“…Kekuatan masyarakat sipil atau kekuatan tengah—yang menjadi jembatan antara negara, partai politik, dan masyarakat—perlu introspeksi diri...”
Hampir dua bulan wacana publik disesaki isu yang dilempar elite politik. Isu panas berupa penundaan Pemilu 2024 dan perubahan UUD 1945 dilemparkan elite politik dalam barisan koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Agenda penundaan Pemilu 2024 tak pernah muncul dalam radar survei. Wajar karena semua orang tahu regularitas pemilu lima tahunan adalah sila pertama dari demokrasi. Reformasi Mei 1998 berhasil memaksakan reformasi konstitusi yang intinya pemilihan presiden secara langsung dan pembatasan masa jabatan presiden.
Tragedi Trisakti dan Semanggi—yang sampai sekarang masih menjadi tugas sejarah yang belum terungkap—bisa menjadi saksi perjuangan reformasi 1998 untuk membatasi kekuasaan presiden. Sejarah panjang Orde Baru melahirkan Soeharto yang menjabat 32 tahun menjadi catatan sejarah bangsa ini.
Hari ini, Sabtu 12 Maret 1998, berita utama harian Kompas berjudul ”Presiden Soeharto: Lima Tahun Nanti Saya Akan Sampaikan Pertanggungjawaban”. Presiden Soeharto mengangkat sumpah sebagai Presiden 1998-2003. Ketua Umum Golkar yang juga Ketua MPR Harmoko sukses membujuk Soeharto maju lagi menjadi presiden untuk ketujuh kalinya.
Perubahan begitu cepat. Unjuk rasa terjadi di sejumlah tempat. Aparat melakukan represi. Sejumlah mahasiswa Trisakti ditembak. Dan, gejolak politik memuncak dengan berita Kompas, 21 Mei 1998, berjudul, ”Selamat Datang Pemerintahan Baru-11 Menteri Ekuin Mundur”. Soeharto akhirnya menyatakan berhenti sebagai presiden dan digantikan Wapres BJ Habibie yang kemudian bersama MPR mempercepat Pemilu 2003 ke 1999.
Memori Maret dan Mei 1998 itu kembali mencuat ke permukaan saat elite politik mewacanakan menunda Pemilu 2024. Kelompok masyarakat sipil atau kekuatan tengah yang selama ini seperti terlelap dengan kenyamanan terbangun. Saya mengirim pesan Whatsapp kepada seorang aktivis yang kini berada di lingkar pemerintahan, ia merespons singkat, ”Aku sedih mengapa jadi begini.”
Elite politik dominan menentukan agendanya. UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi amanat reformasi digergaji. UU Mahkamah Konstitusi diubah untuk memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi. UU Cipta Kerja disahkan kemudian dikoreksi MK sebagai inkonstitusional bersyarat. UU Ibu Kota Negara disahkan. Ibu kota negara segera pindah dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Agustus 2024. Padahal, dalam panggung kampanye dan dalam dokumen kampanye, tidak pernah ada capres atau parpol yang mengampanyekan pemindahan ibu kota. Ibu Kota Negara Nusantara jika semuanya berjalan lancar bisa melengkapi legacy Presiden Jokowi di bidang pembangunan infrastruktur.
Masyarakat sipil seperti tersentak saat elite mewacanakan penundaan pemilu. Kekuatan masyarakat sipil atau kekuatan tengah—yang menjadi jembatan antara negara, partai politik, dan masyarakat—perlu introspeksi diri.
Diskursus gerakan demokratisasi yang pernah diwacanakan Olle Tornquist, profesor politik dari Universitas Oslo, dalam wawancara dengan Kompas, 8 Juni 2014, menyebutkan, dominasi kelompok bisnis harus diimbangi dengan gerakan berorientasi kerakyatan. ”Kita tidak bisa memiliki sistem kepartaian dan sistem pemilu yang lebih baik hanya dengan mengandalkan ahli untuk merancang hukum dan aturan atau meminta para pimpinan parpol dan anggota parlemen untuk mereformasi diri sendiri. Juga tidak bisa meliberalisasi sistem politik yang mengarah pada politik berbasis figur karena cara seperti itu sangat naif, sama naifnya dengan menganggap satu figur bisa menyelesaikan persoalan ekonomi dan oligarki seperti layaknya pasar bebas.”
Masyarakat sipil perlu duduk bersama, menyepakati agenda bersama, mengingat kembali perjuangan reformasi, semangat antikorupsi, kolusi, dan nepotisme, dwifungsi ABRI, pembatasan kekuasaan presiden, penghormatan akan hak asasi manusia dan kebebasan sipil, serta tantangan bangsa, perubahan iklim, revolusi ekonomi digital, perebutan energi dan perebutan pangan guna menghadapi seabad Indonesia 2045. Tanpa kawalan bersama, khawatir percepatan revolusi digital hanya akan memperdalam kesenjangan sosial.
Kekuatan masyarakat sipil dari sisi advokasi kebijakan hampir tak bergerak. Kelompok antikorupsi masih menyandarkan diri pada ICW yang cenderung memudar seiring dengan memudarnya KPK, dari sisi advokasi HAM masih tersisa diaspora LBH (Kontras dan Elsam) yang tampak mulai kehilangan energi, dari sisi lingkungan masih ada Walhi yang juga tampak sendirian.
”Alumni” LSM advokasi itu seperti menempatkan ”wakil” mereka di kekuasaan. Kelompok itu seperti terfragmentasi dalam isu-isu parsial. Meski dalam gerakan voluntarisme muncul gerakan baru di Yogyakarta, seperti Sonjo yang berfokus pada gotong royong menolong sesama dan gerakan lain.
Menyusun platform bersama Indonesia 2045 perlu digagas kekuatan tengah. Mengidentifikasi masalah bangsa dan menyusun peta jalan bersama. Dan akhirnya, mencari calon presiden masyarakat sipil yang relatif terbebas dari kepentingan oligarki. Kekuatan tengah didorong jadi kekuatan penyeimbang ketika kekuatan parpol lebih mementingkan agendanya sendiri.
(Kompas, 12 Maret 2022)
Leave a Reply