Pragmatisme, Akar Masalah Hukum di Indonesia

“Dengan tarif semacam itu apakah bisa yang bersangkutan tetap konsisten apabila ada pesanan untuk misalnya mengabaikan (kebenaran), prinsip-prinsip asas doktrin hukum yang seharusnya mereka tegakkan,”

– Binziad Kadafi, Anggota Komisi Yudisial

Sebagai negara hukum, Indonesia menjunjung tinggi aturan hukum untuk menjaga ketertiban proses berbangsa dan bernegara. Namun, menegakkan hukum tidak semudah retorika. Ada banyak ganjalan permasalahan yang melanda negeri ini sehingga hukum masih menjadi sesuatu yang perlu mendapat banyak sentuhan perbaikan.

Sebagai seorang ahli hukum, Binziad Kadafi menyebut akar permasalahan hukum di Indonesia adalah soal pragmatisme. “Pragmatisme. Dan di dalam pembentukan, maupun penegakan, serta praktik hukum di Indonesia itu sangat mengemuka,” kata Dafi saat berbincang di podcast Back to BDM bersama Budiman Tanuredjo.

Pragmatisme sendiri dapat diartikan sebagai cara pikir praktis, melihat sebab-akibat untuk tujuan praktis, dan melakukan segala sesuatu berdasarkan kepentingan yang bisa diperoleh.

Dafi yang saat ini juga aktif sebagai anggota Komisi Yudisial (KY), menyebut pragmatisme itu dilakukan oleh berbagai kalangan di lingkup penegakan hukum, mulai dari advokat, jaksa, akademisi yang menjadi saksi di peradilan, hingga hakim.

“Kalangan advokat dengan misalnya selalu membuka peluang untuk menghidupkan terus perkara, jadi perkara yang sebenarnya enggak ada dasarnya tetapi diajukan saja. Tujuannya itu adalah membuka peluang supaya syukur-syukur mungkin di level tertentu hakimnya jadi teledor dan memutus sesuatu yang menguntungkan mereka atau membuka pintu-pintu untuk dilakukannya transaksi,” ungkap Dafi.

Anggota Komisi Yudisial Binziad Kadafi dalam Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.

Kemudian jaksa banyak mengajukan Peninjauan Kembali (PK) untuk kasus-kasus yang sesungguhnya tidak termasuk dalam kriteria perkara yang perlu diajukan PK oleh jaksa. Dafi menjelaskan, jaksa memang diperbolehkan mengajukan PK untuk suatu perkara, namun dengan kriteria-kriteria yang sangat ketat. Kriteria itu misalnya  suatu perkara harus mengandung kepentingan publik yang kuat.

“Tapi itu banyak diabaikan juga. Banyak PK yang diajukan oleh jaksa yang sebenarnya perkara ibaratnya tidak sumir, mungkin berasal dari awalnya itu semata-mata sengketa perdata,” ujar pria kelahiran Jakarta, 11 September 1975 itu.

Selanjutnya kalangan akademisi yang juga kerap terjebak pragmatisme dalam konteks di lingkup hukum. Mereka kerap kali terlibat dalam penanganan perkara dengan menjadi saksi ahli yang mengabaikan asas doktrin yang semestinya mereka jaga. Dengan kata lain, para akademisi atau ahli ini tidak lagi memilah-milih perkara mana yang sebenarnya tepat atau perlu mereka terlibat untuk memberikan keterangan ilmiah demi lancarnya proses pembuktian di persidangan.

“Seharusnya merekalah jadi sumber nilai, orang-orang yang kemudian selalu mengingatkan kita-kita yang ada di dunia praktik untuk selalu ketat menjaga prinsip asas doktrin,” kata Dafi.

Terakhir adalah kalangan hakim. Di lingkungan yang dipenuhi dengan pihak-pihak pragmatis, secara otomatis hakim juga akan terikut arus pikiran tersebut.

“Hakim kita dengan para pelaku peradilan yang pragmatis ini mereka juga sulit untuk tidak ikut pragmatis,” sebut peraih gelar master hukum (LL.M.) dari University of Washington School of Law, Amerika Serikat itu.

Pragmatisme di dunia hukum ini bisa dilihat dari banyaknya pihak berperkara yang menggunakan uang-uang pelicin untuk memenangkan dirinya di persidangan. Dan upaya itu berhasil. Tidak sedikit hakim yang mengesampingkan integritasnya ketika disodorkan suap dalam berbagai bentuk.

Dalam perbincangan bersama Dafi, Budiman Tanuredjo membeberkan fakta yang baru saja ia terima dari seorang ahli hukum. Ahli tersebut mengeluhkan kecilnya uang yang disediakan oleh negara ketika seorang ahli berhasil membuktikan suatu tindak pidana, besarannya hanya Rp1,7 juta.

Sementara itu, jika ia berada di pihak terdakwa atau pihak yang berperkara, honor yang ditawarkan bisa mencapai Rp400 juta. Perbedaan yang sangat signifikan. Fakta ini membuat kepentingan pragmatisme menang dan melunturkan aspek keahlian para ahli tersebut. Dafi membenarkan hal tersebut, bahkan ia menyebut fakta itu adalah sesuatu yang sudah sangat umum dan marak terjadi.

“Dengan tarif semacam itu apakah bisa yang bersangkutan tetap konsisten apabila ada pesanan untuk misalnya mengabaikan (kebenaran), prinsip-prinsip asas doktrin hukum yang seharusnya mereka tegakkan,” ujar dia.

Dengan demikian, dunia hukum di Indonesia masih dimenangkan oleh mereka pihak-pihak yang memiliki kapital besar, sekalipun mereka ada di pihak yang salah.

“Pada akhirnya pragmatisme itu hanya bisa dilawan kalau menurut saya dengan penyepakatan etika, internalisasi etika di semua kalangan termasuk juga pada akhirnya penegakan,” pungkas Dafi.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *