MK Hapus Presidential Threshold, DPR Bisa Saja “Balas Dendam”…

“…kalau ini bergulir sampai ada upaya (pihak-pihak di bawah Pemerintahan Prabowo) untuk melemahkan atau membonsai Mahkamah Konstitusi, saya kira eskalasi ketidakpuasan yang sudah ada bibitnya sebagai ekses Pilpres 2024- mungkin akan lebih menguat lagi. Dan itu terlalu berisiko bagi kepemimpinan Presiden Prabowo,”

-Pakar Pemilu Titi Anggraini

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghilangkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen disambut gembira oleh berbagai kalangan, terutama aktivis demokrasi dan masyarakat umum yang mendambakan hadirnya banyak alternatif kandidat dalam pemilihan presiden (pilpres). Tidak adanya syarat threshold adalah impian banyak orang sejak lama, dan mimpi itu kini mulai menemukan jalannya.

Tanpa threshold, semua partai politik peserta pemilu memiliki hak yang sama untuk bisa mengajukan calon presidennya masing-masing. Tak ada lagi istilah partai besar-partai kecil, partai parlemen-partai nonparlemen, partai pemenang-partai nonpemenang. Semua memiliki hak yang setara untuk mengajukan satu nama. Jadi, peluang begitu terbuka untuk menghadirkan banyak alternatif calon presiden di masa mendatang.

Namun, bisa dipastikan tidak semua pihak bahagia menerima keputusan MK ini. Terutama mereka partai-partai besar, atau pihak tertentu yang selama ini memperoleh beragam benefit politik saat ambang batas 20 persen diterapkan.

Harus disadari, keputusan MK merupakan sesuatu yang tidak bisa sekonyong-konyong berlaku, sekalipun apa yang diputuskan MK bersifat final dan mengikat. Keputusan itu tidak bisa berdiri sendiri dan harus ditunjang dengan keberadaan undang-undang untuk bisa diimplementasikan dalam proses pemilu.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga yang memegang fungsi legislatif. Mereka lah yang akan mengongkritkan putusan MK ke dalam bentuk undang-undang. Tugas itu akan dikerjakan bersama dengan pemerintah.

Permasalahannya, DPR diisi oleh politisi-politisi yang semuanya berasal dari partai-partai besar. Partai yang ada di jajaran teratas perolehan suara saat pemilu. Akankah mereka ‘manut‘ dan langsung mengiyakan keputusan MK? Atau justru akan mencari jalan dan bermain siasat demi menyelamatkan kepentingan partainya?

Pakar Pemilu Titi Anggraini tak bisa menutup kemungkinan bahwa DPR akan mengakali keputusan itu dan memainkan siasat. Salah satunya dengan cara menarik (recall) hakim-hakim yang mereka ajukan menjadi Hakim Konstitusi, namun tidak pro pada keberadaan threshold.

“Kemungkinan itu selalu ada apalagi melihat keberanian partai-partai parlemen pasca revisi Undang-Undang Pilkada,” kata Titi dalam siniar Back to BDM di kanal YouTube Budiman Tanuredjo.

Sebagai informasi, 9 Hakim Konstitusi merupakan hakim-hakim yang diusulkan oleh 3 lembaga berbeda: Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden. Masing-masing lembaga itu menempatkan 3 orang hakim pilihannya di MK. Dan dalam konfigurasi Hakim Konstitusi periode ini, 3 hakim yang diusulkan DPR adalah Arsul Sani, Guntur Hamzah, dan Arief Hidayat.

Dalam Putusan MK nomor 62/PUU-XXII/2024 soal penghapusan ambang batas pencalonan presiden, ketiga hakim yang diusulkan DPR itu setuju dengan penghapusan threshold dan tidak menyatakan dissenting opinion sebagai bentuk adanya pendapat berbeda.

Oleh karena itu, ada kemungkinan DPR akan melakukan balas dendam politik kepada MK dengan cara mengajukan revisi UU MK guna menarik hakim-hakim yang mengganggu kepentingan mereka (partai politik besar).

Pakar Pemilu Titi Anggraini dalam podcast Back to BDM.

Namun, balas dendam dengan revisi UU MK itu belum bisa dipastikan akan terjadi. Pasalnya saat putusan 62 dibacakan, politik Indonesia ada dalam keadaan tenang, netral, keadaan evaluasi pasca Pilpres 2024. Sementara jalan menuju Pilpres 2029 relatif masih panjang. Lagi pula, putusan 62 itu tidak sepenuhnya merugikan partai-partai besar, putusan itu hanya mengurangi kenyamanan mereka dalam bursa pencapresan yang biasanya minim pesaing, nanti dimungkinkan akan semakin banyak.

“Kalau saat ini memang masih mesra koalisinya, karena mereka (tokoh-tokoh politik) juga butuh eksistensi menunjukkan kapasitas kepemimpinan politik melalui posisi-posisi mereka di kementerian. Itu adalah simbolisasi kapasitas kepemimpinan mereka, dan juga meneguhkan citra mereka nanti untuk kepentingan politik jangka panjang. Jadi kalau bicara sekarang terlalu prematur,” ujar perempuan 45 tahun itu.

Hal lain, jika DPR dan Pemerintah tidak mendukung atau menentang keputusan MK, maka akan memicu gejolak penolakan dari masyarakat yang merasa hak politiknya dibela dengan penghapusan threshold. Jika itu terjadi, DPR dan Pemerintah akan berhadap-hadapan dengan rakyat, dan itu tentu tidak menguntungkan bagi kepentingan politik Prabowo yang mungkin saja berniat kembali maju di Pilpres 2029.

“Apalagi kalau kita lihat Prabowo itu kan cenderung menghindari kontroversi ya, kalau ini bergulir sampai ada upaya (pihak-pihak di bawah Pemerintahan Prabowo) untuk melemahkan atau membonsai Mahkamah Konstitusi, saya kira eskalasi ketidakpuasan yang sudah ada bibitnya sebagai ekses Pilpres 2024- mungkin akan lebih menguat lagi. Dan itu terlalu berisiko bagi kepemimpinan Presiden Prabowo,” jelas Titi.

Pakar Pemilu Titi Anggraini dalam podcast Back to BDM.

Lagi pula, partai-partai besar yang kini ada di parlemen sesungguhnya sudah mengantongi modal besar untuk kembali menjadi partai peserta pemilu. Dengan basis suara yang dimiliki, rasanya tidak sulit bagi partai-partai parlemen itu untuk memenuhi syarat menjadi peserta pemilu, daftar ulang dan lolos verifikasi administrasi.

Jika toh nanti pada Pilpres 2029 partai-partai itu akan mengajukan nama dari partainya sendiri, jalan tidak terlampau sulit. Berbeda dengan partai-partai kecil di luar 8 partai yang saat ini aanggotanya duduk di Senayan.

Partai-partai kecil tu harus daftar ulang dan lolos verifikasi administrasi juga verifikasi faktual.

“Sementara syarat untuk menjadi partai politik peserta pemilu beratnya bukan alang-kepalang,” sebut Titi.

“Jadi, bagi saya peluang-peluang itu (partai politik di DPR mendukung putusan MK dan mengajukan calonnya masing-masing) tetap ada. Partai juga perlu memperhitungkan eksistensi politik mereka sebagai partai. Kan pemilu serentak ini, ketika mereka punya kandidat yang populer (maju di Pilpres), akan mengatrol eksistensi mereka sebagai peserta pemilu legislatif untuk mendapatkan kursi di DPR,” lanjut dia.

Kemungkinan partai-partai besar itu akan unjuk gigi di Pilpres 2029 begitu terbuka. Bukan pilihan yang sempurna bagi partai politik untuk mengekor dan kembali masuk dalam koalisi lama yang saat ini tengah berkuasa. Kecuali jika ada faktor X yang bermain di belakangnya.

“Kecuali ada faktor-faktor X seperti dituliskan dalam buku Marcus Mietzner The Coalitions Presidents Make, misalnya penggunaan kekuatan hukum atau tekanan-tekanan yang sifatnya bernuansa kriminalisasi. Ya itu kita tidak tahu, tapi peluang itu selalu ada,” pungkasnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *