“…kita mendorong sahabat kita, ZR ini, Zarof Ricar ini, dia tampil untuk membongkar kegelapan saat ini,”
– Saor Siagian, Advokat
Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar mengaku telah menerima uang hasil mengurus perkara selama 10 tahun ia bekerja di MA. Pengakuan itu disampaikan Zarof setelah penyidik Kejaksaan Agung menggeledah rumahnya dan menemukan uang tunai juga emas 51 kg senilai Rp1 triliun.
Meski jelas bersalah dan kasusnya mencoreng wajah penegakan hukum di Indonesia, Zarof masih bisa memberikan sumbangsih positifnya bagi negara dengan menjadi whistle blower. Dia bisa membuka siapa saja orang-orang di lembaga hukum yang selama ini juga terlibat atau bahkan ikut menikmati uang-uang haram hasil makelar kasus.
Saor Situmorang, advokat yang menjadi inisiator Tim Advokat Penegak Hukum dan Keadilan (Tampak) menyebut menjadi whistle blower atau justice collaborator adalah hal ideal yang bisa dilakukan Zarof Ricar setelah semua kesalahan yang ia lakukan.
“Itu menurut saya ideal, melalui diskusi kita ini kita mendorong sahabat kita, ZR ini, Zarof Ricar ini, dia tampil untuk membongkar kegelapan saat ini,” kata Saor dalam wawancara bersama Budiman Tanuredjo untuk podcast Back to BDM.
Saor membayangkan, jika peran itu benar-benar dipilih dan dijalani oleh Zarof Ricar, ia akan menyelamatkan Mahkamah Agung juga sendi-sendi negara hukum Indonesia yang sempat ia rusak. Tak hanya itu, ia juga bisa menjelaskan kepada publik, mengapa suap-suap ia terima, mengapa jual beli perkara ia lakukan.
Dengan menjadi whistle blower, ZR harus mengakui dan membuka semua hal yang ia tahu terkait aliran dana hasil jual beli perkara di MA. Dari mana uang-uang itu berasal, kemana saja uang-uang itu mengalir, dan siapa saja yang ikut menikmatinya, semua harus dipaparkan.
Dengan demikian, akan terbongkar sindikat mafia hukum yang ada di tubuh MA, di tubuh lembaga peradilan tertinggi di Indonesia.
Jika benar jalan whistle blower akan ZR tempuh, maka konstruksinya ia harus membuat pengakuan kepada Jaksa Agung untuk selanjutnya Kejaksaan lakukan penyidikan.
“Tetapi Jaksa Agung tidak boleh bermain, dia mengaku apa tidak ini enggak boleh lagi setengah-setengah. Jaksa Agung dengan segala aparat dia harus tuntas membongkar, bagaimana modus kemudian kejahatan atau uang ini berada,” ujar dia.
Momentum bersih-bersih MA, nampaknya sudah tiba. Kasus ZR ini bisa menjadi pintu masuk untuk membenahi MA yang mungkin di dalamnya sudah koyak. Momentum ini didukung dengan posisi Ketua MA sekarang yang dijabat oleh Prof Sunarto.
“Ketua Mahkamah Agung yang sekarang, saya dengar dia relatif baik dari beberapa. Saya pikir ini saatnya dimana Presiden telah punya komitmen yang kuat untuk bersih-bersih, kemudian dia (Prof. Sunarto) garda terakhir, benteng terakhir pengadilan, kemudian juga komitmen dan ikut membantu bahkan membujuk Zarov Ricar supaya terbuka,” ujar Saor.
Meski sudah bersalah, namun menurutnya publik akan tetap memberikan apresiasi kepada ZR jika ia mau berkontribusi membuka “borok” yang belum terbuka. Saat ini Zarof sudah mengakui uang-uang itu ia dapat selama 10 tahun terakhir, terlepas dari benar atau tidaknya. Namun, ia bisa melakukan pengakuan yang lebih jauh. Misalnya dengan membuka dari mana dan ke mana saja uang itu mengalir.
“Tetapi kita Ingatkan juga, Pak Narto Anda lebih jahat kalau sampai Anda ikut-ikutan menutup-nutupi. Pak Presiden mengatakan, ‘kemarin saya sudah bilang kepada menteri-menteri supaya Anda menjaga, kalau tidak, out.’ Ya saya juga berhak mengatakan, saya bagian daripada Mahkam Agung, kalau memang seperti itu mendingan Pak Narto juga give up, saya tidak sanggup,” sebut advokat 62 tahun itu.
Presiden Prabowo memang berulang-kali menyampaikan dalam pidato-pidatonya ia bertekad untuk melibas koruptor. Dari retorika yang disampaikan, Presiden begitu terlihat ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara menghilangkan korupsi-korupsi di Kementerian juga lembaga negara.
Indonesia Negara Gagal?
Hukum yang tidak bisa ditegakkan merupakan salah satu penanda gagalnya sebuah negara. Dengan hukum yang rusak, keadilan akan jauh dari harapan. Itu berlaku bagi internal warga negara, sementara bagi pihak asing? Mereka akan berpikir ulang dan tidak yakin untuk berinvestasi menanamkan modalnya di Indonesia. Mengapa? Karena tidak ada kepastian hukum.
Setidaknya itu pandangan Saor Siagian melihat kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini, terlebih dengan mencuatnya kasus ZR.
“Saya bicara dengan beberapa Profesor, kalau ini kita enggak selesaikan. kita bukan tidak mungkin (masuk) kepada negara gagal karena hukum,” kata Saor.
Kondisi perekonomian yang sulit, daya beli yang melemah, menurut Saor tidak hanya karena banyak uang negara yang bocor ke tangan koruptor, tapi juga karena tidak adanya kepastian hukum, hukum yang amburadul yang menyebabkan investor enggan masuk meletakkan modalnya di Indonesia.
“Memang kondisi hukum kita enggak bisa dipercaya, investor juga mikir untuk menanamkan uangnya di Indonesia,” sebutnya.
Dalam beberapa kasus yang melibatkan penegak hukum di Indonsia, ada kecenderungan praktik solidaritas yang mengatasnamakan korps profesi atau kelompok. Misalnya polisi melindungi polisi lain yang terlibat kasus, jaksa melindungi jaksa berperkara, hakim melindungi hakim bermasalah, dan sebagainya.
Praktik-praktik macam Inilah yang diharapkan tidak terus dipelihara. Siapa berbuat salah harus diadili. Profesi tidak bisa menjadi tameng untuk seseorang yang bersalah lolos dari jerat hukum. Solidaritas korps harus dimaknai sesuai dengan urgensinya.
“Solidaritas karena apa? Bukan membenarkan perbuatan yang curang, perbuatan yang salah, tetapi ketika dia punya niat baik menjalankan profesi kemudian dikriminalisasi. Solidaritas itulah makna bicara soal korps, bukan (melindungi) semua tindakannya, apakah tindakannya menggemplang atau merampok, korupsi, bukan itu saya kira bicara korps,” jelas Saor.
Potensi Indonesia menjadi negara gagal begitu terbuka. Bahkan bukan lagi potensi, Saor justru berani mengatakan saat ini Indonesia sudah menjadi negara gagal.
“Makna gagal menurut saya, kita sudah gagal sebagai negara hukum. Kalau kita enggak serius, kita enggak menunggu besok lagi (untuk disebut gagal), (sekarang) sudah gagal,” kata Saor.
Ia menjelaskan, penyakit di peradilan kita bukan hanya menjangkit di pengadilan-pengadilan tingkat bawah, tapi sudah sampai ke pengadilan tertinggi, Mahkamah Agung.
Jika MA sebagai sendi terakhir peradilan Indonesia sudah rusak, lantas kemana lagi warga negara yang bersengketa harus menyandarkan perkaranya dan mengharap keadilan datang memihak kepadanya?
“Ktika warga negara bersengketa, ketika warga negara merasa tidak adil, dia tidak pantas dibawa ke pastor, dia tidak dibawa ke kiai, tapi satu-satunya instrumen yang kita miliki adalah ke pengadilan. Pengadilan kita sudah gagal,” sebut Saor.
Gagal bukan hanya kasus Zarof Ricar, tapi juga kasus-kasus mafia peradilan yang sudah terjadi sebelumnya.
“Ada beberapa Hakim Agung sebelumnya, ada Sekretaris Mahkam Agung. Sekretaris Mahkamah Agung adalah manajer daripada Mahkamah Agung, dia yang mengurusi dari A sampai Z kemudian tidak lagi punya nurani. Terus kita bilang ini masih normal? Kenapa kita malu-malu mengatakan kita sudah negara gagal? Paling tidak bagi saya (Indonesia) sudah (gagal),” pungkasnya.
Leave a Reply