“Shadow State” dan Demokrasi Cukong

Budiman Tanuredjo

Hari Sabtu 4 Januari 2025, esai saya berjudul, “Pemerintah Bayangan” dan Masa Depan Demokrasi telah dimuat di Harian Kompas. Esai itu banyak mendapatkan tanggapan melalui pesan WhatsApp. Saya muat ulang tulisan saya di Kompas dengan sedikit pengayaan-pengayaan.

Fachry Ali menulis di Harian Kompas, 19 Desember 2024, fenomena tersingkirnya kaum intelegensia dalam pemerintahan. Intelegensia “tersingkir” dan kalah bersaing dengan para influencer yang menguasai konten-konten yang mudah viral dalam dunia berideologi “viralisme”.

Sinyalemen Fachry ini menarik. Sehari sebelum esai itu dimuat Kompas, Fachry Ali hadir membahas pemikiran Deliar Noer dalam acara “Deliar Noer Memorial Lecture” di Universitas Nasional, Jakarta. Deliar adalah lulusan Universitas Nasional Jakarta dan menjadi orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor dari Cornel University, Ithaca, Amerika Serikat. Deliar menulis disertasi The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942. Disertasi itu dipertahankan tahun 1963.

Menteri Kebudayaan, Fadli Zon.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut Deliar adalah intelektual organic dalam pemahaman Gramsci. Intelektual kritis, berintegritas, yang mencoba menggabungkan kekuatan nalar intelektual politiknya dan aktivisme politik. Sebagai intelektual, Deliar pernah membangun Partai Umat Islam (PUI). Namun, PUI gagal mendapatkan suara signifikan.

Warisan pemikiran Deliar dibedah oleh Fachry Ali, Saiful Mujani, Yudi Latief, Safrizal Rambe, dan trajektori demokrasi Indonesia yang lebih kontemporer dibahas Syarif Hidayat. Hidayat membahas demokrasi kontemporer, Demokrasi Orde Baru dan Post Orde Baru serta masa depan demokrasi Indonesia. Berkeliling ke sejumlah kampus sebenarnya ada kegelisahan di dunia kampus mengenai kondisi negeri ini.

Kritisisme kampus seperti terhalang tembok tebal. Pemikiran kritis kampus seperti hanya hidup dalam ruang-ruang seminar di kampus. Persoalan administrasi yang menghinggapi birokrasi kampus, membuat kampus seakan asyik dengan dirinya sendiri. Kampus belum berhasil menjawab problematika yang terjadi di tengah masyarakat. Butuh Lorong atau penghubung antara kampus dengan kemasyarakatan.

Sebenarnya masih ada sejumlah pengajar di kampus yang menjadi suara nurani bangsanya (conciense of nation). Sebut saja, Zaenal Arifin Mochtar, Rimawan Pradiptyo dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Bivitri Susanti (STH Jentera) yang gelisah dengan situasi negeri ini. Di Unas ada Syarief Hidayat. Dan, tentu masih banyak lagi di STF Driyarkara, ITB, dan UI.

Saat berbicara di Deliar Noer Memorial Lecture, Hidayat mengonfirmasi terjadinya stagnasi demokrasi Indonesia. Kesimpulan itu bukan hanya sekadar berbicara tapi dikuatkan dengan sejumlah data, termasuk data Indeks Demokrasi Indonesia 2009-2020. Demokrasi Indonesia jauh dari kata matang (mature democracy). Mengacu pada pandangan Winters (2013), Warburton, dan Aspinal (2019), Saiful Mujani & Liddle (2021), demokrasi Indonesia digambarkan dalam democrating in decline, democratic regression, democratic backsliding atau democratic U-Turn.

Dalam kajiannya, Hidayat (2017) menyebut terlah terjadi bias reformasi yang menciptakan “shadow state” pasca Orde Baru. “Shadow state” adalah pemerintah bayangan atau para pemangku otoritas informal. Namun mereka dapat mengendalikan pemerintahan formal. “Shadow state” terjadi karena reformasi kelembagaan berlangsung. Namun, reformasi tidak mengarah pada penguatan kapasitas state (state capacity). Reformasi kelembagaan berkembang menjadi state image atau pembangunan citra lembaga. Situasi ini berakibat “state in practice” menjadi samar-samar dan terjadilah “shadow state.”

Intelektual sekaligus pengamat politik Fachry Ali.

Jika pada Orde Baru, mengikuti Robison (1988), komunitas korporasi masih menjadi subordinasi negara. Negara lebih besar dari komunitas korporasi. Pada post Orde Baru, Hidayat (2020) mempunyai proposisi pengaruh komunitas korporasi sudah lebih besar daripada negara. Politik Indonesia post Orde Baru digambarkan,”…transisi demokrasi telah berhasil berhasil mengeluarkan Indonesia dlaam otoritarianisme Soeharto namun jatuh dalam pelukan oligarki kapitalis dan oligarki politik yang kemudian membentuk shadow state…”

Proposisi Hidayat menggambarkan oligarki politik dan oligaki kapitalis dalam posisi terpisah. Namun dalam beberapa contoh, kepenguasaan kapital dan politik berada di salam satu tangan. Kita bisa melihat dalam panggung politik kontemporer. Tren menyatunya bisnis, politik, media dalam satu tangan.

Asshiddiqie (2022) menyebut, di Indonesia mulai timbul gejala dimana keempat kekuasaan negara, parpol/ormas, dunia usaha, dan media berkembang menjadi satu genggaman kekuasaan seorang otokrat, seorang totaliter yang menghimpun kekuatan politik negara, korporasi usaha, jaringan industri media, dan kekuatan masyarakat sipil menjadi satu. Kekuasaan totaliterianisme tak lagi di balik layar, tapi di panggung depan.

Kelompok kapital yang selama ini berada di ruang-ruang gelap politik dan mengendalikan politik dari balik layar, kini telah muncul ke depan secara terbuka. Sejumlah contoh bisa dilihat, pemilik usaha menjadi pemilik partai dan mempunyai media untuk kepentingan politik dan ekonomi mereka.

Perkembangan itu, telah menggagalkan demokrasi Indonesia bertransformasi dari demokrasi prosedural menuju demokrasi substansial. Demokrasi yang menghormari supremasi konstitusi, bukan supremasi politik, demokrasi yang menghargai ideologi rule of law, bukan rule by law. Melihat tren yang ada Hidayat memproyeksikan dua hal bakal terjadi.

Pertama, “shadow state” terbangun dengan multipolar, dimana pengambilan keputusan dilakukan oleh sekelompok elite dalam lembaga negara. Konsentrasi kekuasaan bersifat multipolar. Kontestasi kepentingan antar elite masih bisa terjadilah. Inilah era pemerintahan otoriter.

Kedua, “shadow state” terbangun dimana pengambilan keputusan dalam lembaga negara dilakukan satu orang. Tidak ada lagi kontetasi kepentingan elite. Dan kekuasaan bersifat monopolar. Inilah era pemerintahan personalistik (personalized government). Kekuatan penyeimbang menjadi sangat tidak seimbang.

Apa yang akan terjadi ke depan? Demokrasi hanya akan menjadi obyek pengelolaan manajemen elite dalam incorporated democracy. Akibatnya, demokrasi akan kian jauh dari dari rakyat. Gejala itu mulai nampak ketika satu-satunya kemewahan rakyat paska reformasi yakni hak untuk memilih sendiri pemimpinnya akan diambil oleh DPRD. “Daulat rakyat” akan diambil kembali oleh “Daulat elite.”

Dalam jebakan transisi demokrasi berkepanjangan inilah, intelegensia perlu bangun dan tersadar untuk merumuskan kembali peta jalan baru agar kedaulatan tetap berada di tangan rakyat, bukan di tangan elite partai politik dan elite ekonomi.***


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *