“…undang-undang lembaga kepresidenan menurut saya dalam fase yang sangat mendesak untuk direalisasikan dan mestinya itu direalisasikan sebelum 2029,”
-Dosen Hukum Tata Negara UI Titi Anggraini
Sebagai negara demokrasi yang menganut sistem pemerintahan presidensil, Indonesia dipimpin oleh seorang Presiden yang berperan sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh seorang presiden begitu besar. Power yang dimiliki seorang presiden tetap lah besar, sekalipun dalam konsep trias politika, kekuasaan dibagi dalam tiga cabang: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Lebih jauh, sebagai pribadi, seorang presiden juga memiliki peran-peran yang lain. Misalnya ia menjadi kepala keluarga, pimpinan perusahaan, dan sebagainya. Peran-peran pribadi ini bisa saja menjadi bias ketika pribadi yang sama juga menjalani peran kenegaraan sebagai seorang Presiden.
Kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur dan menjalankan negara bukan tidak mungkin disalahgunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadinya. Terlebih, di Indonesia tidak ada Undang-Undang Lembaga Kepresidenan yang mampu menjadi pagar pembatas, menjadi garis tegas yang menjaga agar kekuasaan eksekutif pemerintahan tidak digunakan seorang presiden untuk urusan-urusan yang sifatnya pribadi.
RUU Lembaga Kepresidenan sesungguhnya bukan usulan baru di Indonesia, draf dari RUU ini telah masuk ke Badan Legislasi DPR sejak awal tahun 2000-an. Sayangnya, 25 tahun berlalu RUU Lembaga Kepresidenan tak kunjung dilirik untuk dibahas, apalagi disahkan.
Perlu diketahui, dari seluruh lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945, hanya Lembaga Kepresidenan yang belum memiliki undang-undang khusus untuk mengatur pelaksanaannya.
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini menyebut UU Lembaga Kepresidenan saat ini sangat dibutuhkan, terutama untuk mengatur presiden aktif yang kembali maju di pemilihan presiden sebagai petahana atau terlibat dalam pemilihan umum sebagai pihak penyedia endorsement.
“Sangat dibutuhkan terutama saya kira judicial order MK di putusan perselisihan hasil Pemilu itu kan menegaskan banyak ruang kosong yang tidak cukup hanya diatur di Undang-Undang Pemilu. Soal keterlibatan petahana di dalam aktivitas atau kontestasi politik, lalu pembatasan penggunaan fasilitas jabatan kewenangan anggaran untuk kepentingan-kepentingan politik,” kata Titi.
Kondisi lain yang menunjukkan betapa UU Lembaga Kepresidenan adalah tiadanya aturan yang mengatur bagaimana seorang presiden boleh berbuat di masa-masa akhir jabatannya atau lameduck period. Pengalaman pada masa akhir jabatan Presiden Joko Widodo, publik menyaksikan betapa ugal-ugalannya akrobat politik Jokowi ketika itu dalam mengambil keputusan-keputusan srtrategis. Seolah memanfaatkan sisa-sisa waktu kekuasaan.
Misalnya melakukan perombakan atau reshuffle kabinet 2 bulan jelang lengser, tanpa ada kondisi darurat yang melatarbelakanginya. Kemudian mencopot Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan menggantinya dengan sosok baru di 5 hari sebelum ia purna tugas. Hal lain, di pekan terakhir menjabat RI-1, Jokowi juga meneken Undang-Undang Kementerian Negara yang memungkinkan adanya pos-pos kementerian baru.
“Itu kan bagi saya sudah mengarah kepada perilaku yang sangat tidak demokratis. Itu harus diatur di dalam Undang-Undang Lembaga Kepresidenan. Jadi sudah sangat mendesak. Sayangnya kenapa itu tidak disahkan, padahal kebutuhan kita sebagai sebuah negara presidensil betul-betul harus memastikan abuse of power, kesewenang-wenangan itu tidak terjadi, tapi justru kita tidak punya Undang-Undang Lembaga Kepresidenan,” ungkap Titi.
Meski RUU Lembaga Kepresidenan sudah lama mengendap di Baleg DPR, ada yang mengatakan RUU tersebut tidak urgen untuk diundangkan, karena cukup merujuk aturan yang ada di konstitusi. Masalahnya, Titi menganggap aturan yang ada di dalam konstitusi kita limitatif.
Melihat begitu sulit DPR merealisasikan RUU Lembaga Kepresidenan, nampaknya harus ada pihak yang mulai untuk menginisiasinya. Yang menjadi pertanyaan, pihak inisiator adalah antara DPR atau Pemerintah. Keduanya memegang kekuasaan, eksekutif dan legislatif. Siapa orang yang mau kekuasaan yang tengah ia genggam dibatasi?
“Menurut saya justru presiden itu sendiri (yang harus menginisiasi), karena kan kewenangan legislasi Presiden itu lebih dominan kalau kita harus akui. Setengah dari kewenangan legislasi itu ada di presiden. Masalahnya, kalau presiden tidak mau (tapi) legislatif mau itu kan bisa diveto. Jadi menurut saya harusnya itu (pengajuan UU Lembaga Kepresidenan) juga menjadi legacy dari Prabowo,” sebut dia.
Apalagi jika mencermati Astacita dari Presiden, di sana terdapat penegasan komitmen untuk demokrasi. Semestinya Prabowo bisa dan berani untuk menghidupkan kembali pembahasan RUU Lembaga Kepresidenan.
“Persoalan riil di depan bagaimana menjaga presidensialisme itu bukan sesuatu yang bisa rentan di politisasi dan menjadi alat kepentingan politik. Undang-Undang Lemmbaga Kepresidenan menurut saya dalam fase yang sangat mendesak untuk direalisasikan. Dan mestinya itu direalisasikan sebelum 2029,” kata Titi.
Mungkin terdengar mustahil pendapat dari Titi Anggraini yang mengharapkan Prabowo mengusulkan undang-undang yang justru sifatnya akan membatasi kekuasaannya. Hakikat kekuasaan adalah tidak ingin dibatasi, karena kekuasaan begitu nikmat dan memabukkan. Namun, jika Prabowo benar-benar bisa melakukan hal berat itu, maka UU Lembaga Kepresidenan bisa menjadi legasinya bagi bangsa Indonesia.
Membatasi kekuasaan presiden merupakan salah satu mandat reformasi 1998. Latar belakangnya jelas, rakyat marah dengan pemimpin Orde Baru ketika itu, Presiden Suharto, yang kekuasaannya seolah tak terbatas. Gerakan reformasi mampu menggulingkan rezim pemerintahan yang sudah 32 tahun berkuasa. Kini, 27 tahun pasca reformasi, bisakah cita-cita membatasi kekuasaan presiden benar-benar terpenuhi?
Sementara ini, jawabannya adalah belum.
Leave a Reply