Duo Sukidi-Yudi Latif, Suara Kritis yang Kian Santer

Budiman Tanuredjo

Dua intelektual ini menjadi kompas moral bagi republik ini. Yang pertama adalah Sukidi Mulyadi, PhD, lulusan unversitas bergengsi Harvard University di Amerika Serikat. Putra kelahiran desa Tanon, Sragen tahun 1975 ini bisa ditempatkan sebagai kelompok moralis yang selalu menjaga nurani bangsanya. Ia menulis disertasi berjudul The Gradual Qur’an: Views of Early Muslim Commentators.

D tengah gemerlap dunia media sosial, Sukidi barangkali satu-satunya intelektual terpandang yang tidak punya satupun akun media sosial. Alkibatnya, ia kerap ketinggalan isu yang sedang viral. Ketika saya memberi tahu isu yang tengah diperbincangkan, Sukidi kerap merespon, “Baru tahu saya.” Ia pun belum mau bergabung dalam organisasi apapun. Ia lebih memilih menjadi intelektelual publik dengan kemampuan akademis yang tak perlu diragukan lagi. Menjadi orang bebas dan berintegritas dan terus menyuarakan suara nurani bangsanya.

Referensi akademisnya begitu luas sehingga beberapa kali esainya viral dan dialihwujudkan dan disebarluaskan. Pilihan judulnya seperti Machiavelli Jawa, Pinokio Jawa, Hitler Jawa, berulangkali viral dan menjadi percakapan publik. Namun, pengritiknya kerap mengatakan, pandangan Sukidi terlalu hiperbola dan terlalu terpusat pada Amerika.

Sukidi kerap menjadikan Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky, cendekiawan dari Harvard University, sebagai rujukan. Keduanya adalah penulis buku How Democracy Die dan The Tirany of Minority. Salah satu tesis dari dua ahli itu adalah menjadikan hukum sebagai “senjata politik” (political weapon) untuk bagaimana memerlakukan tokoh berkasus sebagai “sandera politik”. Ketika tokoh terkena kasus, dibiarkan. Dan ketika tiba momentumnya, kasus itu diancam dibuka sebagai sandera politik. Situasi inilah yang disebutkan Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo sebagai politik busuk.

Buku karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt berjudul Tirany of The Minority.

Dalam beberapa artikelnya di Kompas, Sukidi kerap menyebut bangsa tak punya jiwa (nation without soul), pemerintahan tak punya standar profesional untuk merekrut pejabat publik berdasarkan meritokrasi tapi kakistokrasi, dan elite yang selalu memberhalakan uang. Kebohongan dalam politik dinormalisasikan sebagai strategi permainan jahat untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan. Tragisnya, banyak di antara kita terbuai dengan godaan kekuasaan yang memabukkan dan bahkan dengan ”berhala uang”—the idolatry of money, kata Paus Fransiskus dalam seruan apostolik Evangelii Gaudium (2013). (Kompas, 19 Desember 2024).

Dalam beberapa kali perjumpaan saya dengan Sukidi, ia adalah pribadi yang gelisah dengan kondisi negeri ini, dengan kemiskinan yang menangis (crying poverty) di depan mata. Dalam batas kemampuan yang ada, dia pun kerap berbagi terhadap orang-orang yang kurang beruntung karena kondisi struktural. Ia kerap kali mengutip janji Sukarno setelah kemerdekaan tak ada lagi kemiskinan. Namun, janji itu belum dilunasi.

Intelelektual lain adalah Yudi Latif. Kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 1964 adalah lulusan Australian National University untuk bidang sosiologi. Pernah menjadi Rektor Universitas Paramadina dan menjadi Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), esai-esai Yudi dengan gaya berbeda dengan Sukidi selalu menjadi refleksi bagi bangsa ini. Yudi menulis buku Negara Paripurna yang mengupas soal idelogi Pancasila. Berbeda dengan Sukidi, Yudi aktif bermedsos dan menyebarkan pandangannya lewat media sosial.

Seperti esainya di Kompas, 15 Januari 2025, berjudul Menavigasi Visi Prabowo. Yudi menulis demikian, “Seratus hari pemerintahan Prabowo adalah tenggat yang dinaungi ”Dewi Fortuna”.
Badai kritik yang sedianya tertuju pada pemerintahan baru terbelokkan ke arah mantan Presiden Joko Widodo. Ekspektasi publik terhadap kabinet ini juga tak terlalu tinggi.”

Esai Yudi Latif di Harian Kompas, 15 Januari 2025.

Dalam Alinea lain, Yudi menyentil, “…Untuk memenangi hati rakyat, sepatutnya pemimpin bicara dengan bahasa hati, bukan sekadar gelegar suara. Karena rakyat bukan angka, mereka adalah jiwa-jiwa hidup, yang bisa merasakan ketulusan dan kehadiran pemimpin di jantung kehidupan. Bukalah pintu Istana lebar-lebar, biarkan suara kejujuran masuk. Dengarkan bisik mereka yang polos karena di sanalah suara kebenaran bersemayam. Bukan sebatas suara para pembisik di lingkaran dalam atau laporan pejabat ”asal bapak senang”. Jangan bangun tembok yang tinggi, bangunlah jembatan yang menghubungkan, antara kekuasaan dan mereka yang terlupakan, karena rakyat akar penopang pohon kekuasaan. Di bumi yang retak, usaha memulihkan kepercayaan memang bisa ditempuh dengan cara merangkul, bukan memukul. Seperti petuah Nelson Mandela saat membujuk Miriam Makeba. Pedomannya diingatkan pendiri bangsa Mohammad Hatta. Jangan sampai kehendak merangkul itu menjadi pintu masuk bagi pendistorsian negara kekeluargaan menjadi negara kekuasaan.

Untuk itu, semangat akomodasi harus dijaga dalam kerangka kerja sama dalam kebaikan, bukan dalam kesesatan. Gotong royong yang digalakkan harus mengarah pada toleransi positif, bukan toleransi negatif.

Perlu disimak pandangan Mohammad Natsir dalam persidangan Konstituante. Menurut Natsir, tanpa bersedia mengambil suatu pilihan positif, toleransi yang dikembangkan hanyalah suatu toleransi negatif, yang berpretensi untuk sekadar berkompromi demi mengakomodasi segala kepentingan, tak berusaha untuk mencapai yang terbaik.

Ditambahkan oleh Roeslan Abdoelgani, toleransi yang dikehendaki Pancasila adalah suatu kompromi dalam konteks toleransi yang positif karena senantiasa dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Jangan pula merangkul figur sembarangan yang justru bisa meredupkan kepercayaan.

Montesquieu, dalam The Spirit of Laws, menggambarkan bahwa dalam pemerintahan yang baik, jabatan diberikan berdasarkan kebajikan dan kompetensi, sedangkan dalam pemerintahan yang buruk, jabatan digunakan untuk memperkuat kekuasaan dengan melayani ambisi seseorang (kelompok).

Sejalan dengan itu, Max Weber dalam uraiannya tentang birokrasi menekankan pentingnya meritokrasi (jabatan diisi oleh orang yang memenuhi syarat) dibandingkan dengan patronase (jabatan diberikan untuk membalas jasa atau koneksi pribadi).

Merangkul figur kompeten dan tepercaya sangat membantu memulihkan kepercayaan. Kepercayaan adalah tenunan dan setiap robekannya adalah luka yang harus dijahit dengan benang integritas. Hanya mereka yang jujur dan menjadikan prinsip sebagai kompas yang mampu menyulamnya kembali. Namun, sering kali mereka terpinggirkan, suaranya tenggelam di tengah hiruk pikuk para pemburu kekuasaan.

Figur-figur kompeten berintegritas itu biasanya enggan meminta dan menawarkan diri. Namun, merangkul figur yang tak haus kekuasaan justru pilihan yang mendekati kebajikan.
Seperti disimpulkan Plato dalam The Republic, ”Negara di mana para penguasanya paling enggan memerintah selalu menjadi yang terbaik dan paling damai; sementara negara di mana mereka paling berambisi adalah yang terburuk.”

Kehadiran Sukidi dan Yudi memberikan asa kemunculan intelegensia (tak berkampus) untuk terus menjadi intelektual publik. Mereka adalah cikal-bakal intelektual tercerahkan yang terpanggil mengawal negeri. Situasi itu amat dibutuhkan di tengah disfungsi partai politik, kelumpuhan “senator” negeri yang membisu seribu bahasa, serta kemandulan komisi-komisi negara yang telah menjadi proksi-proksi kekuatan politik. Kehadiran intelektual publik mengisi ruang kosong gagasan pemimpin partai politik yang sudah sibuk bersolek diri melalui media sosial, ruang kosong yang tak diisi pemimpon ormas, dan ruang kosong yang dibiarkan saja oleh senator daerah atau Dewan Perwakilan Daerah yang seakan menikmati posisinya sebagai “senator daerah”.

Kembali Yudi menulis, “Dalam 100 hari pemerintahan Prabowo, warga masih menunggu dalam kesenyapan kebimbangan. Bukan karena tak ada kerumunan dan keriuhan suara, melainkan mereka masih meraba dalam gelap untuk mengenali suara manakah yang patut didengar dan tepercaya. Krisis kepercayaan adalah senyap yang memekakkan, sebuah retakan halus yang perlahan menjalar, meruntuhkan fondasi yang pernah kokoh. Untuk memulihkan, perlu ketabahan merawat proses bertumbuh secara perlahan dari ketelatenan pamong tepercaya.”

Inilah momentum kebangkitan intelektual tercerahkan untuk ikut menjaga negeri ini…semoga setelah Sukidi dan Yudi akan muncul intelektual publik lain….dan bisa bertemu dalam titik kumpul untuk mendiskusikan situasi negeri…


Comments

2 responses to “Duo Sukidi-Yudi Latif, Suara Kritis yang Kian Santer”

  1. Tisnawati Simowibowo Avatar
    Tisnawati Simowibowo

    Bersatulah para cerdik cendekia dan orang-orang baik hati lainnya di titik kumpul. Satukan doa, harapan dan semangat. Galang persatuan, semua saling mendukung sambil membantu kaum yang tersisihkan. Semoga Tuhan mendengarkan. Kelak ratu adil akan datang.

    1. Optimis, masa itu pasti akan datang. *Adm

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *