"Tapi yang berbeda kita belum melewati Pilpres 2024, belum melewati Pilkada 2024 yang meneguhkan MK ada realitas upaya dominasi partai politik atau kekuatan gabungan politik tertentu yang mengarahkan kok inginnya dua calon terus...."— Pakar Pemilu Titi Anggraini
Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan keputusan mengejutkan di awal tahun 2025 ini. MK mengabulkan permohonan pembatalan pemberlakuan presidential threshold 20 persen yang diajukan oleh 4 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Keputusan itu dibacakan langsung oleh Ketua MK Suhartoyo pada 2 Januari 2024 melalui Putusan bernomor 62/PUU-XXI/2023.
Hasilnya, pada pencalonan di Pilpres 2029 tak ada lagi ambang batas yang harus dipenuhi calon kandidat presiden dan wakil presiden, karena semua bisa maju selama mendapat dukungan dari satu atau gabungan partai politik peserta pemilu.
Dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (8/1/2025) yang mengangkat judul “Ambang Batas Dihapus, Siapa Untung Siapa Buntung?”, salah satu mahasiswa yang mengajukan permohonan itu hadir secara virtual dan menjelaskan apa latar belakang mereka mengajukan permohonan yang sesungguhnya sudah puluhan kali diajukan oleh pihak lain dan semuanya ditolak oleh MK. Dia adalah Enika Maya Oktavia.
Menurutnya ada yang aneh, MK sudah menolak 32 pengajuan penghapusan presidential threshold yang diajukan pihak-pihak lain sebelumnya, dengan dalih itu merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang merupakan hak legislator, namun DPR sama sekali tidak menindaklanjuti keputusan tersebut.
“Kami mengamini ini open legal policy, ini memang suatu hal yang kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat selaku legislatif, tapi open legal policy itu ada batasannya, yakni moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan intolerable. Maka kami nyatakan memang sudah seharusnya Mahkamah itu melangkah lebih jauh lagi, karena 32 putusan yang kemudian tidak digubris merupakan salah satu pengabaian terhadap aspirasi rakyat,” jelas Enika.
Enika mengaku, sesungguhnya permohonan awal yang mereka ajukan adalah hanya ingin menanyakan mengapa DPR tidak melakukan tindakan apapun terhadap 32 putusan MK soal presidential threshold yang dianggap sebagai open legal policy. Padahal, ada 32 kali kesempatan bagi mereka untuk merumuskan respons tertentu untuk menindaklanjuti putusan MK.
Meski mengetahui MK sudah puluhan kali menolak permohonan soal penghapusan ambang batas 20 persen, namun Enika dan teman-teman tetap yakin untuk mengajukan permohonan serupa. Ternyata, ada sejumlah faktor yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah mereka melihat ada banyak celah hukum pada putusan-putusan MK sebelumnya.
Pertama, Enika mencermati, semua pemohon berasal dari masyarakat sipil dan bukan orang-orang partai atau kelompok yang dipilih. Ia menduga, ini menjadi alasan MK menolak semua permohonan yang masuk terkait pasal 222 Undang-Undang tentang Pemilu. Namun, ia berkaca pada Putusan 90 soal ambang batas usia capres cawapres yang dikabulkan MK, padahal diajukan oleh seorang mahasiswa, yakni Almas Tsaqibbirru dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
“Maka paradigmanya kami anggap bergeser dari orang-orang yang dipilih menjadi pemilih pun bisa. Dengan mendasarkan bahwa putusan 90 bisa, maka Mahkamah Konstitusi tidak memiliki alasan lagi untuk menolak legal standing kami,” ujar Enika.
Ambang batas pencalonan presiden 20 persen menurutnya harus dihapuskan karena menimbulkan banyak kerugian, salah satunya adalah kerugian konstitusional.
Misalnya, warga negara yang memiliki hak demokrasi untuk memilih calon pemimpinnya, tidak memiliki banyak opsi calon pemimpin yang sesuai dengan preferensi para pemilih. Presidential threshold membuat calon kandidat yang muncul menjadi sangat terbatas.
Selain itu, Enika memaparkan kerugian konstitusional juga terjadi akibat pelanggaran terhadap asal “one value“.
“Suara kami itu mengalami pelanggaran, yakni pelanggaran pada asas one value. Asas one value ini adalah satu nilai di mana suara kami yang seharusnya digunakan pada periode pemilu sebelumnya, tiba-tiba digunakan untuk pemilu berikutnya. Pelanggaran pada asas periode, asas one value atau satu nilai bahwa periodisasi bukan sekedar kontinuitas 5 tahunan, tapi perubahan mandat masyarakat. Jadi kami kerugiannya di situ,” jelas dia.
Kini, permohonan penghapusan ambang batas 20 persen itu telah dikabulkan. Enika pun berharap perjalanan politik Indonesia ke depan menjadi semakin inklusif dan terbuka. Tak hanya itu, ia juga berharap akan lebih banyak calon pemimpin yang bisa tampil dan bertanding, sehingga masyarakat memiliki lebih banyak pilihan yang sesuai dengan preferensi politiknya.
Dengan banyaknya kandidat, secara tidak langsung juga akan meminimalisasi potensi polarisasi di tengah masyarakat yang terjadi pasca pemilu.
“Klau kita lihat kemudian polarisasi-polarisasi yang terjadi pada tahap pemilu 2024, 2019, dan pemilu-pemilu lainnya ini dikarenakan adanya penajaman terhadap kecilnya pilihan-pilihan yang kita miliki, tidak ada calon-calon alternatif, tokoh-tokoh yang unggul atau yang muncul hanya itu saja. Ini bisa menyebabkan namanya pengkultusan demokrasi. Jadi kami harap akan lebih inklusif lebih terbuka. Jadi kami punya banyak calon alternatif, inovasi-inovasi baru juga tentunya,” kata Enika.
32 Kali Menolak, Kali Ini Mk Mengabulkan
Sebagaimana disebutkan Enika, sebelum ia dan kawan-kawan mengajukan permohonan terkait penghapusan presidential threshold 20 persen ke MK, sudah ada lebih dari 30 permohonan serupa yang hasilnya ditolak oleh MK. Lantas mengapa permohonan kali ini dikabulkan?
Pakar Pemilu Titi Anggraini menyebut alasan MK mengabulkan permohonan dari teman-teman UIN Sunan Kalijaga adalah ketepatan momentum yang didukung dengan perubahan konfigurasi hakim MK.
“Momentumnya tepat. Karena kenapa, Pemilu baru usai, kita memiliki banyak evaluasi, lanskap politik partisan 2029 belum dimulai. Jadi posisi memang dalam situasi netral untuk berbenah. Dan momentum itu ternyata bertemu. Ibarat botol dengan tutup, datanglah permohonan yang dari teman-teman UIN ini minta dihapuskan,” ungkap Titi yang hadir di studio KompasTV menjadi narasumber di program yang sama.
Selain itu, Titi menjelaskan nampaknya ada pergeseran pendirian hukum di internal MK, dari presidential threshold yang semula menjadi kewenangan penuh DPR, karena merupakan kebijakan hukum terbuka, kini kewenangan itu bisa dibatasi dan dinilai oleh MK menggunakan variabel-variabel tertentu. Misalnya melanggar rasionalitas, moralitas, ketidakadilan yang intolerabel, menghilangkan hak politik, bertentangan dengan kedaulatan rakyat, sewenang-wenang, dan sebagainya.
Dan realitas Pemilu 2024, menurut Titi menjadi peneguh hati bagi MK agar lembaga itu segera melakukan sesuatu yang dampaknya bisa signifikan.
Pasalnya, jika ditilik dari sisi argumentasi tidak ada yang berbeda dari 30 sekian permohonan yang telah masuk sebelumnya dengan permohonan terbaru dari teman-teman UIN Sunan Kalijaga. Soal penggunaan suara yang lampau, keterbatasan pilihan, polarisasi, dan lain sebagainya. Sama saja.
“Tapi yang berbeda kita belum melewati Pilpres 2024, belum melewati Pilkada 2024 yang meneguhkan MK ada realitas upaya dominasi partai politik atau kekuatan gabungan politik tertentu yang mengarahkan kok inginnya dua calon terus. Dan bahkan di Pilkada sudah diturunkan threshold jadi 6,5-10 persen dampak calon tunggalnya tetap jadi fenomena. Intinya itu MK ingin mengatakan demokrasi kita mengkhawatirkan, bukan tidak mungkin nanti Pilpres juga calon tunggal,” ujar Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini.
Keputusan menggemparkan ini disebut Titi sebagai awal dari proses siuman MK yang dalam beberapa waktu ke belakang kerap mengecewakan masyarakat dengan putusan-putusannya.
“Iya memang MK walaupun saya bilang siumannya terlambat, korbannya sudah banyak, tapi kan lebih baik dia siuman dan bertaubat menebus dosa-dosa masa lampau. Memang pertaubatan itu nampaknya baru dibuka hari ini,” sebutnya.
Sementara itu, Ketua Tim Pemenangan Partai Buruh Said Salahudin menganggap gebrakan MK kali ini dilatarbelakangi oleh adanya kepemimpinan baru, legislatif baru, juga konfigurasi hakim yang baru.
“Saya kira mungkin barangkali ya dengan ada satu kepemimpinan baru boleh jadi yang membuat akhirnya ada semacam pergeseran sikap dari mahkamah yang enggak bisa dipungkiri memang ada urusannya juga dengan eksekutif, dengan legislatif. Ini kan sekarang periode yang baru, barangkali itu juga memberi satu keyakinan bahwa apa yang pernah terjadi sebelumnya sekarang mereka menganggap sudah waktunya untuk dilakukan perubahan,” jawab Said yang juga menjadi salah satu narasumber dalam program TV yang dipandu Budiman Tanuredjo itu.
Meski keputusan akhir Mahkamah adalah mengabulkan permohonan Enika dan kawan-kawan dari UIN Sunan Kalijaga, namun dalam prosesnya ada dua hakim MK yang mengajukan dissenting opinion menegasikan legal standing dari pemohon. Mereka adalah Anwar Usman dan Daniel Yusmic.
Menanggapi hal itu, Titi menyebut tidak ada yang mengagetkan. Menurutnya, sudah ada kecenderungan bahwa dua hakim tersebut akan menolak permohonan yang diajukan.
“Dua hakim ini lebih cenderung bersepakat dengan segala hal yang open legal policy,” kata dia.
Selain itu, dissenting opinion ini juga menunjukkan inkosistensi hakim, khususnya Anwar Usman, dalam memberikan putusan. Kita masih ingat, pada Putusan MK No 90 2023 soal batas usia capres cawapres, Anwar Usman merupakan 1 dari 3 hakim MK yang mengabulkan batas usia minimal capres cawapres diturunkan dari 40 menjadi 35 tahun. Padahal, perkara itu tidak jauh berbeda dengan perkara yang diajukan oleh teman-teman UIN Sunan Kalijaga, yakni diajukan oleh mahasiswa UNS yang tidak memiliki kepentingan dengan partai politik manapun. Almas yang mengaku sebagai penggemar Gibran Rakabuming Raka sekaligus sebagai pihak pemohon, mendalilkan tidak bisa memilih kepala daerah tempatnya berasal, di pemilihan presiden.
“Di perkara ini (Enika dkk) sebenarnya polanya kan sama, ada pemilih yang mendalilkan karena kebijakan ambang batas yang lebih berpihak kepada partai-partai peserta pemilu masa lampau untuk mencalonkan presiden dia tidak bisa memilih sesuai dengan apa yang dia kehendaki, pilihan politik alternatif. Tapi legal standing-nya dianggap tidak dipenuhi oleh Hakim Anwar Usman dan Daniel Yusmic. Jadi memang dalam konteks bobot argumen soal legal standing ini inkonsistensi itu sangat nampak,” papar Titi.
“Ini menjadi evaluasi yang menunjukkan bahwa argumentasi hakim akhirnya bergantung kepentingan, tidak menunjukkan konsistensi terhadap pendirian hukum yang mestinya harus mereka jaga,” pungkasnya.
Leave a Reply