Mimpi Mewujudkan Demokrasi Substansial

Pengantar: Tulisan telah dimuat di Harian Kompas/Kompas.id 12 dan 13 Desember 2024. Tulisan Kurnia Yunita Rahayu didasarkan pada diskusi buku Mimpi tentang Indonesia 2 di Kompas Institute, Kamis 12 Desember 2024 dengan narasumber: Prof Dr Komaruddin Hidayat, Prof Dr Ery Seda, dan Ketua Yayasan Harkat Negeri, Sudirman Said. Demikian laporannya.

JAKARTA, KOMPAS — Dua dekade menjelang 100 tahun kemerdekaan, cita-cita penyelenggaraan negara berdasarkan demokrasi substansial masih jauh dari harapan. Kendati demokratisasi telah dimulai sejak 1998, masih diperlukan perbaikan secara menyeluruh. Perbaikan itu tidak hanya pada sistem bernegara, tetapi juga dalam menciptakan aktor-aktor yang berkomitmen penuh pada demokrasi.

Apalagi, selama 10 tahun terakhir, sendi demokrasi pada berbagai lini diperlemah. Akibatnya, fungsi kontrol terhadap pemerintah tidak bisa berlangsung secara optimal. Lebih dari itu, negara pun disinyalir dikuasai segelintir elite yang berorientasi pada kepentingan pribadi atau kelompok, bukan kemaslahatan masyarakat.

“Kalau ada pembelajaran tentang proses reformasi, ternyata reformasi saja itu tidak cukup. Buktinya (sekarang) kembali full circle (lingkaran elite sebelum Reformasi 1998). Jadi, kalau mau ada reformasi betul-betul dalam konteks sistem dan orang, reformasi tidak boleh tanggung-tanggung. Saya sebut saja reformasi yang radikal,” kata Francisia Saveria Sika Ery Seda dalam diskusi dan peluncuran buku Mimpi tentang Indonesia 2 karya wartawan senior Budiman Tanuredjo yang juga Host Satu Meja The Forum, di Kompas Institute, Jakarta, Kamis (12/12/2024).

Suasana diskusi dan peluncuran buku “Mimpi tentang Indonesia 2”.

Ery Seda yang merupakan Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia itu melanjutkan, tanpa perubahan radikal pada aktor-aktor penyelenggara negara, perubahan sistem yang dilakukan sejak 25 tahun lalu tidak akan mencapai hasil yang optimal. Orang-orang yang tidak berkomitmen pada demokrasi cenderung akan merusak sistem yang telah dibuat. Oleh karena itu, perubahan pada lini aktor penyelenggara negara saat ini semestinya lebih diprioritaskan agar terjadi keseimbangan antara perbaikan struktur dan aktor dalam proses demokratisasi.

Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, yang turut hadir dalam diskusi itu, juga melihat ada permasalahan mendasar dalam demokratisasi Indonesia. Menurut dia, dalam 10 tahun terakhir terjadi pelemahan infrastruktur lunak demokrasi. Hampir semua lembaga yang bisa menjadi alat kontrol terhadap kinerja pemerintah dilemahkan dengan pemusatan kendali di tangan presiden.

“Hukum dihancurkan, aparat dihancurkan, seluruh instrumen kontrol dihancurkan. Teman-teman masyarakat sipil, kampus, partai politik, Parlemen, sampai BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Ujung-ujungnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dihancurkan juga. Jadi, orang lupa konstitusi maknanya apa, orang lupa bahwa polisi itu tugasnya melayani dan melindungi, orang lupa bahwa pengadilan itu memberikan rasa adil,” kata Sudirman.

Buku “Mimpi tentang Indonesia 2”.

Cendekiawan yang juga mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, melihat, persoalan dalam demokratisasi juga terjadi lantaran negara dikuasai oleh sekelompok elite. Kelompok kecil yang terdiri dari politisi dan pengusaha itu menikmati kekuasaan dan keuangan negara, kemudian membangun jejaring untuk mempertahankan itu semua demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Kendati kekuasaan yang didapat berasal dari proses demokrasi yang didukung oleh rakyat, kemaslahatan masyarakat justru bukan orientasi mereka. Masyarakat justru menjadi obyek untuk mempertahankan kekuasaan dan keuntungan yang didapatkan. “Jadi, bangsa itu tersandera, yang menyandera siapa? Ya, elitenya sendiri. Partai politik yang semestinya menjadi sumber aspirasi juga tersumbat oleh para elite ini,” kata Komaruddin.

Dalam konteks itu, Komaruddin meyakini bahwa masyarakat sipil masih memiliki kekuatan untuk membebaskan diri dari situasi yang menyandera mereka. Apalagi, sebagian masyarakat bernaung dalam wadah besar yang terkoneksi di dunia maya atau karena kesamaan profesi. Kumpulan-kumpulan masyarakat itu bisa menjadi kekuatan besar saat mendapatkan momentum dan isu yang tepat.

Ery menambahkan, idealnya gerakan sosial memang akan menjadi jalan keluar di tengah kemerosotan demokrasi. Pada Agustus 2024, masyarakat membuktikan bahwa protes publik bisa membatalkan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang melanggar prinsip demokrasi. Akan tetapi, gerakan sosial tidak bisa diharapkan untuk muncul hanya setiap masalah terjadi, tetapi harus dirawat secara terus- menerus.

Sama halnya dengan Komaruddin dan Ery, Sudirman juga melihat pentingnya konsolidasi masyarakat sipil. Namun, tak berhenti di situ, menurut dia, kesadaran akan hakikat cabang-cabang kekuasaan negara juga harus diperkuat, salah satunya dengan cara mengamendemen konstitusi dan mengembalikan ke naskah asli UUD 1945. “Kita harus terus mendorong konsolidasi masyarakat sipil,” kata Sudirman.

Mimpi Indonesia

Cita-cita mewujudkan demokrasi substansial merupakan salah satu harapan yang terekam dalam buku Mimpi tentang Indonesia 2. Dalam buku kedua yang merupakan alih wahana dari siniarnya, Budiman Tanuredjo membaca pola impian tentang Indonesia menjelang usia 100 tahun pada 2045 mendatang. Impian dimaksud disarikan dari gagasan 138 tokoh yang ia wawancarai dalam beberapa waktu terakhir.

Adapun buku Mimpi tentang Indonesia 2 itu berisi gagasan dari sembilan tokoh dari berbagai latar belakang. Mereka, antara lain, Mahfud MD, Andar Wibowo, Jaleswari Pramodhawardhani, Ilham Akbar Habibie, dan Hermawi Taslim. Selain itu ada pula Andrinof Achir Chaniago, Melki Laka Lena, Amien Sunaryadi, dan Jimly Asshiddiqie.

Para tamu juga peserta diskusi yang hadir ke tempat peluncuran buku.

Menurut Budiman, ada beberapa impian yang dimiliki hampir semua elemen masyarakat, dari mimpi soal kebinekaan, ketuhanan, kegotongroyongan, kebebasan, dan kemanusiaan. Selain itu, masyarakat juga memimpikan persatuan, keadilan, kesetaraan, kesejahteraan, dan demokrasi.

Dalam konteks demokrasi, kata Budiman, Indonesia selama ini juga masih terhegemoni oleh berbagai teori Barat untuk menjelaskan berbagai fenomena dan tren yang terjadi. Padahal, masyarakat sebenarnya juga memiliki konsep-konsep lokal yang bisa jadi lebih tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi sekaligus suasana kebatinan bangsa, contohnya tintrim. ”Tintrim ini suasana kebatinan yang (menggambarkan) ada optimisme, di tengah kecemasan, kekhawatiran, ketidakpastian,” ujarnya.

Ia menambahkan, mimpi mengenai Indonesia yang akan menuju usia ke-100 tahun perlu diperjelas. Selama ini, negara hanya mendengungkan jargon-jargon Indonesia Emas pada tahun 2045 tanpa memiliki definisi yang pasti mengenai hal itu. Akibatnya, mimpi atau cita-cita Indonesia hanya menjadi sekadar mitos. Padahal, Indonesia dan masyarakatnya memiliki bekal untuk merumuskan sekaligus menggapainya. ”Mimpi Indonesia ini hanyalah sebagai provokator awal agar kita bisa pikir betul soal nation state, negara bangsa ini,” kata Budiman. ***


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *