Korupsi Kian Menjadi, Pemerintah Tak Pernah Serius Menangani

“Narasi besar yang tidak connect dengan narasi kecil dan implementasi di bawah. Jadi apa yang beliau narasikan itu bagus banget, itu kan tone from the top tapi tone from the top sendiri tidak akan berfungsi apa-apa ketika di bawah tidak ada yang mengerjakan,”

—Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin

Korupsi yang membelit Indonesia sudah menjadi-jadi. Setidaknya itu ungkapan yang disampaikan Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin saat dimintai pandangannya mengenai bagaimana perkembangan korupsi di Indonesia hari ini.

Wijayanto yang merupakan editor buku “Korupsi Mengorupsi Indonesia” (2009), sempat berharap jika kembali menuliskan bab korupsi di Indonesia dalam sebuah buku, jumlah halaman yang perlu ia tulis akan jauh lebih sedikit ketimbang buku pertama yang berjumlah 119 halaman. Indonesia dalam angan-angannya sudah banyak berbenah dan melakukan perbaikan di bidang korupsi. Tapi harapan itu ibarat pepatah jauh panggang dari api.

“Sayangnya kalau kita tulis buku yang sama mungkin tebalnya bisa 3-4 kali lipat,” kata Wijayanto dalam siniar Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.

Keyakinan bahwa korupsi makin parah di Indonesia berangkat dari penilaiannya terhadap upaya-upaya pemerintah dalam menumpas korupsi, dari satu rezim ke rezim yang lain terlihat tak ada langkah konkret dan konsisten. Sehingga korupsi makin tumbuh subur dan membudaya.

Korupsi tak lagi dipandang sebagai kejahatan yang memalukan dan menjijikkan. Hari ini, korupsi seperti kabar harian yang tak lagi membuat heran. Bagi pelaku, tak perlu menutup muka dan malu berlebihan, toh publik akan segera lupa dan beralih pada pelaku korupsi yang lain, yang lebih baru, yang lebih fantastis nominalnya, dan begitu berjalan seterusnya.

Ekonom Wijayanto Samirin dalam podcast Back to BDM.

Dalam 10 tahun terakhir, banyak hal yang telah terjadi sehingga membuat korupsi makin ramai dilakukan. Misalnya, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan tingginya biaya politik yang membuat politisi harus menghamba pada pemilik modal atau Wijayanto menyebutnya sebagai investor politik.

“Investor politik mengharapkan return, dalam bentuk apa, kebijakan yang pro mereka. Ini yang namanya grand corruption. Kalau dulu barangkali di Indonesia yang sangat masif itu adalah petty corruption, sekarang grand corruption,” ujar Wijayanto.

Parahnya, perbuatan korupsi besar semacam itu tak hanya terjadi di pusat, tapi juga sampai ke pemerintahan daerah. Lebih memprihatinkan, korupsi dulu kebanyakan dilakukan oleh kelompok senior yang sudah berpengalaman, sekarang junior pun sudah bisa melakukan hal yang sama.

Ada yang menyebut korupsi adalah oli pembangunan. Jika korupsi tidak dilakukan maka pembangunan tak akan jalan. Tapi Wijayanto menyebut itu dulu, sekarang korupsi bukan hanya sebatas pelumas pembangunan, korupsi sudah menjadi budaya hidup sehari-hari.

Ekonom Wijayanto Samirin dalam podcast Back to BDM.

Saking kencangnya belitan korupsi dalam lingkaran birokrasi Indonesia, sindiran sempat dilontarkan melalui tulisan-tulisan. Ingin sukses, tak perlu sekolah dan belajar, masuk saja ke lingkup koruptor. Ada juga yang menulis, korupsi sebagai jalur karier, sukses tanpa perlu repot.

Sindiran-sindiran itu begitu menyakitkan bagi setiap orang yang masih memiliki nurani. Bukan karena fitnah, menyakitkan lantaran apa yang dituliskan itu sesuai dengan kenyataan di lapangan. Kondisi kita memang semenyedihkan itu.

“Faktanya di Indonesia mereka yang kerja keras, belajar S1, S2, S3, berintegritas, profesional, seringkali tidak dapat kesempatan. Malah kemungkinan harus tersingkir, karena mereka bisa dipersepsikan sebagai pengganggu kelompok yang mempunyai kultur lain (korupsi) ini,” ungkap Wijayanto.

Negara ini bukan diam menghadapi tsunami korupsi, sudah beragam cara dilakukan, bermacam lembaga negara dibentuk demi bisa menumpas kejahatan luar biasa itu. Namun, hampir semuanya kandas dan mati. Begitu juga dengan KPK saat ini.

Semua itu bukan tidak mungkin merupakan hasil dari upaya para koruptor untuk melakukan perlawanan balik atau fightback. Perlawanan itu mereka lakukan dengan cara melemahkan upaya-upaya pemberantasan korupsi yang digagas pemerintah.

Selain itu, kegagalan bisa juga disebabkan oleh tidak adanya pemimpin yang benar-benar total dalam memerangi korupsi. Pernyataan perang terhadap koruptor hanya terlontar keras dalam bentuk narasi dan lip service semata. Ini yang membuat suatu pekerjaan melawan korupsi tak pernah membuahkan hasil yang baik.

“Sekarang lebih parah lagi karena sudah saling mengikat satu sama lain. Seseorang mempunyai kartu truff orang yang lain, hampir semua orang mempunyai permasalahan terkait korupsi ini sehingga untuk bergerak memberantas korupsi makin sulit,” sebut Wijayanto.

Permainan saling pegang kartu inilah yang membuat seseorang bisa dengan mudah menguasai politik dan sistem di Indonesia.

Semua ini adalah hal yang terjadi secara natural, ketika ada banyak pihak yang terlibat korupsi dan semuanya menganggap bahwa korupsi adalah hal yang biasa saja. Sayangnya, kelompok sipil sempat melemah, tak sekuat era dulu, ketika mengawasi dan terlibat dalam upaya perlawanan terhadap korupsi.

Kini, kelompok-kelompok sipil itu justru sudah banyak yang diseret masuk ke dalam sistem dan menjadi bagian dari pelaku korupsi itu sendiri.

Ekonom Wijayanto Samirin dalam podcast Back to BDM.

Wijayanto juga mengamati soal perbandingan  nominal korupsi antara dulu dan kini. Dulu, korupsi Rp1 triliun saja sudah menjadi berita besar dan menjadi pembicaraan dimana-mana. Namun sekarang, korupsi dilakukan hingga mencapai ratusan triliun, bahkan kuadriliun.

“Kemarin ketika (korupsi) Pertamina disampaikan oleh Kejaksaan Agung korupsi Rp1 kuadrilun itu kan responnya banyak yang ketawa, banyak yang mentertawakan fenomena ini. Kenapa, karena sebelumnya sudah ada (korupsi) timah, Jiwa Seraya, Bumiputra yang angkannya ratusan triliun, sehingga masyarakat sudah mengalami habituasi terhadap informasi itu,” kata Wijayanto.

Namun harus diketahui, angka kuadriliun yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung adalah angka yang “halusinatif”, artinya bukan persis uang yang dikorupsi oleh para tersangka.

Perhitungannya bukan lagi sekadar berapa banyak uang yang dicuri, tapi juga kerugian ekonomi, kerusakan lingkungan, termasuk potensi kerugian di masa depan.

Wijayanto melihat ada sisi positif dan negatif dari metode perhitungan yang memunculkan jumlah bombastis itu. Positifnya, sebuah kasus korupsi menjadi viral dan mudah mendapat perhatian luas dari publik sehingga mereka turut mengawal jalannya proses hukum atas korupsi yang terjadi.

Sisi negatifnya, publik menjadi kian terbiasa dengan angka-angka korupsi yang besar, megakorupsi perlahan akan diterima sebagai suatu kewajaran. Dampak buruk lainnya, angka besar itu akan menjadi perhatian dunia internasional, khususnya kelompok pengusaha yang akhirnya membuat mereka enggan menanamkan modalnya di Indonesia, negara yang di mata mereka begitu koruptif.

“Angkanya sudah sangat masif dibandingkan korupsi-korupsi besar di Afrika, di dunia lain, (angka korupsi di Indonesia) itu jauh lebih besar. Walaupun saya sepakat, angka ini lebih halusinatif sifatnya,” ujar dia.

Selain, nilai korupsi yang spektakular, pengungkapan kasus korupsi di Indonesia juga kian dramatis dengan dipajangnya tumpukan uang ketika KPK atau Kejagung melakukan konferensi pers penangkapan tersangka korupsi.

Dua hal itu menurut Wijayanto tak perlu dilanjutkan dan harus segera diakhiri, karena tidak sepenuhnya produktif dalam rangka pemberantasan korupsi.

“Tapi apapun itu, Kejaksaan Agung harus kita apresiasi, agresif, maju, dan produktif dalam pemberantasan korupsi. Hanya hal-hal yang tadi kita diskusikan kalau bisa diperbaiki akan lebih bagus lagi,” ungkap Wijayanto.

Di tengah gemilangnya kinerja Kejaksaan Agung dalam mengungkap kasus-kasus korupsi kelas kakap, KPK justru terkesan “mandul” dan hanya sibuk dengan kasus-kasus kecil yang cenderung berkaitan dengan kepentingan politik. Misalnya kasus Sekretaris Jenderal  PDI Perjuangan, Hasto Kristianto, yang terlibat kasus suap dengan nominal sekitar Rp600 juta.

Wijayanto berpendapat KPK dan Kejaksaan Agung tak perlu berlomba dan membuktikan diri lebih produktid dari yang lain dalam hal menangkapi para rampok negara. Justru, keduanya harus berkolaborasi dan membagi tugas sehingga proses pemberantasan korupsi bekerja lebih efektif dan efisien.

Pembagian tugas itu misalnya dibagi berdasarkan sektor, sehingga tidak ada tumpang tindih kewenangan atau terkesan berebut kasus.

“Saya melihat memang dua institusi ini harus (berkolaborasi). Dua institusi yang sama-sama powerful kenapa enggak dibagi saja mungkin bukan by wilayah tapi by sector,” kata Wijayanto.

Ia berharap Presiden Prabowo segera duduk bersama para petinggi dan membicarakan serius persoalan korupsi di Indonesia ini. Mereka harus mengetahui situasi sebenarnya yang terjadi, menimbang kekuatan apa yang dimiliki untuk menyelesaikannya, dan merumuskan langkah apa saja yang mesti ditempuh. Lebih lanjut, pemerintah juga harus memahami risiko apa yang kiranya akan terjadi jika korupsi ini terus dibiarkan menjamur di dalam negeri.

BDM memberikan dua buku karyanya kepada Wijayanto Samirin.

Untuk saat ini, Presiden telah mengundang milyarder Amerika Serikat Raymond Thomas Dalio atau Ray Dalio menjadi penasihat Danantara, sebuah proyek super holding BUMN yang diinisiasi Prabowo.

Di hadapan para menteri dan pengusaha, Dalio menyampaikan ada dua kunci yang bisa mendorong Indonesia menjadi negara maju: perbaiki birokrasi dan berantas korupsi.

“Itu simpel, sesuatu yang sudah kita ketahui selama ini, tapi karena ini yang bilang Ray Dalio barangkali weight-nya beda,” ujar Wijayanto.

Dua hal itu adalah sesuatu yang sudah kita tahu bersama sejak dulu, hanya saja tidak pernah dilakukan dengan baik. Ibarat orang sakit, sudah diberi obat, tapi enggan mengonsumsinya. Akhirnya penyakit semakin parah dan menjalar ke bagian tubuh lain yang semula masih sehat.

Dan untuk konteks pemerintahan Presiden Prabowo saat ini, keengganan “meminum obat” itu sesungguhnya agak tertepiskan. Hal itu terlihat dari betapa tegasnya narasi dan orasi perang melawan koruptor yang dibawakan Prabowo di berbagai kesempatan.

Sayang, narasi itu belum bisa diimplementasikan dalam kebijakan dan kerja nyata.

“Narasi besar yang tidak connect dengan narasi kecil dan implementasi di bawah. Jadi apa yang beliau narasikan itu bagus banget, itu kan tone from the top tapi tone from the top sendiri tidak akan berfungsi apa-apa ketika di bawah tidak ada yang mengerjakan,” sebut Wijayanto.

Prabowo tak cukup hanya menjadi pemimpin di atas, ia juga harus bisa mengatur dan menentukan apa yang harus dilakukan oleh timnya di bawah. Jika tidak, maka ucapan Prabowo hanya terdengar sesaat lalu menguap ke udara dan masyarakat tak lagi menaruh percaya padanya.

Tak hanya soal pemberantasan korupsi, tapi juga soal hal-hal lain seperti makan bergizi gratis (MBG), Danantara, peningkatan ekonomi 8 persen, dan sebagainya. Janji manis yang sudah dilontarkan sebaiknya harus dipenuhi sebisa-bisanya. Sekali lagi, jika semua harapan itu tidak bisa dipenuhi maka yang terjadi adalah kekecewaan dan munculnya ketidakpercayaan publik (public distrust).


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *