Mencari “Pemain Pengganti” Romo Benny Susetyo

Budiman Tanuredjo

Kapel Kolese Kanisius, Kamis sore, 14 November 2024 tak seperti biasa. Di sana digelar Misa memperingati 40 hari meninggalnya Romo Antonius Benny Susetyo Pr, staf khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Romo Benny meninggal 5 Oktober 2024 di Pontianak, Kalimantan Barat. Lima imam memimpin misa. Mereka adalah Romo Ismartono SJ sebagai konselebran utama didampingi Romo Padmosaputro SJ, Romo Mudji Sutrisno SJ, Romo BS Mardiatmadja SJ, dan Romo Simon Lili Tjahjadi.

Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo bersama sejumlah uskup, pastur dan awam hadir. Romo Ismartono dalam khobatnya menampilkan foto Romo Benny yang memar, terluka dan kotor. Kemudian Romo Ismartono, mengutip Paus Fransiskus,”…saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan.”

Suasana Kapel Kolese Kanisius saat pelaksanaan Misa 40 Hari Berpulangnya Romo Benny.

Misa digagas Andreas Edi Susetyo, kakak kandung Romo Benny dan para sahabat Romo Benny, di antarnya Sukardi Rinakit dan Garin Nugroho. “Perayaan 40 hari adalah permintaan dari sahabat Romo Benny. Romo Benny telah menjadi milik bangsa ini,” ujar Andreas, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan.

Usai misa, di tempat berbeda, digelar Dongeng Kebangsaaan dengan “aktor” utama Garin Nugroho, Sukardi Rinakit, Edo Kondologit, Jubing Kristanto. Keluasan pergaulan Romo Benny dan juga Andreas tampak dari banyaknya sahabat Romo Benny yang hadir. Ada Mahendra Siregar (Ketua OJK), Frederica Widyasari (OJK), Wakil Ketua Dewan Pengarah BPIP Wisnu Bawa Tenaya, Sudhamek, Direktur BRI Sunarso, hakim konstitusi Arif Hidayat, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid, Ketua Dewan Pembina Setara Insititut Hendardi, Utut Adianto, Andreas Hugo Pareira, Yunarto Wijaya, mantan anggota Komnas HAM Sandra Moniaga dan Beka Ulung Hapsara.

Santap malam berupa soto bangkong Semarang, sego liwet Solo, bakso Malang dan es puter menjadikan hall yang terletak di SMA Kolose Kanisius itu begitu sesak. Garin Nugroho yang memandu acara melihat Romo Benny sebagai sosok rohaniwan yang memegang teguh Pancasila di antara keberanian tapi juga sekaligus kenaifan.

Hendardi dalam dongeng kebangsaan yang diadakan usai Misa peringatan 40 hari Romo Benny.

Gerakan tanpa bola Romo Benny, menurut Hendardi, susah diikuti banyak orang. “Bajunya begitu banyak. Kadang ia mengunakan baju Setara Institute. Kadang ia memakai baju BPIP. Kadang ia mengenakan baju sebagai aktivis. Tapi kadang ia menggunakan baju sebagai rohaniawan,” ujar Hendardi.

Gerakan tanpa bola Romo Benny, juga diakui koleganya Romo Simon Lili Tjahjadi. Kadang berada di tengah unjuk rasa di Mahkamah Konstitusi (MK), tiba-tiba sudah berada di Gedung KPU. Malam hari sudah berada di Mabes Polri untuk menuntut pembebasan mahasiswa yang ditangkap aparat kepolisian.

Suasana kegamangan terhadap situasi negeri tercermin dalam dongeng kebangsaan. Garin menyebut ketika elite politik tampak bernyanyi dan berjoget, padahal mereka sedang menghindari masalah. Ketika meme di media sosial tampak riuh rendah, menurut sineas Garin, menandakan ada sesuatu yang sedang ditutupi.

Garin Nugroho dalam dongeng kebangsaan yang diadakan usai Misa peringatan 40 hari Romo Benny.

Garin mengutarakan sejumlah elite politik seperti tak punya hati terhadap nasib bangsa ini. Sangat jauh dibandingkan pada masa kemerdekaan. Ada sosok Sukarno, Hatta, Supomo, Tjokroaminoto. Justru di zaman yang katanya modern itu, yang muncul adalah orang-orang kerdil. “Orang-orang humaniora hilang dalam konfigurasi elite, ” ucap Garin Nugroho.

Kegamangan terhadap nasib negeri ini juga disuarakan hakim konstitusi Arief Hidayat. Ia sungguh cemas dengan perkembangan negeri ke depan. Ibu pertiwi sudah tua 79 tahun. Sejarah memberikan pola Revolusi Indonesia 1945, 1965, dan 1998. Banyak rakyat menjadi korban. “Semoga kali ini tidak terjadi lagi.”

Kegamangan terhadap nasib bangsa, saya kerap menyebutnya sebagai “tintrim” memang terasa. “Tintrim” adalah suasana campur aduk antara optimis tapi juga pesimis. Ada harapan, tapi juga ada kecemasan. Ada kepastian tapi banyak juga ketidakpastian. Ada kecemasan, tapi juga menaruh harapan.

Suasana “tintrim” makin terasa ketika pada tataran praksis, Sumarsih masih menuntut keadilan kematiaan putranya, Norma Imawan di depan Istana untuk memperingati 26 tahun Tragedi Semanggi, Kamis 14 November 2024. Keadilan sudah diperjuangkan, tapi keadilan terasa masih jauh, kendati kekuasaan terus berganti. Namun bagi Menteri Kabinet Merah Putih, “Tragedi Trisakti-Semanggi bukanlah pelanggaran HAM berat”.

Unjuk rasa Kamisan ke-840 tetap berlangsung di depan Istana Negara. Tak ada pejabat yang bertanggung jawab untuk mencoba menyelesaikan masalah kasus pelanggaran HAM masa lalu. Padahal, Presiden Prabowo Subianto telah membentuk Kementerian HAM dikomandoi Natalius Pigai dan Wakil Menteri HAM Mugiyanto. The Jakarta Post menulis, Semanggi Shooting remain unresolved 26 years later dengan foto di halaman muka. Harian Kompas memasang satu foto di halaman 15.

Suasana “tintrim” makin kelam ketika bekas Pejabat MA Zarof Ricar bisa mengumpulkan uang Rp1 triliun dam 51 kilogram emas murni di rumahnya dari hasil jualan perkara. Putusan hakim yang selalu diawali dengan irah-irah, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” telah digeser menjadi keuangan yang maha kuasa. Money can buy everything. Dan, kelas menengah tercerahkan seperti hanya menonton saja, penegakan hukum terpimpin yang sedang dipentaskan. Suasana “tinrim” dan trenyuh melihat bagaimana judi online ternyata sebagian diawaki orang dalam pemerintahan.

Litani “ketintriman” negeri tak perlu diperpanjang yang mungkin membuat kita pesimis menyongsong Indonesia Emas 17 Agustus 2045. Kepergian Romo Benny meninggalkan kekosongan di kalangan masyarakat sipil, termasuk kalangan agamawan. Romo Benny dengan segala keterbatasan posisinya – di antara altar dan pasar – telah menjadi connector dot. Ia telah menjadi penghubung di antara aktor-aktor masyarakat sipil yang berserakan. Aktor masyarakat sipil dengan egonya masing-masing membutuhkan “payung” penghubung untuk menjadikan creative minority berkembang menjadi creative mayority. Dengan segala keterbatasannya, Romo Benny berteriak soal pelanggaran hak asasi manusia, berteriak soal korupsi yang merajelala, berteriak soal pelemahan KPK, berteriak soal kehancuran lingkungan hidup.

Suara itu kini mulai sepi.

Magnet kekuasaan lebih menarik daripada perjuangan di jalan-jalan. Itu dirasakan sejumlah aktivis yang kini dibajunya terpasang lencana sebagai pejabat negara.

Romo Benny Susetyo, in paradisum deducant te Angeli…

Sahabat Romo Benny yang mengikuti Misa peringatan 40 hari Romo Benny.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *