Presidential Threshold Dihapus, Era Supremasi Politik Berakhir…

“Jadi momentum itu tiba, MK gelisah dengan ‘kebuntuan ketatanegaraan’ dan juga dinamika ambang batas pencalonan presiden yang mengarah kepada pelemahan presidensialisme dan hak politik warga, datanglah 4 mahasiswa ini dengan imannya yang masih utuh…”

-Pakar Pemilu Titi Anggraini

Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi membacakan keputusan yang membuat banyak pihak bersorak gembira. Pada 2 Januari lalu, Ketua MK Suhartoyo menyampaikan keputusan soal dihapusnya ambang batas pencalonan presiden 20 persen. Ketentuan yang tercantum dalam pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang semula selalu disebut sebagai open legal policy, kali ini dianggap inkonstitusional dan harus dihapuskan.

Keputusan ini merupakan respons MK atas permohonan yang diajukan oleh sejumlah mahasiswa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penghapusan presidential threshold ini merupakan sesuatu yang selama ini sudah dimohonkan puluhan kali oleh berbagai pihak, namun selalu ditolak oleh MK.

Salah satu pemohon yang juga mengajukan penghapusan threshold adalah Pakar Pemilu dari Universitas Indonesia Titi Anggraini. Dalam podcast bersama Budiman Tanuredjo di Back to BDM, Titi menceritakan dirinya pernah 3 kali mengajukan permohonan serupa pada MK, dan semua ditolak.

Dalam 3 kali upaya permohonan itu, Titi mengaku sempat mengalami kegoyahan iman terkait petitum yang diajukan. Jika awal-awal di tahun 2017 dan 2018 ia meminta agar ambang batas 20 persen benar-benar dihapuskan bagi semua partai politik tanpa kecuali, di permohonan terakhir tahun 2024 ia sedikit melunak dan mencoba berdamai dengan keadaan.

“Karena frustrasi sudah 30 kali ditolak, kami coba putar otak bagaimana berdamai dengan keadaan. Yang penting kita bisa punya alternatif pilihan yang lebih beragam,” kata Titi.

Jadi, ketika itu ia hanya meminta agar ambang batas tidak diberlakukan pada partai parlemen, melainkan hanya bagi partai di luar parlemen. Jadi, partai-partai yang ada di DPR bisa langsung mengusung calon presiden sendiri. Alasannya satu, partai yang sudah memiliki kursi di DPR suaranya sudah teruji di pemilu legislatif (pileg). Sementara bagi partai yang suaranya belum mencukupi ketika Pileg, tetap diberi kesempatan dengan penerapan ambang batas tertentu, agar mereka sama-sama memiliki hak untuk mengajukan calon di pemilihan presiden. Agar hak konstitusi partai-partai kecil tidak tercerabut begitu saja.

Terkait berapa besaran ambang batas yang harus diberikan pada partai nonparlemen, Titi menyebut angka pastinya diserahkan pada pihak pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan Pemerintah.

“Jadi iman kami ini goyah, karena MK sudah 30 kali menolak, 24 menyatakan permohonan tidak dapat diterima karena persoalan legal standing, 6 ditolak karena dalilnya tidak mampu dibuktikan. Jadi dengan situasi itu kami mencoba untuk menggugah pilihan-pilihan yang kami harap pada waktu itu resistensi parlemen tidak akan besar, karena partai parlemen akan mendapatkan insentif,” jelas Titi.

“Tapi ternyata bukannya kami imannya yang goyah, imannya MK yang goyah (terlihat) dengan putusan permohonan mahasiswa,” lanjut anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu.

BDM dan Titi Anggraini berbincang mengenai penghapusan presidential threshold di podcast Back to BDM.

Perubahan sikap MK tersebut dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor. Pertama, realitas politik hari ini, terutama di lihat dari dinamika politik di 2024 bahwa DPR dan Pemerintah sebagai piihak yang berwenang merumuskan UU ternyata bersikap di luar koridor yang telah ditentukan. Yakni melanggar moralitas, rasionalitas, menciptakan ketidakadilan yang intolerable, menghilangkan hak politik warga, dan melanggar kedaulatan rakyat.

Ketika asas-asas itu dilanggar, maka MK merasa perlu melakukan sesuatu. Terlebih, hal ini sudah dimohonkan berulang-ulang kali oleh berbagai pihak.

“Terutama yang saya tangkap paling mendasar Mahkamah melihat ada kecenderungan untuk mengarahkan calon itu hanya ada dua, dan itu sejak Pilpres 2014 kan memang hanya dua yang kemudian mengakibatkan polarisasi di masyarakat. Kecenderungan itu juga menguat di Pilkada yang membuat Pilkada hanya ada satu calon atau calon tunggal, atau Pilkada dengan kotak kosong, yang kata Mahkamah kalau itu dibiarkan bukan tidak mungkin Pilpres juga akan calon tunggal. Dan itu bertentangan dengan tujuan perubahan Undang-Undang Dasar yang ingin memurnikan kedaulatan rakyat melalui fasilitasi hak politik warga dan juga pilpres langsung,” jelas perempuan berusia 45 tahun itu.

MK tidak menginginkan ada upaya dari kekuatan politik tertentu yang nantinya akan mendominasi pencalonan presiden dan wakil presiden, sehingga pilihan calon yang disuguhkan kepada rakyat menjadi sangat terbatas.

Faktor kedua adalah pergantian rezim pemerintahan dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto dan juga perubahan konfigurasi hakim di MK. Keduanya dilihat Titi sebagai hal yang juga besar perannya dalam memengaruhi keputusan MK menghapus ambang batas pencalonan presiden.

Dari 9 hakim yang memutus, 7 hakim menyatakan setuju dan hanya 2 yang menyatakan dissenting opinion. Mereka adalah Anwar Usman dan Daniel Yusmic. Adapun dua hakim yang selama ini dikenal selalu konsisten meyakini bahwa penerapan ambang batas itu menyalahi konstitusi alias inkonstitusional, saat ini menjadi Hakim Ketua dan Wakil Ketua, yakni Suhartoyo dan Saldi Isra.

Kondisi politik yang dinilai tak lagi ideal dan perubahan rezim juga konfigurasi hakim ini kemudian bertemu dengan momentum adanya permohonan yang masuk dari mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Inilah yang menjadi faktor ketiga putusan fenomenal ini bisa lahir.

“Jadi momentum itu tiba, MK gelisah dengan ‘kebuntuan ketatanegaraan’ dan juga dinamika ambang batas pencalonan presiden yang mengarah kepada pelemahan presidensialisme dan hak politik warga, datanglah 4 mahasiswa ini dengan imannya yang masih utuh. Kalau saya kan imannya sudah, tapi teman-teman mahasiswa ini tetap solid begitu,” ucap aktivis yang menjadi Dosen Tidak Tetap bidang studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.

Keputusan MK ini tentu menjadi sinyal bahwa era supremasi politik yang selama ini diterapkan oleh legislator dan pemerintah telah berubah menjadi supremasi konstitusi. Konstitusi harus menjadi dasar acuan semua pihak dalam bernegara.

Dalam 30 kali penolakan yang dilakukan MK sebelumnya, supremasi politik lebih mendominasi. Namun pada putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 kemarin, supremasi konstitusi akhirnya kembali bangkit. Jika dulu MK selalu mengatakan ambang batas akan berkontribusi pada penyederhanaan partai politik dan penguatan sistem presidensial. Partai bisa saling berkoalisi sehingga membentuk kekuatan yang besar untuk mendukung pemerintahan. Kini MK membantah semua itu.

Melalui putusan 62, MK ingin mengatakan tidak ada korelasi antara ambang batas dengan penyederhanaan partai politik dan penguatan sistem presidensil.

“Di sini MK mengatakan tidak selalu terbukti benar minority government, ketika presiden didukung oleh bukan kekuatan mayoritas, maka dia akan lemah. Dia (MK) bilang itu tidak serta-merta teruji. Dan yang menariknya lagi, di dalam putusan MK, MK mengatakan lebih mengedepankan pemenuhan hak politik warga negara daripada semangat penyederhanaan partai politik. Itu titik balik,” kata Titi


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *