“Kalau kita lihat misalkan kiblatnya Amerika Serikat, mana mau Donald Trump jadi Menteri Pertahanan misalnya. Sedangkan Indonesia kan bisa seorang Prabowo Subianto ini kalah di pemilu 2019 lalu masuk kabinet menjadi Menteri Pertahanan, lalu dapat konsesi, dapat jalan yang baik menjadi presiden hari ini,”
– Peneliti CSIS, Nicky Fahrizal
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, ternyata Indonesia memiliki corak demokrasi yang sedikit banyak berbeda dengan demokrasi yang diterapkan di negara-negara barat.
Jika pada umumnya negara demokrasi memiliki dikotomi koalisi dan oposisi yang tegas, pemenang pemilu akan menjadi penguasa, pihak yang kalah akan berada di luar sebagai penyeimbang, maka tidak dengan Indonesia.
Di negeri ini, siapapun bisa masuk dalam lingkar kekuasaan, termasuk mereka yang kalah dalam pemilihan umum. Misalnya dalam konteks Pemilu 2024, PKS dan PKB yang sebelumnya berseberangan dengan Koalisi Indonesia Maju pengusung Prabowo-Gibran, kini justru merapat dan masuk dalam barisan pemerintahan di Kabinet.
Selain menyeberanng ke pihak pemenang, ada pula model lain posisi politik dalam demokrasi Indonesia, yakni mendukung pemerintahan tanpa masuk ke dalam koalisinya. Ini seperti halnya posisi yang diambil oleh Partai Nasdem dan PDIP, setidaknya hingga hari ini.
Dalam Kabinet Merah Putih yang sudah dilantik Presiden Prabowo 21 OKtober lalu, tidak ada satu pun menteri atau wakil menteri yang datang dari kedua partai politik itu.
Terkait dengan hal itu, Peneliti Sosial dan Politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal melihat bahwa partai-partai politik itu tengah menunggu momentum yang tepat.
“Sisi yang pertama itu menunggu momentum apabila terjadi politik transaksional dan itu menguntungkan ya kami bisa masuk. Sisi yang kedua, mereka juga menunggu momentum apakah mereka siap menjadi oposisi, menjadi kelompok yang siap memberikan suara-suara kritis terhadap jalannya pemerintahan Presiden Prabowo,” kata Nicky ketika berbicara dalam siniar Back to BDM bersama Budiman Tanuredjo.
Dua sisi ini tengah dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan cermat, baik oleh Nasdem maupun PDIP.
Perlu Teori Baru Jelaskan Politik Indonesia
Praktik demokrasi di Indonesia selalu dianggap tidak sama sebagaimana praktik demokrasi di negara-negara barat, khususnya Amerika Serikat yang banyak dijadikan kiblat negara demokrasi.
Indonesia memiliki corak demokrasi yang unik. Mungkin bisa juga disebut sebagai anomali. Salah satunya soal posisi politik dimana pihak kalah bisa masuk ke dalam rombongan kekuasaan dan sebagainya.
Masyarakat mungkin dibuat bingung dengan fakta itu, mereka disuguhi ide-ide yang beragam ketika masa kampanye, gagasan-gagasan yang saling berhadap-hadapan satu sama lain, bahkan cukup keras perbedaan itu ditampilkan. Namun, pada akhirnya semua melebur menjadi satu dalam manisnya kekuasaan.
Apa gunanya ketersediaan opsi dalam pemilu? Toh ujung-ujungnya semua menjadi satu. Bagian dari kubu yang mengusung suara perubahan, kini justru masuk dan mendukung kubu yang menggaungkan keberlanjutan. Itu salah satu contoh saja.
Oleh karena itu, Budiman Tanuredjo mengajukan gagasan untuk melegalkan saja praktik semacam itu dengan cara membuat aturan hukumnya. Tiap peserta pemilu akan mendapat jatah posisi sesuai dengan peringkatnya.
BDM mencontohkan, pemenang mendapat posisi presiden dan wakil presiden. Posisi kedua mendapatkan beberapa posisi menteri koordinator. Posisi ketiga dijatah untuk menduduki sekian kursi menteri, dan seterusnya.
Jadi semua sudah dibagi sejak awal, masyarakat pun akan melalui masa pemilu tanpa perlu melibatkan emosi berlebih, mereka tidak akan dibuat kecewa dengan fakta-fakta politik yang terjadi kemudian.
“Kalau misalkan memang politik yang begitu anomali di Indonesia dan logika itu masuk akal dengan keanomaliannya, bisa jadi itu (pengaturan pembagian posisi peserta pemilu),” jawab Nicky menanggapi ide BDM.
“Mungkin cara-cara yang out of the box in bisa mengatasi problematik politik Indonesia, mungkin,” imbuhnya.
Nicky mencoba membayangkan praktik politik di Amerika Serikat. Ketika Donald Trump kalah dari Joe Biden di Pemilu 2020, nampaknya mustahil Trump mau bergabung dalam kabinet Biden dan menjadi pembantunya. Namun hal yang mustahil itu menjadi mudah terjadi ketika berbicara politik Indonesia.
“Kalau kita lihat misalkan kiblatnya Amerika Serikat, mana mau Donald Trump jadi Menteri Pertahanan misalnya. Sedangkan Indonesia kan bisa seorang Prabowo Subianto ini kalah di pemilu 2019 lalu masuk kabinet menjadi Menteri Pertahanan, lalu dapat konsesi, dapat jalan yang baik menjadi presiden hari ini,” ujar Nicky.
Anomali yang lain adalah soal etika kerja di masa akhir kekuasaan. Di negara barat seorang pemimpin yang hampir purna tugas akan memasuki masa lameduck (bebek lumpuh), yang artinya pemimpin tidak bisa lagi mengambil keputusan-keputusan strategis di akhir waktu kepemimpinannya. Jika keputusan strategis tetap diambil seorang pemimpin yang hampir lengser, dikhawatirkan akan menyulitkan atau tidak sesuai dengan visi-misi pemimpin baru yang akan menjadi penerusnya.
Namun lagi-lagi hal itu tidak berlaku di Indonesia. Presiden Jokowi di masa-masa akhir kekuasaannya tetap meneken sejumlah kebijakan strategis, mulai dari reshuffle kabinet, mencopot kepala badan, menerbitkan peraturan presiden, dan lain sebagainya.
Meski penuh dengan anomali, namun Nicky melihat bagaimana praktik demokrasi Indonesia hari ini membuat konsolidasi kekuasaan bisa berlangsung secara baik. Stabilitas politik juga terjaga.
“Ya jangan-jangan memang ketahanan demokrasi kita dibangun lewat pemikiran-pemikiran anomali itu,” ujar Nicky.
Politik di Indonesia tidak bisa dianalisis menggunakan teori-teori politik dari barat. Jika itu dilakukan, maka yang ada adalah ketidaksesuaian dan tidak ketidakidealan. Indonesia memiliki corak dan cara tersendiri dalam menjalankan politiknya. Indonesian way.
Bisa jadi, suatu hari nanti akan ada teori tersendiri yang bisa menjelaskan secara tepat praktik politik di Indonesia.
Parpol mirip perusahaan
Soalan lain yang juga dibahas dalam podcast ini adalah tentang bagaimana partai politik di Indonesia dijalankan.
Melihat realitas politik hari ini, tak sedikit pihak yang menganggap partai politik adalah perusahaan pengerah politisi. Tugasnya adalah mencetak sebanyak-banyaknya kader untuk disebar di berbagai lembaga dan institusi politik, guna mendapatkan keuntungan bagi partainya.
Meski begitu, Nicky melihat ada satu perbedaan yang sangat kentara antara perusahaan dan partai politik.
“Perbedaannya, satu dipimpin oleh CEO yang bisa setiap RUPS itu diganti, satu lagi CEO-nya jarang-jarang bisa diganti, karena perusahaan keluarga,” demikian Nicky menyebut.
Budiman Tanuredjo menyebut apa yang dilakukan oleh partai politik dalam upaya menyebar sebanyak-banyaknya kader di berbagai lembaga negara, misalnya di DPRD, DPR, BPK, MK, dan sebagainya adalah hal yang mirip dengan teori korporatisme yang berlaku di perusahaan-perusahaan.
Hal itu diamini oleh Nicky. Ia menyebut keduanya tidak jauh berbeda, karena pada akhirnya sama-sama mencari keuntungan.
“Kira-kira kalau misalkan perusahaan kan lewat unit usahanya apa, kalau ini unit usahanya adalah bagaimana tetap terhubung dengan APBN, tetap terhubung dengan proyek-proyek strategis pemerintah atau negara. Itu kurang lebih seperti itu koor usahanya tapi cara mengelolanya hampir sama,” jelas Nicky.
Leave a Reply