Budiman Tanuredjo
Pekan lalu, saya diundang podcast oleh Sudirman Said. Saya ditanya apakah pers masih bisa menjadi pilar keempat demokrasi di tengah anarki informasi sekarang ini. Untuk menjawab itu saya teringat disertasi Daniel Dhakidae di Cornel University. Daniel meraih gelar MA (1987) dan PhD (1991). Disertasi doktoralnya yang bertajuk “The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry”. Intinya, Daniel memperkirakan pada satu akan terjadi “the end of political journalism.”
Kapan? Tidak ada yang tahu. Semoga masih lama.
Situasi pers sedang tidak baik-baik saja. Tekanan industri membuat pers harus berpegang pada survival mode. Posisinya tersaingi pendengung yang lebih digemari pejabat negeri ini. Kue iklan mengecil berpindah ke perusahaan teknologi. PHK terjadi di sejumlah lembaga. Hari Pers Nasional 9 Februari 2025 digelar di dua tempat terpisah: Riau dan Kalimantan Selatan karena keterbelahan organisasi. Memprihatinkan. Itu situasi internal yang melingkupi pers.
Situasi eksternal sosial kemasyarakatan yang seharusnya jadi pusat perhatian pers juga sedang tidak baik-baik saja. Kabinet Merah Putih baru saja melampaui 100 hari pemerintahannya dengan ekspektasi publik begitu tinggi. Namun karut marut atau suasana “tintrim” dirasakan kelas menengah tercerahkan. “Kenyamanan” rakyat dalam kemiskinan masih juga tega-teganya “diganggu” kebijakan dadakan gas melon yang membuat rakyat harus antre berjam-jam. Ada juga isu efisiensi, alokasi dan pemfokusan ulang anggaran. Namun corak komunikasinya, dalam bahasa pasaran, pating clebung.
Pada sisi lain, ada tontonan bagaimana bekas Pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricar bisa mengumpulkan dana suap hampir Rp1 triliun di Jakarta. Namun, tak jelas, itu dana dari siapa. Dalam kasus berbeda, Kejaksaan Agung menetapkan Dirjen Anggaran sebagai tersangka. Kemudian, ada penggeledahan di sejumlah tempat. Ada juga KPK yang seakan gagah berani menggeledah dan menyita sebelas mobil di rumah ketua ormas. Namun kemudian, KPK meminjamkan kembali mobil-mobil itu ke sang ketua ormas karena kendala teknis. Apa yang terjadi? Tak ada yang tahu.
Indeks harga saham anjlok dalam berada di angka 6.500 pada Selasa, 11 Februari 2025. Saham-saham blue chip berguguran. Omset penjualan warteg juga turun begitu jauh.
“Sebagian sudah pulang kampung karena gak bisa bertahan,” ujar seorang pengelola warteg. Situasi negeri ini memang tidak baik-baik saja. Begitu juga dengan pers.

Ketua Dewan Pers (2011-2016) Prof Dr Bagir Manan SH sudah berusia lanjut, delapan puluh empat tahun usianya. Mantan Ketua Mahkamah Agung ini berbicara di forum GagasRI di Menara Kompas, Senin 10 Februari 2025 bersama Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, Juru Bicara Presiden Adita Irawati dan ahli komunikasi pokitik Gun Gun Heryanto. Ia memahami situasi kegetiran yang dihadapi masyarakat dan juga pers. Namun, Bagir tetap meneguhkan hukum besi: tiada demokrasi tanpa kebebasan pers.
Dalam situasi “tintrim” seperti sekarang Bagir berbicara lugas, tegas, dan penuh dengan pengertian. Meski berlatar belakang aktivis, Bagir tidak menjadi demagog yang membius audiens yang hadir. Ia tidak mengeluarkan diksi mencemooh dengan kata-kata kasar apalagi merendahkan. Ia justru tenang dan membawa kalangan pers untuk kembali ke khittahnya: perjuangan dan menawarkan komunikasi harapan.

Bagir mengajak kalangan pers melanglang buana saat Franklin Delano Rosevelt pada 1 Januari 1944 berbicara soal kemerdekaan, berbicara soal kemiskinan, dan kebebasan. Latar belakang 1944, paska Perang Dunia II adalah kemiskinan. Dan masih banyak negara yang belum benar-benar bebas dari kolonialisme. Rossevelet juga berbicara soal kemerdekaan dan kebebasan, termasuk kebebasan berbicara dan kebebasan pers.
Tantangan itu masih abadi. Dan itulah tantangan pers. Pers dan tentunya bersama pemerintah harus bersama-sama mengatasi kemiskinan, mengatasi ketertinggalan, dan tetap menjaga ruang demokrasi dan kebebasan berpendapat, Bagir pun mengutip Abraham Lincoln tentang pemerintahan demokrasi, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. “Tapi apakah berbagai kebijakan selama ini semua masih untuk rakyat,” Bagir beretorika.
Bagir pun menyoroti hukum besi kekuasaan: serakah! Korupsi! Korupsi terjadi karena perilaku memberhalakan uang. Pers sebagai pilar keempat harus tetap bisa mengontrol kekuasaan dan menjadi pasar gagasan. Gagasan untuk memperbaiki negeri ini. Jangan sampai pers berselingkuh dengan kekuasaan dan kemudian terjebak dalam pusaran korupsi bekepanjangan.
Pesan-pesan moral Bagir, meskipun tak banyak menyentuh soal disrupsi digital, sedikit memperkuat jalan pedang pers yang menurut PK Ojong adalah bukan untuk menghamba pada kekuasaan. Bahkan Mochtar Lubis menegaskan posisi sebagai “crusading journalist”. Pers yang galau, masyarakat yang “tintrim”, butuh kepemimpinan yang meneduhkan. Bukan pemimpin yang pilihan katanya hanya menarik untuk dijadikan lead-berita.

Media harus menjadi the conscience of nation (penyuara keprihatinan bangsanya) meminjam pidato Jakob Oetama pada pengukuhan gelar doktor honoris causa di Universitas Gadjah Mada, 17 April 2003. Pers tak harus menggebrak-gebrak meja. Namun tetap meyakinkan dengan data dan menawarkan jalan perbaikan. Pers harus tetap teguh dalam prinsip namun lentur dalam cara. Gun Gun menambahkan, “Jurnalis bukan propagandis.”
Pers juga tidak harus mengutip mentah-mentah bahasa politik pejabat yang kadang merusak kewarasan hanya demi memenuhi asas keseimbangan. Sejarah panjang pers Indonesia adalah perjuangan. Kini, perjuangan itu harus dilandaskan pada tegaknya negara hukum dan konstitusi. Pers harus menjaga dan mengarahkan agar bangsa ini tetap komit pada teks konstitusi: Indonesia adalah negara hukum. Filsuf Aristoteles (384-322 SM) menulis, “hukum untuk memerintah”.
“Punggawa hukum pun harus tunduk pada hukum”. John Locke memperingatkan “dimana hukum berakhir di situ tirani bermula.” Hukumlah yang memerintah, bukan manusia.

Itu jalan pers saat ini. Menjadi kawan dalam perubahan, termasuk perubahan dalam pers sendiri. Dan untuk itu, tetap membutuhkan peranan dari pemerintah agar pers tetap bisa dikontruksikan sebagai pengontrol kekuasaan yang hukum besinya adalah korup.
Leave a Reply