Keberadaan Pagar Laut Bukti Negara Sudah Dikuasai Pengusaha?

“Pasca Reformasi justru saya melihat situasinya sudah berbalik, siapa mau berkuasa merapat dengan kekayaan sekarang. Jadi artinya orang-orang yang di masa sebelum Reformasi membangun gurita kekayaan sekarang mereka yang menentukan kekuasaan,”

– Direktur Eksekutif Walhi 2021-2025, Zenzi Suhadi

Terkuaknya keberadaan pagar laut misterius di Tangerang, Banten menjadi pintu masuk yang membuka mata publik melihat fakta bagaimana peliknya permasalahan yang membelenggu negeri ini. Pagar laut bukan sekadar deretan bilah bambu yang ditancapkan ke dasar perairan. Di balik itu, ada kamar gelap yang di dalamnya elite politik dan pengusaha bermain, bertukar kepentingan, berburu keuntungan, hingga hajat hidup rakyat terkesampingkan.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) 2021-2025 Zenzi Suhadi bahkan mengatakan, pagar laut itu menjadi tanda bahwa negara sudah dikuasai oleh pengusaha.

Sebulan sudah isu ini merebak, Pemerintah gagap menanggapinya, berbagai pihak terkait justru mengaku tidak tahu-menahu, dan saling lempar tanggung jawab.

“Kalau saya lihat, negara itu sudah tidak ditakuti oleh pengusaha. Ada perubahan mendasar relasi kekuasaan dengan dunia usaha,” kata Zenzi dalam obrolannya bersama Budiman Tanuredjo di siniar Back to BDM.

Sebelum Reformasi, pengusaha harus merapat ke kekuasaan agar mendapat “lahan” untuk berusaha. Saat itu, kontrol penuh akan dunia usaha masih dipegang negara demi tercapainya pembangunan nasional dan kemakmuran rakyat.

Berbeda 180 derajat di era pasca reformasi. Kini, justru politisi atau elite-elite politik yang mendekat kepada kelompok pengusaha. Semua paham, biaya politik di negeri ini mahal. Butuh modal besar dari para pemilik kapital untuk politisi memenangkan kompetisi dan mencapai tujuan politisnya. Sederhananya, politisi bergantung pada pengusaha.

“Pasca reformasi justru saya melihat situasinya sudah berbalik, siapa mau berkuasa, merapat dengan kekayaan sekarang. Jadi artinya, orang-orang yang di masa sebelum Reformasi membangun gurita kekayaan, sekarang mereka yang menentukan kekuasaan. Inilah yang mengakibatkan negara enggak ditakuti oleh mereka,” ujar Zenzi.

Aktivis lingkungan hidup ini membagi relasi negara dengan kelompok pengusaha menjadi 3 bagian. Pertama, di era pemerintahan Presiden Soekarno pengusaha perlu merapat dengan kekuasaan jika mau berjaya. Kedua, pasca reformasi pemerintah diposisi sebagai pihak yang melegitimasi kejahatan-kejahatan usaha. Ketiga, saat ini, di mana negara sudah menjadi bagian dari instrumen bisnis itu sendiri.

Zenzi bahkan berani mengatakan, sekarang yang memiliki perencanaan atau cita-cita tentang bagaimana negara ini akan dibentuk justru mereka kelompok korporasi, bukan negara. Negara tak lagi punya cita-cita ke depan untuk dirinya. Hal itu menyebabkan pemimpin negara tak lagi tahu apa yang harus diperbuat. Presiden silih berganti, tapi semua gagap menanggapi isu-isu yang muncul khususnya jika beririsan dengan relasi negara dan korporasi.

“Terhadap kasus pagar laut ini, ini kenapa dia (pemerintah/negara) susah sekali, semuanya bilang saya tidak tahu, kami tidak tahu. Semua yang bilang tidak tahu itu mereka bersembunyi, karena mereka menjadi bagian dari proyek Reklamasi itu,” ujar Zenzi.

Misalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang mengatakan tidak tahu soalan pagar laut ini. Bagi Zenzi, itu mustahil. Pasalnya, pengusaha yang akan berinvestasi dan melakukan reklamasi harus mendapat izin lokasi dari KKP. Dan KKP saat menerbitkan izin harus sudah menentukan 2 lokasi, satu yang akan dijadikan daratan baru, satu lagi lokasi untuk ditambang pasirnya.

Zenzi Suhadi menjadi narasumber podcast Back to BDM.

Dipastikan ada kesepakatan antara pemerintah dengan pengusaha di balik pagar laut misterius itu. Jika tidak, maka semua ini tak akan terjadi, pengusaha tak mungkin berani mengeluarkan modal dan membuat pagar-pagar sepanjang 30 kilometer lebih di perairan laut, jika izin belum dikantongi.

Keluarnya izin dari pemerintah untuk kelompok pengusaha menguasai wilayah laut tentu menyalahi hukum. Zenzi menjelaskan, baik konstutusi maupun turunannya, sama sekali tidak mengatur soal reklamasi. Peraturan reklamasi hanya tertuang pada Peraturan Presiden Tahun 2012 yang dikeluarkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Di sini awalnya sebenarnya reklamasi ini mulai marak terjadi di seluruh Indonesia. Ini melawan hukum,” kata Zenzi.

