Membenahi Komunikasi Politik Istana

Budiman Tanuredjo, Jurnalis

Selasa 11 Maret 2025, saya diundang Wijayanto Samirin, pengajar ekonomi Universitas Paramadina, Jakarta untuk ngobrol soal komunikasi politik pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Selain saya, ada juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Andi Mallarangeng, Pemred IDN Times Uni Lubis, dan Abdul Rahman Ma’mun (Dosen Paramadina). Universitas Paramadina kini menempati kokasi strategis di Trinity Tower, kawasan Kuningan.

Obrolan tak bisa dilepaskan dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas Februari 2025 yang menyampaikan pesan masih bermasalahnya komunikasi pemerintahan Presiden Prabowo. Dari jajak pendapat itu menyebutkan 68,8 persen program Presiden belum tersosialisasikan dengan baik, 30,9 persen sudah baik, dan 0,3 persen tidak tahu. Meski sudah ada Kantor Komunikasi Presiden, pola komunikasi pemerintah memang carut-marut alias membingungkan. Uni Lubis menyebut yoyo policy. Kebijakan dilemparkan ke publik, mendapat reaksi keras, kemudian dikoreksi.

Kisruh kasus PPN 12 persen, kesemrawutan kasus elpiji 3 kg, kasus program efisiensi, mempertontonkan pola yoyo policy. Itu salah satu tafsir. Tapi bisa tafsir lain. Setelah kisruh dan terjadi kontroversi akan muncul sosok penyelesaian akhir yang mengambil posisi berpihak kepada rakyat. Itulah komunikasi untuk membentuk citra. Kedua pola itu tidak menguntungkan.

Karena kegagapan dalam berkomunikasi bisa memunculkan kepanikan pasar. Komunikasi Danantara yang begitu optimistis disambut anjloknya pasar saham. IHSG terpuruk. Ekonomi komando melalui model penyaluran modal ke Koperasi Merah Putih juga disambut skeptikal. Gagasan Sekolah Rakyat kemudian juga memunculkan tanya. Apa bedanya dengan sekolah-sekolah yang sudah ada. “Apa maksudnya sekolah rakyat dan apa bedanya dengan sekolah dasar,” tanya seorang politisi senior kepada saya. Begitu juga halnya dengan calon aparatur sipil negara. Banyaknya pertanyaan publik terhadap sebuah kebijakan paling tidak menandakan pesan atau substansi belum tersampaikan secara utuh kepada publik.

Hadir dalam forum diskusi di Paramadina: Uni Lubis, Andi Mallarangeng, Budiman Tanuredjo, dan Abdul Rahman Ma’mun.

Komunikasi adalah bagian dari solusi. Kesuksesan komunikasi adalah setengah keberhasilan. Namun berkomunikasi bukanlah hal mudah. Terlebih ketika berkomunikasi dalam masyarakat yang tidak tulus. Berkomunikasi dalam masyarakat tidak tulus, saya ambil dari pandangan Jakob Oetama, pendiri Harian Kompas. Pandangan Jakob itu diungkapkan sekitar tahun 2000-an. Ketika masyarakat masih hidup dalam komunikasi analog. Komunikasi terjadi antara penyampai pesan dan penerima pesan. Dalam situasi komunikasi linier seperti itu saja, sebuah pesan bisa disalahpahami. Teks bisa ditafsirkan di luar konteksnya. Apalagi di zaman anarki komunikasi saat ini. Kini siapapun bisa membuat pesan, menyampaikan pesan, dan menafsirkan pesan. Penerima pesan bisa memproduksi pesan sendiri dan menafsirkan pesan sendiri. Penyampai dan penerima pesan sama-sama bisa memproduksi pesan dan menafsirkan pesan. Komunikasi menjadi kian rumit karena sifatnya multi arah. Terlebih jika dikaitkan dengan era paska-kebenaran. Kebenaran sebuah pesan bukan ditentukan oleh otoritas penyampai pesan tapi oleh persepsi. Dalam bahasa Jawa disebut pating blasur.

Dalam tafsir kekinian, inilah era komunikasi dalam masyarakat yang tidak tulus. Realitas sosiologis menunjukkan masyarakat terfragmentasi. Ada Kelompok 58. Kelompok 16, atau kelompok 24. Ada juga kelompok yang dahulu masuk sebagai penentang sekarang bergabung dengan kelompok pemenang. Rekam jejak digitalnya masih terekam. Sosok demikian kehilangan kredibilitas di mata publik karena posisi moral politiknya yang mencla-mencle.

Salah satu keberhasilan komunikasi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah bagaimana pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membangun relasi media dengan kekuasaan atau juru bicara kepresidenan dengan pola hubungan yang “mutual respect”.

Ada pola “understanding communication” antara Kantor Kepresidenan dengan media. Media tidak pernah ditempatkan sebagai sub-ordinasi dari kekuasaan tapi menjadi mitra dialog yang kritis. Media tidak dipandang sebagai penyampai pesan dari kekuasaan karena jati diri media selain penyampai informasi tapi juga menjalankan peran sebagai kontrol sosial untuk mewakili kepentingan publik.

Artikel di Harian Kompas berjudul “Ketika Aktor Kehilangan Panggung” yang dianggap merugikan Presiden SBY.

Ketika berita media dipandang tak menguntungkan atau menyesatkan solusinya adalah hak jawab. Presiden SBY pernah merasa dirugikan terhadap tulis ficer di Harian Kompas berjudul, “Ketika Aktor Kehilangan Panggung” pada 6 Januari 2005. Merasa keberatan dengan berita itu, Sofyan Djalil, Andi Mallarangeng, dan Dino Patti Djalal mendatangi redaksi Kompas. Saya menemui dan mendialogkan keberatan berita tersebut. Presiden SBY menggunakan hak jawab dan dimuat di Kompas, 13 Januari 2005. Presiden SBY adalah presiden pertama yang menggunakan hak jawabnya.

Artikel yang memuat hak jawab SBY atas artikel sebelumnya yang dirasa merugikan pihak SBY.

Dalam kesempatan lain, di era Orde Baru, sejumlah pemimpin redaksi sering diajak bicara oleh kementerian atas sebuah rencana kebijakan. Pemimpin redaksi diminta pandangannya atas rencana kebijakan itu. Dari sanalah, potensi terjadinya kesalahpahaman bisa dikurangi. Pemimpin redaksi bisa ditempatkan sebagai devil advocate. Pertemuan itu merupakan building understanding (membangun kesepahaman) antara media dan pemerintah.

Salah satu factor kunci lain keberhasilan komunikasi pada era Presiden SBY adalah melekatnya kedua juru bicara Andi Mallarangeng dan Dino Patti Djalal dalam setiap aktivitas kepresidenan. Akses akan menjadi penting. Pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saya menangkap kesan: Kantor Komunikasi Presiden tidak punya akses langsung kepada Presiden. Dan juga tidak mengetahui secara persis posisi politik Presiden atas sebuah isu. Misalnya, dalam kasus kisruh elpiji. Ketika Kantor Kepresidenan memberikan dukungan bahwa pembatasan elipiji sepengetahuan Istana. Keesokan hari, Presiden mengambil putusan lain, keruwetanlah yang terjadi.

Lalu bagaimana?

Jika Kantor Komunikasi Presiden akan tetap dioptimalkan sebagai pusat komunikasi presiden, mereka harus punya akses informasi kepada Presiden. Atau, Presiden menunjuk orang yang dipercaya sebagai juru bicara Presiden seperti Andi Mallarangeng dan Dino Patti Djalal di era SBY, atau Wimar Witoelar di era Presiden Gus Dur. Penyampai pesan adalah orang kepercayaan. Harus punya kredibilitas dan integritas. Dan, bukan sekadar humas dengan menempatkan media secara hierarkial. Dan yang tak kalah pentingnya adalah pilihan kata untuk menjaga kemartabatan politik Indonesia. Dan tidak perlu bombastis dan sensasional, karena pesan komunikasi adalah utang yang harus dilunasi.

Namun, itu sepenuhnya terserah pada Presiden Prabowo Subianto untuk menentukan siapa juru bicara presiden. Yang paling penting ada trust dan chemistry antara Presiden dan juru bicara serta juru bicara kredibel di mata publik.***


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *