“Sekarang nih sudah tidak ada threshold untuk pencapresan, syarat itu kan sudah clear, saya bilang tadi sudah mati ini barang, maka maksud saya enggak usah dicari-cari cara lain lagi, dipikirkan cara-cara bagaimana lagi,”
—Ketua Tim Pemenangan Partai Buruh Said Salahudin
Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang sebelumnya tercantum pada pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Threshold 20 persen selama ini diyakini hanya menguntungkan partai-partai besar atau kelompok politik tertentu sehingga menutup pintu kompetisi bagi partai-partai kecil yang tak memiliki cukup suara.
Sebagai dampak dari putusan tersebut, pada Pilpres 2029 calon kandidat tak lagi perlu mengumpulkan dukungan partai politik untuk mencapai batas minimal 20 persen suara, melainkan cukup mendapat dukungan dari paling tidak satu partai politik peserta pemilu untuk bisa berlaga di kontestasi pilpres.
Dampak lain dari putusan MK tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) memiliki pekerjaan rumah untuk segera merevisi Undang-Undang Pemilu agar pasal-pasal di dalamnya sinkron dan selaras dengan keputusan MK soal penghapusan ambang batas yang disampaikan Ketua MK Suhartoyo pada 2 Januari 2025.
Bagaimana DPR menyikapi hal ini? Perlu diingat, lembaga legislatif berisi orang-orang yang berasal dari partai politik yang berada di jajaran atas perolehan suara terbanyak dalam Pemilu. Akankah mereka tegak lurus terhadap keputusan MK? Atau sebaliknya, mereka akan menyusun strategi tertentu agar putusan MK tidak merugikan kepentingan partai politiknya yang selama ini terkesan memperoleh “keistimewaan” dengan aturan presidential threshold 20 persen?
Sejumlah narasumber hadir mendiskusikan isu penghapusan ambang batas pencalonan presiden ini dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (8/1/2025) yang mengambil tema “Ambang Batas Dihapus, Siapa Untung Siapa Buntung?”.
Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem Muhammad Rifqinizamy Karsayuda mengaku sejauh ini DPR masih reses, sehingga belum ada respons resmi yang bisa diberikan terkait revisi UU Pemilu. Namun, ia tidak memungkiri putusan MK tersebut menjadi diskursus hangat di antara anggota Komisi II DPR.
“Satu yang akan kami lakukan, melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait dengan pelaksanaan Pemilu di tempat kita, baik itu Pileg, Pilpres, maupun Pilkada. Seiring dengan itu kami akan mengundang seluruh stakeholders terkait untuk juga memberikan masukan, apakah itu civil society, political society, political society dalam pengertian kawan-kawan yang di luar parlemen termasuk partai buruh dan lain-lain, dan yang tidak kalah penting kami juga akan mengundang academic society, kaum cendikiawan dari berbagai perguruan tinggi dan periset untuk memberikan masukan evaluasi sekaligus masukan perbaikan terhadap sistem pemilu kita ke depan,” jelas Rifqi.
Di tahun ini, Komisi II DPR sendiri telah mengusulkan paket rancangan undang-undang politik atau omnibus law politik yang terdiri dari beberapa bab, mulai dari partai politik, pemilu termasuk pilpres, pilkada, dan hukum acara sengketa pemilu.
Namun, belum diketahui apakah akan dikabulkan oleh pimpinan DPR untuk dikerjakan oleh Komisi II atau akan dibentuk panitia khusus (pansus). Saat ini Komisi II masih melakukan evaluasi menyeluruh.
“Saya menargetkan paling lama dua kali masa sidang, karena masa sidang ke depan itu hanya lebih kurang 1 bulan. Dua kali masa sidang ini berarti Januari-Februari kita akan reses sekali, Maret-April sekitar akhir April akan selesai evaluasi. Omnibus low-nya tentu setelah itu. Prinsip dasarnya, 2025 kita ingin start. Sebelum 2027 selesai, karena asumsi kami 2027 itu tahapan Pemilu 2029 kita mulai,” jelas Rifqi.
Terlepas dari produk undang-undang seperti apa yang akan dihasilkan DPR menindaklanjuti putusan MK, apakah dalam wujud omnibus law atau dalam bentuk undang-undang terpisah, Ketua Tim Pemenangan Partai Buruh Said Salahudin menekankan apapun bentuknya, DPR diharapkan tidak mengubah atau menyiasati apa yang sudah diputuskan Majelis di MK.
“Partai Buruh menolak perubahan aturan tentang persyaratan pencalonan, enggak boleh ada revisi. Pasal 222 (UU Pemilu) itulah yang dibatalkan MK, inkonstitusional, mati dia, sudah enggak berlaku lagi. Sekali dibuka di DPR, liar dia nanti itu. Liar, maka muncul ide bagaimana supaya tetap spiritnya itu spirit membatasi (partai-partai kecil),” ungkap Said.
Asumsi Said dinilai sah-sah saja oleh Rifqi, ia pun menjadikannya sebagai kontrol bagi Komisi II dalam membahas isu ini ke depan. Namun, Rifqi menjelaskan DPR saat ini bertugas untuk mencari titik tengah atau titik ekuilibrium, bagaimana agar tidak terlalu banyak calon presiden yang muncul setelah penghapusan ambang batas oleh MK.
“Mengambil kira-kira titik ekuilibrium antara gambaran MK bahwa bisa saja nanti ada 30 partai politik peserta pemilu, ke-30-nya mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. Namun di sisi yang lain MK juga memberikan lima guidance, lima norma, lima order kalau bahasa ayuk Titi, itu agar kemudian juga tidak terjadi pembatasan terhadap hak-hak konstitusional partai-partai politik peserta pemilu. Equilibrium norm Inilah yang harus kami rumuskan di DPR, karena itu Insya Allah DPR ini juga pandailah membaca pertimbangan hukum ini mengerti putusan,” jelas Rifqi.
Said sepakat dengan ini. DPR dipersilakan jika mau merevisi pasal-pasal di UU Pemilu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Misalnya, DPR dapat melakukan revisi untuk mengatur agar jumlah calon presiden nantinya tidak terlampau banyak, mengingat tidak ada lagi ambang batas suara yang dipersyaratkan untuk bisa maju.
Namun, Said menegaskan syarat pencalonan presiden sudah final sebagaimana diketuk palu oleh MK, tidak ada yang perlu direvisi lagi oleh DPR.
Bagi Said, Indonesia sebagai negara yang menganut sistem presidensial dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa, semestinya memiliki banyak sosok calon pemimpin yang bisa ditawarkan pada rakyat untuk dipilih. Jangan berhenti pada 2 atau mentok 3 pasangan calon saja.
“Di Amerika Latin itu kan jumlahnya bisa sampai belasan (calon). Kita enggak mengatakan kita harus begitu, tapi mereka yang jumlah penduduknya cuma 5 juta bahkan ada yang 3 jutaan, capresnya itu sampai 11, dan itu enggak aneh kok di negara-negara itu, enggak apa-apa juga,” sebut Said.
Jika ada pihak yang khawatir tidak adanya aturan pembatas yang dibuat akan memunculkan terlalu banyak nama calon, menurut Said hal itu adalah omong kosong belaka. Logika menuntunya untuk mengatakan tak semua partai politik akan dengan mudahnya mengusung calonnya masing-masing, sekalipun konstitusi memperbolehkannya.
Pertama, ada budaya koalisi dalam sejarah kepemiluan di Indonesia. Koalisi ini untuk menghimpun kekuatan politik, logistik, elektoral, dan lain sebagainya. Kedua, dibutuhkan biaya besar dari partai untuk mencalonkan kandidat RI-1, sehingga tak semua parpol akan begitu saja mengusung jagoannya sendiri-sendiri.
“Partai juga mikir dua kali kalau dia mau sendirian, mesti ada kecenderungan koalisi,” kata dia.
“Jumlah calon presiden dengan enggak usah diubah aturan syarat presiden itu, enggak akan lebih dari separuh jumlah partai politik peserta pemilu kok,” lanjut Said.
Di pihak lain, penghapusan ambang batas pencalonan presiden ini tentu memiliki dampak yang signifikan, misalnya bagi partai besar seperti Golkar.
Sebagai partai dengan perolehan suara terbesar kedua pada Pemilu 2024, Golkar tentu akan kehilangan privilesenya yang biasanya relatif mudah mengusung calon presiden, ketimbang partai-partai kecil yang suaranya jauh di bawahnya.
Namun, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia merespons dengan pernyataan yang cenderung diplomatis.
“Sebagai institusi atau partai politik yang menjadi bagian dari negara hukum, tentu kita harus menempatkan putusan itu. Kita terima karena putusan Mahkamah Konstitusi itu kan final and binding, suka atau tidak suka, mau tidak mau, harus kita laksanakan,” ujar Doli.
Selebihnya, Doli berharap agar soal ambang batas ini bukan sekedar perkara menang atau kalah, ada atau tidak ada, namun lebih pada tujuan yang lebih besar. Demokrasi Indonesia lebih sehat, lebih bermartabat, dan lebih berkualitas.
Untuk itu, peniadaan ambang batas yang telah diputuskan MK, menurut Doli harus diikuti dengan kebijakan lanjutan yang mendukung.
“Kalau kita mau berpikir supaya demokrasi kita tambah sehat, apakah kita tidak atur aturan berikutnya tentang pencalonan calon presiden ini. Tiba-tiba misalnya nanti ada 200 partai politik peserta pemilu, berarti kan ada 200 calon presiden wakil presiden. Apakah itu sehat buat demokrasi kita? Kan belum tentu juga. Makanya harus diatur, di situlah kemudian Mahkamah Konstitusi memberikan rambu-rambu,” sebut Doli.
Adapun rambu-rambu yang dimaksud Doli adalah terdiri dari 5 hal sebagai berikut:
• Semua parpol peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden;
• Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional;
• Dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi parpol atau gabungan parpol sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih;
• Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya;
• Perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu termasuk parpol yang tidak memeroleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Dari rambu-rambu yang diberikan MK, Doli ingin menggarisbawahi dua hal: poin ketiga dan kelima.
“Itu tuh maknanya harus diatur. Aturnya bagaimana, nanti banyak, soal verifikasi partai politik sebagai peserta pemilu misalnya, terus soal penguatan partai politiknya secara internal. Jadi masih banyak cara, masih banyak isu untuk mendukung, tidak cuma satu variabel untuk menyempurnakan demokrasi kita,” papar Doli.
Adapun untuk partisipasi publik, Doli menyebut saat ini waktunya tepat untuk memperkuat faktor tersebut. Tepat, karena kita baru saja melewati pemilu, ada pada tahap evaluasi, dan masih memiliki cukup waktu sebelum tiba tahun pemilu berikutnya di 2029.
“Kalau nanti sudah mau dekat-dekat, meaningful participation agak terganggu, agak bias. Kalau sekarang kita kan punya energi untuk membuka diri, berdialog dengan masyarakat, dengan akademisi, dengan teman-teman masyarakat sipil. Ya setahun Inilah kita buat misalnya 1,5 tahun kita cari demokrasi yang paling ideal ala Indonesia melalui ini,” tutur dia.
Sebagai anggota partai nonparlemen, Said berharap DPR tidak mencari-cari cara lain untuk mempersulit pencalonan presiden dan wakil presiden dari partai-partai kecil yang jalannya sudah dibukakan oleh MK melalui Putusan di awal tahun ini. Misalnya, dengan memperketat verifikasi partai politik untuk bisa ikut pemilu.
“Sekarang nih sudah tidak ada threshold untuk pencapresan, syarat itu kan sudah clear, saya bilang tadi sudah mati ini barang, maka maksud saya enggak usah dicari-cari cara lain lagi, dipikirkan cara-cara bagaimana lagi,” sebut Said.
DPR tidak perlu khawatir akan lahir terlalu banyak calon presiden dengan tidak adanya ambang batas suara yang diberlakukan. Seleksi alam akan berlaku tanpa diminta. Tidak semua partai politik punya basis massa yang kuat, punya modal kapital yang besar, punya calon yang akan diajukan. Sehingga koalisi pasti masih akan terbentuk, dan jika ada 10 partai politik yang ikut pemilu, maka menurut Said maksimal hanya 5 kandidat yang akan maju dalam kontestasi.
Jadi jangan beri batasan baru setelah MK mencopot batasan yang sebelumnya diberlakukan.
Bagi Said, yang lebih penting adalah mengawal putusan MK dan memastikan apa yang dituju dari putusan tersebut bisa tercapai. Yakni munculnya lebih banyak calon alternatif bagi masyarakat Indonesia yang heterogen.
“Diantaranya adalah harus diatur teknis penjaringan, teknis penyaringan, teknis untuk penetapan. Jadi bagaimana proses partai menjaring, menyaring rakyat harus tahu. Jangan ujuk-ujuk tiba-tiba pimpinan partai mengatakan calon presiden si anu, rakyat enggak pernah dilibatkan,” tegas Said.
Leave a Reply