“Saya minta teman-teman pendukung koalisi Pak Prabowo fair, kalau tidak mau dikritik dalam kerja 100 hari, teman-teman juga tidak boleh berbicara mengenai 2029 ketika baru 100 hari,”
—Pengamat Politik Yunarto Wijaya
Presiden Prabowo Subianto yang juga merupakan Ketua Umum Partai Gerindra mengusulkan pembentukan koalisi permanen bersama partai-partai politik untuk Pemilu 2029.
Usulan itu Prabowo sampaikan secara langsung di hadapan para ketua umum partai politik dalam acara Silaturahim Pimpinan Parpol di Hambalang (14/2/2025).
Sejumlah partai menyambut baik hal tersebut, namun sebagian yang lain tak langsung menyanggupinya, bahkan ada yang mengatakan tidak tertarik.
Terlepas dari itu semua, mengapa gagasan ini dilontarkan oleh Prabowo di masa kepemimpinannya yang baru menginjak bulan ke-4? Apakah tidak terlalu dini? Agenda politik apa yang direncanakan dengan pembentukan koalisi permanen ini?
Mendiskusikan hal tersebut, sejumlah tokoh harir dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (19/2/2025) yang mengangkat tema “Prabowo di antara Koalisi Permanen dan Indonesia Gelap”.
Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno menganggap usulan ini sebagai upaya Prabowo mengikat jalinan kerjasama politik yang saat ini sudah ada. Prabowo diketahui menjabat Presiden dengan dukungan partai politik yang sangat besar. Dukungan massif itu nampaknya ingin dilanggengkan oleh Prabowo untuk keperluan kontestasi di 2029.
“Pak Prabowo punya modal politik yang kuat karena beliau mampu merangkul seluruh partai-partai politik yang ada dan kemudian terepresentasikan di dalam kabinet, jadi saya kira itu kemudian diikat jalinannya di dalam wacana koalisi permanen,” kata Eddy.
Dengan adanya ikatan berupa koalisi permanen itu, pekerjaan dan tugas besar yang akan dihadapi di depan dapat dijalankan dengan senafas, beriringan dengan partai-partai politik yang tergabung di dalamnya. PAN sendiri menjadi salah satu partai yang menyambut positif usulan Presiden itu.
“Karena kita sudah sudah menjalin hubungan yang emosional dan kesejarahan begitu panjang dengan beliau, akhirnya 2029 pun kalau ada usulan (bergabung) kita sebagai partai yang loyal dengan Pak Prabowo tidak akan mengherankan kalau PAN nanti akan tanpa persyaratan mendukung Pak Prabowo 2029,” jelas Eddy.
Tak jauh berbeda dengan PAN, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga mendukung usulan Prabowo itu bahkan menganggapnya penting untuk segera diwujudkan demi mempercepat kesejahteraan.
“Koalisi permanen dimaknai sebagai cara agar pemerintahan ini berjalan lebih efektif, tidak hiruk-pikuk, utamanya di partai-partai,” jelas Wakil Ketua Umum DPP PKB Jazilul Fawaid.
Bagi Gus Jazil, Prabowo menyampaikan itu di hadapan para Ketua Umum secara spontan, karena tanpa teks. Gagasannya masih sangat umum, namun ide yang bisa ditangkap adalah bahwa Prabowo menginginkan terjalin soliditas di antara partai-partai pendukung. Dengan demikian, agenda-agenda besar yang sudah dirancang, bisa berjalan mulus baik di parlemen maupun eksekutif.

Di kesempatan berbeda, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh masih mempertanyakan istilah permanen yang digunakan Prabowo. Berapa lama tenggat waktu yang dimaksud dari penggunaan kata permanen itu.
Mencermati pernyataan Surya Paloh, Pengamat Politik Yunarto Wijaya membacanya sebagai upaya Surya mengatakan bahwa tidak ada koalisi yang permanen. Terlebih Indonesia sebagai negara dengan sistem presidensial, tak ada satupun negara di dunia yang menganut sistem serupa memiliki koalisi politik yang permanen.
Secara Pribadi Yunarto justru melihat ada ketidakpercayaan diri pada Prabowo dengan usulan koalisi permanen itu.
“Kok seperti Pak Prabowo enggak PD dengan dirinya sendiri. Pertanyaan saya, apa sih yang membedakan ketika nanti sudah ditambahkan embel-embel permanen dengan tidak? Artinya Pak Prabowo seakan-akan dengan 80 persen lebih kekuatan koalisi yang sudah dibangun masih enggak PD,” kata Yunarto.
Kekuatan partai politik lebih dari 80 persen, perolehan suara saat Pilpres lebih dari 58 persen, mengalahkan jauh kedua pesaingnya, angka itu juga melampaui perolehan suara Jokowi saat bertarung di panggung Pilpres melawan Prabowo.
Yunarto tidak melihat adanya urgensi untuk mempermanenkan koalisi besar itu. Dari kacamata pandangnya, Prabowo cukup bekerja dan menunjukkan kesungguhannya mengabdi bagi bangsa dan negara.
“Pak Prabowo kerja saja, jadi partai yang mau mbalelo, partai yang mau main dua kaki, partai yang menusuk dari dalam, itu akan dilawan oleh rakyat dengan sendirinya,” sebut dia.
Jika bahasan seperti ini sudah dikemukakan di 100 hari pertama pemerintahannya, maka Yunarto melihat hanya ada dua kemungkinan, satu Prabowo sudah berbicara urusan 2029.
“Saya minta teman-teman pendukung koalisi Pak Prabowo fair, kalau tidak mau dikritik dalam kerja 100 hari, teman-teman juga tidak boleh berbicara mengenai 2029 ketika baru 100 hari,” tegas Toto.
Yang kedua, ia berusaha menghilangkan proses check and balances di DPRuntuk kebijakan-kebijakan yang akan diambilnya kelak.
“Makin sulit menurut saya teman-teman mahasiswa untuk bisa menyalurkan aspirasinya kepada anggota DPR berbasiskan dapil. Jangan salahkan kalau kemudian jalanan adalah satu-satunya cara menyalurkan aspirasi,” imbuhnya.
Analisis serupa juga disampaikan oleh tokoh Gerakan Nurani Bangsa Lukman Hakim Saifuddin. Ia menyebut ada sua kemungkinan Prabowo mengajak partai-partai politik untuk membentuk koalisi permanen. Pertama dia tidak PD, kedua tak paham dengan sistem pemerintahan yang dianut Indonesia.
“Istilah koalisi permanen itu tidak dikenal. Kita ini presidential system, artinya Presiden kuat sekali, Presiden tidak bisa dijatuhkan, tidak seperti parlementer yang memerlukan koalisi sampai permanen supaya kepala pemerintahannya kuat,” jelas Lukman.
Sikap membicarakan koalisi permanen untuk 2029 di masa awal pemerintahan juga dianggap Lukman sebagai sebuah krisis nilai. Bagaimana bisa baru bekerja 100 hari namun sudah membicarakan rencana untuk kembali mendapat kekuasaan 5 tahun setelahnya. Seharusnya pemerintah sedang dalam kekuatan penuh untuk membuktikan janji-janjinya kepada rakyat, berbuat terbaik untuk kemajuan dan kesejahteraan mereka.
“Rasa yang tidak digunakan, jadi kepekaan, sensitivitas (tidak digunakan), contoh tagar kabur aja dulu itu kan direspons oleh sebagian pejabat kita dengan sedemikian rupa yang sangat menyakitkan, jadi memang ada problem nilai, ada problem kepekaan penggunaan rasa,” sebut Lukman.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Sulistyowati Irawan menyorot masih begitu banyak permasalahan mendasar bangsa ini yang lebih pantas mendapat perhatian dan pemikiran mereka ketimbang strategi menyusun koalisi di 2029.
Ia mencontohkan bagaimana lebarnya kesenjangan ekonomi yang ada antara masyarakat kelas bawah, menengah, dan atas yang hingga hari ini belum berhasil terjembatani.
“Dalam hal ini harusnya kan (pemerintah mengerjakan) program-program pengentasan kemiskinan, pemerataan, dan lain-lain. (Indonesia) belum bisa bilang justice for all, tapi harus justice for the poor, justice for disadvantage group,” jelas Sulis.
Seperti program MBG, semestinya sasaran penerima dikerucutkan hanya khusus untuk kalangan yang benar-benar membutuhkan. Jika demikian, maka jumlah penerima akan menurun sehingga anggaran per porsi akan meningkat, diharapkan kualitas makanan juga akan turut membaik. Tidak seperti hari ini, penerima MBG dipukul rata, semua anak yang bersekolah, maka hasilnya ada anak yang tidak membutuhkannya turut menerima.
Jadi, wacana koalisi permanen yang disebut untuk menjaga stabilitas pemerintahan, mempercepat kesejahteraan rakyat, menurut Sulis hanyalah kesadaran palsu yang disebarkan kepada masyarakat. Kebohongan itu disebarkan sembari pemerintah merumuskan berbagai macam hukum dan kebijakan yang tidak melibatkan partisipasi publik.
“Soal permanen itu secara mudah kita melihat bahwa mereka mau mempertahankan power, kekuasaan-kekuasaan. Karena kekuasaan itu akan memberikan privileges, hak-hak istimewa. Dan semakin banyak hak-hak istimewa akan semakin mudah untuk mendapatkan akses kepada sumber-sumber kesejahteraan termasuk sumber-sumber daya alam,” demikian Sulis membaca niatan di balik koalisi permanen yang digagas Prabowo.
Koordinator Pusat BEM SI Heriyanto meyakini tak akan mungkin ada koalisi yang permanen dalam dunia politik, terlebih di sebuah negara dengan sistem presidensial.
“Kalau bahasanya anak-anak aktivis, spidol permanen aja bisa dihapus, apalagi koalisi permanen. Sehingga dengan konsep tadi, ketika ada koalisi permanen, saya khawatirnya nanti diimbangi dengan gerakan-gerakan yang permanen,” kata Heri.
Gerakan permanen yang ia maksud adalah gerakan mahasiswa seperti yang sedang terjadi saat ini, namun berlangsung permanen pula beriringan dengan koalisi yang dirancang akan menjadi permanen.
Namun gerakan yang panjang seperti itu tentu membutuhkan daya tahan yang panjang dan semangat perlawanan yang perlu terus dijaga. Dan teman-teman mahasiswa mengaku siap untuk terus mengupayakan hal itu.
“Saya rasa mahasiswa akan hadir di sana. Gerakan-gerakan akan terus ada,” ujar mahasiswa Universitas Mataram itu.
Pemerintah Mendengar?
4 bulan sudah pemerintahan baru Prabowo-Gibran bergulir, kritik demi kritik terus dilontarkan oleh masyarakat terhadap kebijakan juga sikap dan pernyataan para pejabat pemerintah yang dianggap mengganggu kehidupan mereka. Mulai dari wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, larangan pengecer menjual LPG 3KG, pagar laut yang mengganggu aktivitas melaut para nelayan, hingga kata-kata tak layak yang disampaikan orang-orang Prabowo untuk merespons kritik masyarakat, dan sebagainya.
Namun pemerintah disebut tak tutup telinga. Pemerintah mendengar dan mencoba hadir untuk rakyat dan memperbaiki kesalahan yang mungkin ada. Hal itu dikatakan oleh Eddy Soeparno.
“Sekarang ini (era) keterbukaan, ruang kritik dibuka selebar-lebarnya, diskursus itu diberikan kesempatan seluas-luasnya. Buktinya saja ketika ramai-ramai PPN 12 persen mau naik ternyata dibatalkan kok ketika begitu banyak respons negatif untuk pemerintah. Keika kita bicara mengenai LPG 3 kg yang sempat ricuh di lapangan, Pak Prabowo langsung mengatakan bahwa harus dijual kembali di pengecer. Itu respons yang betul-betul cepat oleh beliau,” jelas Eddy.
Jadi tidak benar jika ada yang menganggap pemerintah abai terhadap suara rakyat, asyik sendiri dengan permainan kekuasaan, dan lain-lain.

Namun, Yunarto menganggap respons positif itu diberikan lantaran isunya terus memanas di masyarakat dan menjadi viral di media sosial. Belum tentu respons serupa jika masyarakat tidak “berisik”.
“Kalau enggak viral, didengar enggak?,” tanyanya.
Gesekan kepentingan antara rakyat dan pemerintah pssti terjadi di tiap rezim pemerintahan. Tapi Toto menegaskan, yang membedakan adalah bagaimana cara mereka.
Di bawah pemerintahan Prabowo, respons yang diberikan terhadap kritik begitu tidak layak. Kritik masyarakat dibalas dengan ungkapan-ungkapan kasar atau bahkan bernada menantang.
MBG dikomplain tak enak, “pala lu pea”. Kabinet disebut Prabowo terlalu gemuk, “ndasmu”. Demo bertajuk Indonesia Gelap, “yang gelap kau, bukan Indonesia”. Tagar Kabur aja dulu di media sosial, “kabur sajalah, kalau perlu jangan balik lagi”. Dan sebagainya, dan sejenisnya.
“Jangan kemudian direspon dengan cara memberikan ungkapan-ungkapan yang seakan-akan yang mengritik adalah musuh, tidak ingin membangun bangsa bersama-sama,” ujar Toto.
Reformasi Berakhir
Toto mencoba membuat refleksi tentang apa-apa saja yang terjadi di negara ini beberapa waktu terakhir. Presiden mewacanakan koalisi permanen, Presiden pula pernah mengusulkan agar pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, tidak tumbuhnya kelompok oposan, tidak dibukanya saluran dialog. Semua itu menunjukkan negara demokrasi ini sedang menuju semi otoriter bahkan otoriter
Partai-partai yang dulu ikut memperjuangkan reformasi kini justru duduk di kekuasaan dan membunuh semangat reformasi itu dengan tangannya sendiri. Bisa dilihat dari bagaimana mereka menyetujui dan mendukung keputusan-keputusan pemerintah hari ini yang bertentangan dengan semangat reformasi.
“Menurut saya demokrasi dan reformasi kita selesai. Dan saya berharap PAN dan PKB yang hadir di sini, berani menjamin mengenai konsistensi terhadap pemilu langsung yang sudah kita sepakati,” kata Toto.
Prof Sulis menambahkan, bagaimana reformasi itu perlahan dibunuh. Yakni melalui “dimatikannya” Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman, dan lain-lain yang sesungguhnya merupakan produk atau hasil dari Reformasi.
“Distrust publik sudah begitu besar, karena melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana itu semua diruntuhkan. Bagaimana Mahkamah Konstitusi bisa direkayasa putusannya, bagaimana kemarin ada tatib DPR yang mengatakan bahwa fungsi pengawasan DPR itu boleh mencopot Hakim MK, Ketua KPK. Itu apakah tidak meruntuhkan apa yang sudah diperjuangkan 26 tahun yang lalu?,” tanya Sulis.
Begitu banyak sendi negara yang coba digoyang, relasi negara dan publik juga tak lepas dari goyangan itu dengan cara banyak kebijakan dan instrumen hukum yang dibuat tanpa mendengarkan suara dan mementingkan kebutuhan rakyat.
“Jadi sebetulnya kita harus pertanyakan apakah Reformasi 98 itu masih berjalan seperti yang dicita-citakan atau tidak,” sebutnya.
Melanjutkan arguman yang dibangun Prof Sulis, Lukman menekankan saat ini adalah eramya melaksanakan tuntutan reformasi, bukan mengingkarinya.
Omong-omong soal koalisi permanen juga mesti dihentikan, jangan lagi mengisi ruang publik kita.
“Ini Konsumsi elit, ruang publik itu mestinya diisi dengan bagaimana upaya kita bersama menyelesaikan persoalan real masyarakat,” kata Lukman.
Mendengar kritik dari Toto, Prof Sulis, dan Lukman Hakim Saifuddin, Gus Yazil menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar. Lumrah jika pemerintah dikritik, tidak ada yang menjadi masalah.
Hanya saja, ia meminta agar wacana soal koalisi permanen tidak terlalu direspons berlebihan.
“Tidak usahlah dengan nada yang berlebihan, kecurigaan yang berlebihan, toh ini cuma wacana belum tentu juga dikerjakan,” ujar Jazil.
Leave a Reply