“Kalau ada hal-hal yang kita lihat berlebihan, bermewah-mewah misalnya, itu kita pangkas,”
– Ahmad Doli Kurnia, Politisi Partai Golkar
Lebih dari Rp40 triliun anggaran daerah dikeluarkan untuk Pilkada Serentak 2024. Jumlah itu tentu bukan jumlah yang sedikit di tengah kondisi keuangan kita yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Di sisi lain, angka itu juga tidak bisa dikatakan mahal jika tegaknya kedaulatan rakyat menjadi hasil yang dituju.
Dalam kondisi seperti ini, Presiden Prabowo sempat melontarkan pendapat untuk menghapuskan sistem pilkada langsung dan mengubahnya menjadi perwakilan. Kepala daerah cukup dipilih oleh anggota DPRD yang sebelumnya sudah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pernyataan itu disampaikan oleh Presiden secara publik di acara HUT ke-60 Partai Golkar beberapa waktu lalu.
Lantas, sudah tepatkah penghapusan pilkada langsung untuk menghemat anggaran negara? Atau masih ada opsi lain yang bisa dikerjakan, sehingga efisiensi tercapai dan kedaulatan rakyat tetap terjaga?
Ketua Komisi II DPR RI dari Partai Nasdem, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menyebut ada sekitar Rp30 triliun total dana yang dikeluarkan untuk Pilkada Serentak di 545 titik kemarin. Sementara biaya yang dikeluarkan oleh aktor politik yang terlibat langsung sebagai kandidat berkisar puluhan miliar rupiah, tergantung jumlah pemilih di daerah pemilihannya.
“Sebagai aktor politik, saya kira kita bisa meraba-raba satu paslon yang proper untuk menang dengan DPT 200.000-300.000 itu setidak-tidaknya mengeluarkan 20-40 miliar. Itu belum lagi dengan DPT yang lebih besar,” kata Rifqi saat hadir di Satu Meja The Forum Kompas TV (18/12/2024).
Dengan pemilihan dilakukan oleh DPRD, Rifqi memastikan biaya itu bisa ditekan menjadi jauh lebih kecil. Namun, DPR tidak akan buru-buru memutuskan untuk menghapus pilkada langsung. Rifqi menyebut Komisi II akan terlebih dahulu melakukan evaluasi terkait mekanisme pemilihan yang saat ini digunakan.
“Evaluasi harus kita lakukan. Sehingga kemudian menurut kami ini kita lihat betul-betul, dan kita pastikan bahwa di mana kekurangan-kekurangan itu harus kita tutup,” ujar dia.
Pakar Pemilu Hadar Nafis Gumay justru sama sekali tidak sependapat dengan usulan pilkada yang dilakukan melalui perwakilan DPRD. Menurutnya, itu merupakan sesuatu yang melanggar asas pemilu luberjurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil).
“Jadi (asas) langsung itu haruslah dilakukan untuk Pilkada, bukan menjadi tidak langsung lagi. Jadi ide untuk kembali ke sistem tidak langsung oleh DPRD menurut saya itu ide yang bertentangan dengan konstitusi, inkonstitusi,” sebut Hadar.
Apabila pilkada langsung dihapuskan, rakyat akan kehilangan kedaulatan memilih yang selama ini mereka miliki dan sudah dijamin oleh konstitusi. Kedaulatan itu bahi Hadar tidak akan bisa diukur dengan besar kecilnya biaya yang dibutuhkan.
Namun, jika memang biaya yang harus dikeluarkan itu dirasa begitu memberatkan, ada banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk menekan ongkos, tidak kemudian potong kompas menghapus pilkada langsung.
“Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi biaya. Banyak hal bisa diringkas,” kata Hadar.
Misalnya dengan mengurangi dana untuk penyelenggara pemilu sehingga mereka tidak bermewah-mewah dalam melakukan tugas (menggunakan jet pribadi dan sebagainya), pertemuan atau koordinasi yang kerap dilakukan di hotel-hotel besar bisa dilakukan di tempat yang lebih sederhana sehingga tidak membutuhkan biaya terlampau besar. Hal lain, bisa juga Pilkada memanfaatkan perkembangan teknologi, sehingga biaya yang diperlukan untuk membayar KPPS dan saksi bisa dipangkas, tak hanya soal biaya, secara waktu juga lebih ringkas.
Terkait rencana apa yang ada di balik gagasan menghapus pilkada langsung itu, Hadar menduga ada upaya untuk mengontrol pemimpin daerah agar sejalan dengan pusat.
“Wakil presiden dalam pertemuan dengan kepala-kepala daerah juga bilang tidak ada visi dan misi daerah, yang ada visi dan misi presiden misalnya. Kritik soal daerah katanya ke sana kemari, segala macam itu, kritiknya memang sudah lama sehingga memang kelihatan sekali ingin ada kontrol yang lebih besar terhadap apa yang dilakukan oleh daerah,” terang Hadar.
Satu suara dengan Haidar, Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus juga berpendapat jika pilkada langsung dianggap mahal, maka cari penyebab mahalnya, carikan jalan keluar, bukan mengubah pilkada kembali ke sistem perwakilan.
Lagi pula, demokrasi dan kedaulatan rakyat itu pasti butuh biaya, tidak gratisan.
“Apa yang bikin pilkada mahal, dari sisi negara misalnya, petugas KPPS ada 14 orang per TPS, misalnya, dikali jumlah TPS, jumlah TPS-nya dikurangi atau kita pakai sistem IT yang bisa dipercaya. Banyak cara-cara untuk menekan cost itu,” jelas Deddy.
Kemudian dari sisi kandidat yang ikut dalam pilkada, ada biaya mahar kepada partai politik yang jumlahnya tidak sedikit. Sejauh yang ia tahu, harga satu kursi untuk daerah kecil mencapai Rp250 juta-Rp250 juta, sementara untuk daerah-daerah yang besar mahar bisa mencapai Rp1 miliar-Rp2 miliar.
Tidak berhenti di situ, kandidat juga harus merogoh kocek cukup dalam untuk membayar saksi yang mereka tugaskan di setiap TPS.
“Misalnya di Jawa Tengah, itu 112.000 TPS kalikan Rp500.000 per saksi di TPS, kalikan, itu sudah Rp50 miliar sendiri, kan mahal sekali untuk calon,” jelas Deddy.
Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan calon untuk mengangkat namanya. Ini biasanya terjadi pada calon-calon yang namanya belum banyak dikenal oleh masyarakat. Ia perlu melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang juga membutuhkan biaya.
“Dia harus undang artis, karena dia bukan siapa-siapa, enggak dikenal, di dapilnya tidak pernah kerja-kerja politik. Dia kan harus banyak bikin bansos lah, bikin buzzer lah, bikin influencer, undang artis joget-joget. Itu yang bikin mahal,” papar Deddy.
Jika berbicara sahnya hasil pemilu yang dipilih oleh DPR, Deddy dengan tegas menjawab sah, sama-sama sah antara langsung maupun perwakilan. Namun, legitimasi dari hasil pemilu langsung jauh lebih besar, karena suara itu langsung berasal dari rakyat tanpa perantara.
Politisi sekaligus anggota DPR dari partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia juga menyatakan lebih baik dicarikan solusi untuk pilkada yang lebih efisien secara pembiayaan.
“Kalau ada hal-hal yang kita lihat berlebihan, bermewah-mewah misalnya, itu kita pangkas,” ujar Doli.
Di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, SBY pernah menyampaikan 10 perbaikan yang harus dilakukan untuk menjadikan pemilu langsung di Indonesia menjadi lebih baik.
“Pertanyaannya, 10 perbaikan itu kita laksanakan apa enggak? Jangan-jangan enggak. Kenapa semakin sekarang kita mengatakan (pemilu) makin brutal. Jadi sebelum loncat ke DPRD, yang 10 itu dikaji dulu, apa kelemahan-kelemahannya,” sebut Doli.
Yang menjadi penyakit di tengah masyarakat kita adalah biaya politik yang terkait dengan politik transaksional, pembelian suara, politik uang, dan sebagainya. Selain membuat biaya demokrasi membengkak, kebiasaan itu juga akan merusak moral bangsa secara perlahan.
Di luar dari semua itu, penghapusan pilkada langsung kemungkinan besar akan mendapat penolakan dari rakyat yang beberapa waktu ini sudah terbiasa menikmati haknya untuk memilih pemimpin secara langsung.
“Rakyat ini kan sudah terbiasa dengan dia melakukan pemilihan langsung, dia sudah terbiasa menunjukkan kedaulatannya. Enggak mudah juga loh kadang-kadang kita ngambil orang yang sudah terbiasa menikmati, akan serta-merta menerima kalau terjadi perubahan itu,” ujar Doli.
Leave a Reply