padahal yang harus mengambil keputusan kan DPR. Gimana kalau diampuni saja? Pemutihan.
Diputihkan saja lalu kita kerja lagi, gitu. Akhirnya enggak ada yang berani mengambil Keputusan juga. Terus Gus Dur berhenti jadi presiden, saya berhenti jadi menteri. Beberapa bulan kemudian setelah saya enggak jadi menteri, saya ketemu Oka Mahendra. Saya bilang, “Pak dulu saya punya dua RUU lho waktu saya jadi Menteri Kehakiman sebentar itu. RUU tentang amputasi yang kedua RUU tentang pembuktian terbalik. Dulu sudah ada draftnya, kok enggak diteruskan?
“Pak menteri enggak tertarik.” itu kata Pak Oka Mahendra. Ya ok, tapi apa alasannya, tanya saya. Kalau di sini ada UU pembuktian terbalik, itu bisa disalahgunakan oleh jaksa dan polisi. Kan kalau UU Pembuktian Terbalik itu sederhananya begini, “eh Pak Budiman Anda 5 tahun jadi Pemred Kompas. Gaji Anda itu kalau lima tahun ditabung kira-kira 6 milyar. Kok sekarang Anda punya kekayaan 8 milyar?” “Yang dua milyar itu Anda dinyatakan korupsi sebelum bisa membuktikan secara terbalik, bukan saya, bukan jaksa, Anda membuktikan secara terbalik bahwa uang ini sah.”
Nah pakai hukum itu, nanti bisa disalahgunakan oleh jaksa nakal atau polisi nakal. Mau pembuktian terbalik atau mau nego? Banyak. Itu bisa terjadi. Itu alasannya. Kita belum siap UU Pembuktian Terbalik. Sama juga dengan itu. Amputasi dan ampuni.
Pengambilan keputusannya akan sulit?
Iya. Saya maklum, saya paham. Meskipun saya tidak setuju, tapi saya paham itu alasannya. Mungkin betul. Saya bilang begitu. Nah itu, latar belakang di balik RUU itu.
Kalau sekarang resep jitu untuk mengatasi korupsi yang merajalela, yang lebih radikal dan lebih progresif, menurut Anda seperti apa?
Ya tindakan tegas. Menurut saya sekarang kembali ke leadership. Karena sebenarnya kalau orang jadi presiden itu bisa melakukan apa saja.
Tergantung kemauan presiden?
Iya. Ini tindak, ini selamatkan, itu bongkar, itu presiden bisa lakukan. Kalau polisinya enggak mau, ganti polisinya. Jaksa enggak mau, ganti. Oleh sebab itu kita berharap. Makanya Pilpres itu selalu jadi pertaruhan bagi aktivis pro demokrasi dan hukum. Karena di situ akan menentukan. Birokrasi itu akan tetap tunduk, betapapun hebat seorang jaksa, seorang ahli hukum. Tapi kan dia tidak bisa melakukan tindakan kalau presidennya bilang jangan. Presidennya, “ini demi kepentingan umum, ditangguhkan dulu.” Kan gitu. Kita berharap, Pak Prabowo sepertinya punya potensi untuk bersikap tegas seperti itu.
Punya keberanian?
Sejauh yang saya kenal, dia punya. Punya ketegasan untuk seperti itu dengan tetap bisa memilah mana yang untuk kepentingan umum, mana yang tidak, menurut saya. Karena dulu saya bekerja dengan Pak Prabowo, saya melihat itu, ketegasannya. Bukan Pak Jokowi jelek, tapi Pak Prabowo itu pendekatannya struktural. Jeder, jeder, jeder!! Kalau Pak Jokowi kan populis. Itu bagus juga.
Saya tahu kalau pendekatan strukturalnya, kalau Pak Prabowo tidak berubah, tidak dipengaruhi oleh perkembangan untuk kompromi, menurut saya Pak Prabowo punya keberanian dan punya pemahaman untuk melakukan tindakan yang sifatnya struktural itu. langsung mengambil komando secara struktur. Dia Kepala Negara.
Kalau kita lihat dinamika politik perundang-undangan yang terakhir, misalnya hari ini juga ribut soal revisi UU Mahkamah Konstitusi, yang kemudian tiba-tiba disepakati oleh parlemen. Dan kemudian membuat, bahwa hakim yang sudah menjabat lima tahun, 10 tahun dan kemudian harus dimintakan persetujuan kepada lembaga pengusung dikonfirmasikan kembali.
Dikonfirmasikan?
Iya.
Bagi Anda, ini apa sebetulnya? Dan di era Anda dulu kan pernah menyatakan untuk tidak diteruskan?
Iya. Iya.
Tapi sekarang diteruskan. Apa yang terjadi?
Jadi RUU MK ini memang aneh ya. Sebelum saya jawab yang tadi. Dulu saya masuk ke MK itu terjadi perubahan UU MK di tahun 2020. Saya berdebat habis. Ini enggak benar ini UU, saya bilang. Tapi Pak Laoly berprinsip, “pak ini sudah disepakati sebelum kita menjadi menteri di sini. Saya kan dari dulu juga menteri.” “Oh, begitu?” “Iya pak.” Ya pokoknya trade off ya. Saya bilang, oh ya sudah.
Lalu tiba-tiba tahun 2022, tidak ada rencana di Prolegnas itu, tiba-tiba muncul perubahan kembali UU MK. Saya panggil, saya tanya kembali Pak Yasonna. “Pak ini kok ada UU belum ada di Prolegnas?” “Sudah pak, ini sudah disepakati baru ini, tambahan di Prolegnas untuk direvisi.” “Kok mendadak?” saya bilang. “Ya ini DPR memutuskan begitu.” Dan mungkin sudah dibicarakan secara diam-diam, begitu. Akhirnya apa? Wah ini enggak benar, saya bilang. Ini tendensinya mau nyikat orang.
Mau nyikat orang?
Iya. Jadi hakim tertentu, ini bisa berhenti di tengah jalan karena ini. Oleh sebab itu ke DPR waktu itu, saya yang pesan lah ke Pak Pratikno (Mensesneg). “Pak kayaknya UU ini, kayaknya perlu turun sendiri ke DPR. Kan bisa?” “Oh ya bisa, sudah nanti Pak Mahfud saja yang mewakili ke DPR bersama Pak Yasonna Laoly.”
Jadi saya tuh dan Pak Yasonna. Dibahas, dibahas, saya ikuti perkembangannya, lalu bertahan saja di sini. “UU ini bagus tapi tidak berlaku untuk yang sekarang. Hakim yang ada sekarang itu, saya bilang, biar habis masa jabatannya baru diberlakukan ini untuk ke penggantinya.”
Tapi enggak mau. DPR enggak mau. Pokoknya langsung begitu UU ini ditetapkan, hakim yang belum 10 tahun tapi sudah di atas lima tahun, dikonfirmasi lagi.
Wah, saya bilang ini enggak benar. Di dalam ilmu hukum, ini keliru. Akhirnya apa? Deadlock-kan saja, saya bilang. Maka deadlock. Selama saya jadi Menko, macet itu. Mulai bulan Agustus-September, sudah tidak perlu bahas lagi, saya bilang begitu. Ini bisa menakut-nakuti hakim MK yang sekarang ada. Mau Pemilu, begitu.
Deadlock. Tapi sekarang, sesudah saya pergi tiba-tiba disahkan. Ya saya tidak bisa menghalangi, saya bukan siapa-siapa. Tetapi itu ceritanya. Saya pernah deadlock-kan UU itu. Tapi sekarang sudah disahkan.
Kalau diteruskan berarti ada reason lain yang dilakukan oleh pemerintah?
Isinya tetap. Seperti yang saya tolak itu. Tetapi menurut saya, ya sudah saya tidak bisa menghalangi, tetapi satu hal menurut saya, itu bisa baik juga. Toh, sekarang ini yang akan terkena oleh UU itu untuk diminta konfirmasi kan tiga hakim. Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Suhartoyo. Suhartoyo tahun depan sudah akan pensiun, Saldi tahun 2027 pensiun, Enny Nurbaningsih 2028 pensiun. Jadi memang dilepas saja kan. Kenapa? Karena kan enggak menangani Pilpres lagi. Kalau UU biasa tidak silang. Kepentingannya silang antar parpol sehingga membahayakan.
Sehingga menurut saya kemungkinannya dua sesudah UU ini. Pertama, pemerintah itu minta Ketua MK mengirim surat meminta konfirmasi, apakah ini meneruskan apakah tidak. Satu ke Mahkamah Agung Suhartoyo, satu ke pemerintah. Menurut saya bisa, sudah diteruskan saja. Kenapa? Dalam pemikiran sisi politisnya sudah tidak ada Pilpres lagi, dan sudah tidak menangani Pilpres lagi karena sudah akan pensiun sendiri, habis. Tapi bisa juga, sudah ganti saja, yang kemarin orang ini enggak benar. Bisa.
Menurut saya, mungkin pilihan yang pertama yang akan lebih dipilih. Ini menurut saya ya. Sudahlah konfirmasi saya setuju sampai habis jabatannya sesuai dengan Keppres. Kemungkinan.
Itu dalam praksis. Tetapi sebagai ahli hukum tata negara, apakah ini tidak mengganggu independence of yudiciary?
Itu juga sebabnya dulu saya ini menolak. Ini menganggu independensi. Karena ini kan secara halus menakuti-nakuti. “Kamu kalau enggak ikut, ini diganti lho, dikonfirmasi, tanggal sekian dijawab tidak, berhenti.” Habis kamu sebagai hakim. Jadi independensinya juga sudah mulai disandera menurut saya.
Kalau Anda baca, ini semacam pembersihan politik? Atau instrumen untuk melakukan pembersihan politik?
Mungkin yang lebih halus bukan untuk pembersihan, kalau pembersihan kan membuang orang. Ini memuluskan jalan politik saja.
Memuluskan jalan politik?
Iya.
Artinya MK yang selama ini menjadi batu sandungan kemudian dikondisikan agar sejalan?
Iya. Agar sejalan.
Berarti kekuasaan berada dalam satu tangan?
Ya diam-diam kan begitu sekarang. Yang dibicarakan orang dan diskusi kita sejak awal tadi kan mulai terjadi resentralisasi secara diam-diam. Secara halus, secara apa, karena semua kan akhirnya berada di satu tangan.
Ini semacam political recalling ya?
Iya. Nanti ada political recalling. Independensinya dibatasi, salah satu caranya recall saja. Minta konfirmasi saja gitu. Tapi yang lebih keras lagi sebelum itu, ada di RUU itu. Sebelum dibahas ramai-ramai, ada di RUU itu bahwa DPR bisa menarik, atau lembaga yang mengusulkan bisa menarik. Nah itu recalling yang kasar. Kalau ini tidak. Diminta konfirmasi, bukan ditarik.
Waktu itu kan mantan Hakim MK dan Hakim MK yang ada di Jakarta kan kemudian bertemu, dipimpin oleh Pak Jimly Asshidiqie, saya, Hamdan Zoelva, Haryono, hadir juga waktu itu yang dari Malang.
“Wah ini enggak boleh nih seperti ini. Harus ada independensi.” Sehingga ide untuk menarik hakim, me-recall di tengah jalan itu dihapus. Tapi yang muncul kemudian, lima tahun dikonfirmasi. Yah lumayan.
Lumayan? Itu semata-mata karena legal drafting-nya tidak paham?
Ah, enggak. Kalau legal drafter itu kan tergantung
Pesanan?
Iya, pesanan. Saya minta apa, legal drafter bisa buatkan pasalnya. Legal drafter itu sangat-sangat teknis, bukan pada filosofi materinya. Itu harus dikuasai. Tapi yang punya filosofi materi itu kan yang mempunyai hak konstitusional untuk menentukan, ini begini. Dan itu hanya presiden dan DPR.
Artinya dari kasus ini, politik memang kembali menjadi panglima?Kekuasaan menjadi panglima dan hukum akan menyesuaikan?
Iya. Begini, saya sejak dulu berpendapat, politik memang akan selalu menjadi panglima. Tetapi itu tidak selalu jelek. Karena tidak ada satu negarapun yang tidak diputuskan oleh kekuatan politik, termasuk hukum. Bahwa hukum itu adalah produk politik kan? Berarti panglimanya itu adalah politik. Termasuk sekarang orang katakan, ekonomi kan bukan politik. Enggak, Keputusan ekonomi adalah keputusan politik.
Tetapi masalahnya sekarang, kalau politik menjadi panglima, kalau politiknya itu bagus, politiknya itu demokratis, fair, terbuka, itu tidak apa-apa politik menjadi panglima. Di mana-mana kan begitu. Di negara yang dikatakan demokratis itu dan hukumnya bagus itu kan tetap karena kepanglimaan politik ini. Di New Zealand misalnya, kan politik yang memutuskan bahwa hukum itu bagus. Tapi di negara lain, kan politik juga yang memutuskan bahwa hukum itu jelek. Jadi panglimanya tetap politik.
Tetapi orang mengatakan bahwa ketika hukum lebih diutamakan, maka panglimanya adalah hukum. Ketika ekonomi lebih diutamakan, panglimanya adalah ekonomi. Padahal panglimanya adalah tetap politik. Keputusan politik yang menentukan ini, maksud saya.
Siapa sih sebenarnya otak atau arsitek untuk kemudian mengkonsolidasikan kekuasaan menjadi dalam satu tangan termasuk juga merevisi UU Mahkamah Konstitusi?
Kalau menurut saya ini kolaborasi banyak aktor yang sama-sama punya keinginan tertentu yang bisa dicapai kalau berk1orasi. Misalnya membuat UU harus begini, ini dapat ini, ini dapat ini, itu dapat itu, itu dapat itu. Itu sudah biasa. Oleh sebab itu kita sekarang sering berteriak soal moral dan etika. Karena kalau cuma buat gitu gitu, apapun bisa dibuat. Draft itu, legal drafter itu bisa dipesan. Apa saja bisa. Kalau saya dipesan, coba buatkan UU ini. Saya saja bisa. Satu ini, satu ini. Saya bisa buat dua-duanya. Tetapi yang pentingkan moral dan etika di atas yang menginginkan ini. Apa nilai moral yang akan dituangkan di sini. Kan begitu.
Kalau UU itu gol, setiap hakim setiap lima tahun itu harus direkonfirmasi kepada lembaga pengusul, bukankah hakim itu akan menjadi proksi dari lembaga yang mengusulkan dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu akan lenyap?
Bisa jadi. Bisa jadi. Itu kan yang kita khawatirkan. Tapi itu kan akademis, pandangan yang rasional, bermoral, kan kayak gitu. Tapi tetap saja keputusan kan mereka yang memutuskan. “Enggak bukan itu maksudnya, ini biar hakim tidak seenaknya. Kalau hakimnya enggak benar, kami bisa konfirmasi.” Kan bisa juga begitu alasannya. Bisa benar juga kan. Tinggal alasannya apa? Kan bisa juga orang setuju bahwa ini lima tahun sekali dikonfirmasi. Kemarin kalau ada yang tidak benar, diganti saja. Kan bisa saja, dan itu masuk akal. Tetapi maksud saya masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah kita bisa dikendalikan. Kan begitu.
Agar bisa dikendalikan?
Ya itulah makanya saya tekankan independensi.
Dan bisa disebut gagasan itu keblinger?
Ya kalau dibilang keblinger ya bisa saja. Bisa saja.
Itu soal UU Mahkamah Konstitusi, tapi pada saat yang lain juga ada UU Kementerian Negara.
Nah itu.
Yang kemudian karena harus mengadopsi banyak sekali menteri-menteri dari berbagai parpol, kemudian dilebarkan, diluaskan.
Iya.
Itu gimana? Sudah dibatasi 34, tapi karena harus menjadi 39 atau 40 kemudian UU-nya diubah?
Itu yang saya katakan. Sekarang itu ada kecenderungan, paling tidak gejala itu sudah mulai muncul bahwa permainan politik itu ditandai dengan dua hal buruk. Satu, money politics kepada pemilik. Kedua, janji-janji jabatan kepada orang-orang pendukung yang berpengaruh. Nah itu di daerah kan juga banyak.
“Kamu kalau saya terpilih kamu jadi Kepala Dinas, kamu Sekda, kamu ini, kamu itu.” Di daerah kan itu terjadi juga. Nah sekarang di tingkat pusat sedang muncul isu penambahan menteri. Itu kan karena terlalu banyak tim yang semuanya sama berjasa, sama perlu diberikan penghargaan yang sama, ketika dihitung, hitungannya begini, nanti ditambah lagi begini.
Nah itu sekarang ada gejala seperti itu. Saya termasuk yang melihat itu sebagai sebuah gejala. Apakah itu salah? Secara teknis ada alasannya untuk mengatakan, bahwa kami memang butuh itu. Tetapi kalau saya sih sebenarnya punya ide penyederhanaan. Seperti di Amerika itu.
Penyederhanaan kementerian?
Iya. Menteri dikit saja, tetapi dirjennya diperbanyak. Itu yang agak mirip-mirip itu dijadikan satu kelompok. Seperti Kementerian Agraria, kan bisa digabung dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, itu bisa satu. Agraria kalau di dalam teori Venn Agraris itu ada pertanian, kelautan, pertanahan, udara, itu semua masuk Venn agrarian. Nah sekarang dipecah-pecah banyak.
Dulu sebenarnya hal itu tentang agraria misalnya, kenapa sih banyak sektor-sektor yang kemudian saling bertentangan kebijakannya. Antara Menteri Kelautan dengan Menteri Kehutanan, itu ngurusi pulau-pulau terluar enggak selesai-selesai sampai sekarang. Padahal itu satu. Satu induk di dalam teori Venn agrarian. Nah sekarang mau ditambah-tambah lagi.
Nah makanya Amerika itu, yang begitu hebatnya, cukup hanya 14 apa 17 kementerian sejak dulu. Enggak bertambah. Kalau mau kasih-kasih politik, kan cari cara lain. Banyak. Tapi kalau tambah-tambah lagi nanti dari 40 jadi 46, naik terus bisa tambah lagi. Kacau kan.
Administrasinya jadi terganggu, tidak kontinyu. Terganggu di tengah jalan, berubah lagi, berubah lagi. Karena ganti stempel, ganti menteri, berubah lagi tupoksi dan lain sebagainya.
Melarang Investigasi, keblinger
UU MK direvisi, UU Kementerian Negara direvisi, sekarang juga muncul lagi di kalangan media soal RUU Penyiaran yang mau direvisi, yang melarang produk jurnalistik investigatif.
Kalau itu sangat keblinger. Masa media dilarang investigasi. Tugas media itu ya menginvestigasi. Sebuah media bisa menjadi hebat kalau dia memiliki wartawan yang bisa melakukan investigasi yang mendalam dan menghasilkan sesuatu yang disembunyikan atau tersembunyi. Masak media tidak boleh investigasi? Sama saja itu dengan melarang orang riset. Iya kan? Cuma ini untuk keperluan media, yang satu untuk keperluan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu, itu harus kita protes. Masa media tidak boleh investigasi.
Tapi yang jadi pertanyaan, politik hukum seperti apa yang ada di pikiran penanggung jawab bidang hukum sampai dibikin model UU yang seperti itu?
Mungkin konsep politik hukumnya yang tidak jelas. Tidak utuh. Sehingga ini pesanan-pesanannya kepada yang teknis. Kalau politik hukumnya kan sudah sinkron nih, UU Penyiaran ini mendukung UU Pers, UU Pidana, saling mendukung itu. Tapi kalau dipreteli satu persatu berdasarkan kepentingannya ya susah juga.
Oleh karena itu tetap saja kembali ke bagaimana political will kita ya. Atau lebih tinggi lagi, moral dan etika kita dalam berbangsa dan bernegara ini. Atau lebih tinggi lagi, kalau orang beriman, bagaimana kita beragama. Menggunakan agama itu untuk kebaikan bernegara, berbangsa dan lain sebagainya.
Tapi satu hal lagi, ketika itu memang sangat terkait dengan kepentingan elit, UU itu dengan cepat diubah. Tetapi kalau terkait dengan publik, katakanlah RUU Perampasan Aset yang Anda sampaikan ke DPR pada Februari 2023, sekarang juga enggak jelas itu. Hilang atau ke mana itu?
Enggak jelas kabarnya. Sebenarnya ada dua sih, UU Perampasan Aset dan UU Pembuktian Terbalik. Belanja uang tunai. Saya tawar menawar itu dengan DPR. “Pak kalau perampasan aset saya bisa bicarakan, tapi kalau belanja uang tunai itu dibatasi, kami tidak bisa. Kami tidak setuju.”
Kan sebenarnya kan bagus ya. Anda mau membeli ini, harganya berapa? Rp 100 juta misalnya. Ya sudah pakai rekening. Dari rekening Anda nomor sekian, ke rekening lain nomor sekian. Semua transaksi ketahuan. Kalau dengan cara itu, katanya nih, orang mau nyuap mau korupsi, enggak bisa. Oleh sebab itu, enggak setuju. “Pak kalau UU yang belanja itu enggak usah, tapi kalau yang perampasan aset mari kita bicarakan.”
Saya terus konsultasi ke presiden. Jalan. “oh ya sudah, jalan. Itu dulu,” kata presiden. Buat aturan, kita kirim. Saya suruh kirim sendiri, saya tanda tangan, saya ingatkan DPR. Ini ya, kami sudah mengajukan surat. Sampai sekarang enggak jalan.
Februari 2023, sampai sekarang Mei 2024?
Iya. Sudah lebih dari setahun.
Sudah lebih dari setahun dibiarkan, ditolak tidak, disetujui juga tidak?
Iya. Ditolak tidak, disetujui juga tidak. Ya saya kan tidak bisa apa-apa juga. Kalau sudah ke sana kan itu sudah menjadi urusan DPR. Waktu saya Menkopolhukam itu sudah saya ingatkan terus. Tetapi kan tidak bisa mengambil Keputusan. Toh yang memutuskan itu kan tetap mereka, tetap DPR.
Kalau berkaca pada UU MK, berkaca pada UU Kementerian Negara, revisi UU Penyiaran dan RUU Perampasan Aset. Bukankah politik hukum yang ada di Indonesia itu menunjukkan bahwa hukum memang untuk kepentingan mereka yang berkuasa?
Iya. Implementasi politik hukum kita itu banyak dilakukan, ini menurut pendapat saya, untuk kepentingan yang berkuasa. Untuk mempertahankan kekuasaan atau berkolaborasi dengan orang lain yang ingin juga mendapat bagian kekuasaan. Yang benar-benar, yang lurus-lurus itu kok susah ya saya memberikan contoh ya? Sekarang ini sudah sebagian besar begitu.
Jadi mungkin bagi rakyat kebanyakan akan menjadi penonton di pinggir jalan, begitu?
Iya itu celakanya. Rakyat sebenarnya kebanyakan itu menjadi penonton di pinggir jalan, tetapi mereka ini tidak sadar karena mereka bukan kaum yang mengerti cerita ini. Mereka tidak mengerti bahwa itu sedang dikerjain hak-haknya itu sedang dirampas. Jadi rakyat itu diam saja. Dengan, apa namanya, pork barrel itu ya.
Pork barrel ya?
Iya. Dengan itu kan, kasih itu saja. Wah ini kan makin makmur, makin ini, makin itu. Biarin saja, biarin. Padahal itu bahaya sekali untuk keadaban kita.
(Budiman Tanuredjo, bersambung)
Leave a Reply