Proyek-proyek reklamasi ini terus berlanjut hingga sekarang di Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 yang tengah menjadi sorotan. Untuk menghentikannya, Zenzi menyebut hukum positif tak akan cukup. Diperlukan moral yang lurus untuk bisa merampungkan proyek yang melawan hukum ini.

Meski jika ditilik secara legalitas, reklamasi adalah hal yang legal karena berizin. Namun, ini tidak bisa dibiarkan. Dalam 40 tahun terakhir eksploitasi alam Indonesia tidak bisa dihentikan. Bukan karena penegak hukum tidak bekerja, tapi karena hukum itu dibuat untuk melegalkan kejahatannya.

“PR memang besar di pemerintahan Prabowo ini, bagaimana memimpin negara ini secara moral dalam penegakan hukum,” ujar alumni Universitas Bengkulu itu.

Menanti Sikap Politik Presiden

Posisi pemerintah yang takluk terhadap pengusaha, seakan menggadai marwah negara ini kepada kelompok kapital tersebut. Pengusaha kini seolah menjadi pihak yang mempunyai kuasa untuk mendikte jalannya sebuah pemerintahan, bahkan sebuah negara. Meski perlakuan istimewa, dalam hal ini pemberian izin terkait pagar laut itu terjadi di masa pemerintahan sebelumnya, namun pemerintah saat ini, khususnya Presiden Prabowo, memiliki kewajiban untuk menunjukkan sikap politiknya. Marwah atau kehormatan negara harus segera dipulihkan.

Zenzi mengungkapkan, sepanjang pengalamannya mendalami keterlibatan pejabat dalam korupsi sumber daya alam di Indonesia, untuk mengurus lahan darat, pengusaha perlu melewati 12 meja perizinan untuk bisa mendapatkan wilayah yang diinginkan. Sementara jika lahan yang diincar masih berupa lautan, maka meja birokrasi yang harus dilewati menjadi 13.

Jika pemerintah serius ingin menuntaskan kasus ini, maka bisa masuk melalui pintu hukum lingkungan. Jadi, objek yang diperiksa tidak berhenti pada wilayah lautnya, melainkan juga yang ada di daratan.

“Jadi korporasi yang mendapatkan izin terhadap wilayah ini, itu diperiksa apa perencanaannya. Dari perencanaan ini baru diketahui nanti dari 13 tahap perizinan dia berelasi kepada kewenangan mana saja, kementerian mana saja, pemerintah daerah mana saja, partai mana saja. Keuntungan atau atas dasar kepentingan apa masing-masing pejabat ini menerbitkan izin di setiap tahapan, ini kan dari pemerintah daerah, DPRD, di Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian KKP, Kementerian ATR/BPN, ini semua menjadi bagian sampai dia berani memagar laut,” papar Zenzi.

Jika pemerintah atau Presiden berhasil mengembalikan marwah negara dengan menegakkan hukum, bukan tidak mungkin relasi negatif antara penguasa dan pengusaha yang terjadi hari ini bisa terputus. Di masa depan, politik tak lagi tergantung pada modal pengusaha. Biaya politik bisa ditekan jauh karena kedewasaan politik masyarakat semakin matang dan mereka bisa menaruh percaya pada pemerintah beserta produk-produk politik yang dihasilkannya.

“Ini momentum yang besar sekali, karena harapan rakyat sekarang mulai muncul, itu satu. Yang kedua, belum semua sumber daya alam kita itu dikuasai oleh korporasi. Artinya masih ada kesempatan negara untuk memformat dirinya kembali kepada cita-cita proklamasinya,” sebut Zenzi.

Saat ini, format negara bisa didikte oleh pengusaha. Pemerintah hari ini bekerja dengan akal, tapi lupa untuk juga melibatkan hati. Regulasi yang ada diakal-akali, yang penting keperluan penguasa dan korporasi tervalidasi, meski ujungnya kemaslahatan dan keadilan bagi masyarakat harus terabaikan.

Zenzi menyebut, kini negara bahkan sudah mendelegasikan kewajibannya untuk mengurus rakyat kepada dunia usaha, mulai dari bidang energi, pangan, dan sebagainya.

“Peran yang diambil negara itu memaksa rakyat untuk menjadi pembeli dari apa yang diproduksi oleh dunia usaha ini tadi, walaupun itu berasal dari kekayaan negara yang sebesar-besarnya untuk kemakuran rakyat,” jelas dia.

Negara harus segera kembali pada format awal tujuan negara ini dibentuk, khususnya dalam hal ini pada aspek ekonomi. Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, yakni Negara menggunakan sumber daya alam dan perekonomian untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Dia (Negara) harus di tengah. Satu kepentingannya menjaga dan mewujudkan kesejahteraan sosial bagi rakyatnya, duanya menjaga dan mengontrol dunia usaha agar tidak merampas hak dan kesejahteraan sosial rakyat,” ujar Zenzi.

Jika Negara gagal melaksanakan tugas ini atau Negara berada dalam posisi yang tidak netral, maka rakyat dan pengusaha akan berperang memperebutkan kewenangan Negara. Saat ini, Zenzi menyebut kewenangan Negara tengah dimenangkan oleh kelompok korporasi.

“Lambat atau atau cepat negara ini akan chaos di masa depan, karena konflik itu terus menjamur dan bertambah. Jadi sangat disayangkan, di masa depan kita ini akan memanen konflik dan bencana,” pungkasnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *