“Pesan Paus yang saya lihat itu bukan mantra yang begitu disampaikan sekali jadi, tidak. Bagi saya itu baru bisa terjadi kalau masyarakat, orang-orang pun melakukan hal yang sama,”
Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3-6 September lalu disambut hangat oleh segenap lapisan masyarakat, bukan hanya pemerintah dan umat Katolik saja. Paus berkunjung dalam rangka melakukan perjalanan apostolik Asia-Pasifik yang tujuannya adalah Indonesia, Timor Leste, Papua Nugini, dan Singapura.
Meski hanya 4 hari, namun kehadiran Paus berhasil menarik perhatian banyak masyarakat di negara dengan mayoritas penduduk muslim ini.
Kehadiran Pemimpin Tertinggi Takhta Suci Vatikan di Indonesia tahun ini merupakan yang ketiga sepanjang sejarah. Sebelumnya, ada Paus Paulus VI berkunjung pada tahun 1970 dan Paus Yohanes Paulus II di tahun 1989. Setelah 35 tahun berselang, Paus kembali datang di tahun 2024.
Selain karena merupakan momen langka yang sangat bersejarah, perhatian publik terkumpul juga karena sosok dan pesan yang dibawa oleh Paus Fransiskus itu sendiri. Paus yang merupakan pemimpin tertinggi umat Katolik di dunia, hadir di Indonesia dengan segala bentuk kesederhanaannya.
Bonifasius Josie Susilo Hardianto, wartawan senior dari Harian Kompas berkesempatan meliput dan mengikuti perjalanan Paus mulai dari Roma hingga kembali ke Roma. Ia adalah 1 dari 3 wartawan Indonesia yang ikut dalam rombongan Paus.
Ia membagikan cerita tentang apa yang ia temui ada pada diri Paus selama 12 hari perjalanan bersama, dalam siniar Back to BDM di akun YouTube Budiman Tanuredjo.
Pilihan-Plihan Sederhana
Bukan rahasia lagi, keseharian Paus dipenuhi dengan kesederhanaan yang ditunjukkan dengan pilihan-pilihannya atas segala sesuatu yang ia gunakan. Misalnya mobil sebagai mobilitasnya selama melakukan lawatan di Indonesia dan di negara-negara lainnya.
Di Indonesia, Paus memilih menggunakan mobil Kijang Innova Zenix berwarna putih, dengan alasan itu adalah tipe mobil yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Sebelumnya Paus ditawari sejumlah mobil jenis lain, seperti Toyota Alpard dan Toyota Voxy, namun ia menolak karena dirasa terlalu mewah.
“Dari pertama kan ada banyak tawaran seperti di Jakarta itu dulu saya sempat dengar ditawari kendaraannya Bapak Kardinal, tapi tidak mau karena juga Alpard, segala macam itu tidak mau karena terlalu mewah,” kata Josie.
Tak hanya ketika di Indonesia, pilihan mobil sederhana juga Paus lakukan di negara-negara tujuan selanjutnya. Misalnya Toyota Race saat berada di Papua Nugini dan Toyota Sienta saat di Timor Leste.
Selain mobil, kesederhanaan Pais Fransiskus juga terlihat dari pilihan-pilihannya yang lain: jam tangan murah, memilih menginap di Kedutaan Besar Vatikan ketimbang hotel berbintang, menggunakan pesawat komersil, hingga tidak mengenakan salib emas dan sepatu merah yang menunjukkan kepausannya.
“Pilihan-pilihan itu sebenarnya pilihan spontan yang lahir dari sikap lepas bebas dia terhadap segala hal yang dimiliki, ya soal kekuasaan segala macam itu,” ujar Josie.
Laku sederhana Paus Fransiskus adalah pilihan yang memiliki alasan mendasar dan selalu ia terapkan di mana saja, bukan sesuatu yang ditujukan untuk membangun citra diri dan lain sebagainya.
Inilah yang perlu untuk ditiru oleh semua orang, sederhana dalam menentukan pilihan-pilihan.
Josie mengungkapkan, Paus memiliki kesadaran untuk meletakkan posisi kepausan dan kekuasaan yang ada di tangannya sekadar sebagai sarana untuk menyelamatkan jiwa-jiwa, bukan untuk dinikmati demi diri pribadi.
Paus Fransiskus memang dikenal sederhana dan dekat dengan kelompok miskin terpinggirkan. Itu adalah yang membedakannya dengan Paus-Paus sebelumnya.
Paus Yohanes Paulus II misalnya yang dikenal merakyat namun masih menyimpan nuansa kemegahan kepausan. Kemudian Paus Benediktus dikenal sebagai orang yang sangat terpelajar, seorang Profesor, ketat, dan sedikit lebih tertutup.
“Paus Fransiskus berbeda dari dua pendahulunya, beliau merakyat, benar-benar merakyat. Citra atau nuansa kepausan itu beliau bawa benar-benar ke bawah. Beliau kan selalu mengatakan memindahkan altar ke pasar,” ungkap Josie.
Keberpihakan pada Kaum Marginal
Paus Fransiskus ini dikenal sangat berpihak pada kelompok miskin, kalangan marginal. Josie dapat menunjukkan bukti konkret tentang itu berdasarkan pengalamannya pergi ke Vatikan.
Misalnya, ketika tahun 2012 ia mengunjungi negara yang dipimpin oleh Paus Fransiskus itu, Josie menemukan adanya patung kumpulan migran di alun-alun Santo Petrus yang diletakkan di era kepemimpinan Fransiskus.
“Sebenarnya itu (alun-alun Santo Petrus) adalah benda cagar budaya yang sebenarnya untuk mengubah itu rumit sekali, tetapi Paus meletakkan patung itu,” kata dia.
Satu hal lain yang lebih konkret menunjukkan keberpihakannya pada kelompok lemah adalah Paus membiarkan orang-orang yang tidak memiliki rumah, migran, dan sebagainya untuk berada di sekitar Vatikan.
Josie mengaku pada tahun 2012 hal itu belum ia temukan, tapi ketika kembali ke Vatikan kemarin dengan mudah ia bisa menemukan ada imigran di sana, dan itu dibiarkan oleh pemerintah.
“Itu ada di eranya Paus Fransiskus. Dibiarkan, memang mereka diberi tempat di situ. Ada beberapa imam yang mengatakan kepada saya beberapa kali Paus makan siang dengan mereka, makan pagi dengan mereka, dengan para homeless itu. Dan kadang-kadang menyediakan juga ada buah-buahan di salah satu sudut dan mereka bisa mengambil itu,” terang Editor Internasional Harian Kompas itu.
Berdasarkan cerita sopir di KBRI Vatikan, Marimin kepada Josie, pemerintah pun tidak bisa berbuat apapun ketika ada pengungsi datang ke negara mereka, karena Paus sebagai kepala negara yang menghendakinya. Mereka tidak akan mengusir pengungsi yang datang, karena Paus akan marah jika mengetahuinya.
“Jadi memang di sekitar Roma, di sekitar Vatikan itu kan kita akhirnya bertemu dengan banyak migran di sana. Mereka kalau di alun-alun Vatikan itu di alun-alun Santo Petrus itu kan banyak orang-orang migran di situ, berjualan, berkeliling juga, keliling-keliling mereka jual tas, kemudian benda-benda suci juga mereka jualan, itu di situ,” kisah Josie.
Itulah karakter yang dimiliki oleh seorang Jorge Mario Bergoglio, nama asli Paus Fransiskus, dan masih melekat padanya sampai saat ini.
Pesan-Pesan Paus Fransiskus
Dalam lawatannya kemarin, Paus tak hanya membawa pesan soal agama, soal kekatolikan saja, tidak. Ia sebagai tokoh moral juga menyampaikan sejumlah pesan terkait dengan hal lain. Mulai dari ekonomi, politik, hingga lingkungan.
Jika ada Kritik yang harus disampaikan, ia akan menyampaikannya dengan cara-cara yang halus.
Misalnya ketika di Papua Nugini Paus menyampaikan kritik soal banyaknya perusahaan asing di sektor pertambangan.
“Paus mengatakan bahwa sumber daya alam itu anugerah untuk semuanya. Boleh bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar itu, tetapi yang juga harus dipertimbangkan tentang kesejahteraan masyarakat, tentang bagi hasilnya, tentang pekerjaan mereka juga harus dapat dari situ,” Josie mencoba meniru apa yang disampaikan Paus.
Kritik itu disampaikan langsung di hadapan Gubernur Jenderal, para diplomat, dan pejabat sipil di Papua Nugini.
Pun ketika di Singapura, Paus menyisipkan Kritik di tengah pujiannya kepada negara itu yang dianggap menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi kawasan yang besar, kotanya penuh dengan gedung-gedung pencakar langit. Kemajuan itu mencitrakan kemajuan peradaban rakyat di Singapura.
Namun, Paus menekankan semua kemajuan itu tidak akan pernah ada tanpa keberadaan dan sumbangsih orang-orang tua dan juga kelompok buruh migran.
“Nuansa keadilan sosial itu diselipkan juga, artinya bukan hanya soal keberimbangan, tetapi saya melihat bahwa martabat setiap manusia itu oleh Paus sungguh diperhatikan di situ,” sebut Josie.
Di Indonesia sendiri, Paus menyampaikan sejumlah pesan penting seperti menjaga kekayaan alam, memupuk kerukunan, tidak memaksa untuk menyeragamkan perbedaan, dan lain sebagainya.
Menjaga dan Mengimplementasikan Pesan Paus
Bagi Josie, perjalanan apostoli Paus bukan dimulai ketika Paus datang ke suath negara, melainkam ketika Paus sudah kembali ke negaranya.
Perjalanan Paus telah menggugah hati dan pikiran banyak orang, sekarang tinggal apa yang akan kita lakukan setelah Paus berhasil menggugahnya. Diam dan melupakan tentu bukan pilihan bijak, mau atau tidak kita harus menjalankan pesan-pesan Paus.
Misalnya pesan Paus di Deklarasi Istiqlal soal dialog antar agama yang harus dipupuk agar menimbulkan rasa saling percaya dan menghargai satu sama lain.
Josie sempat bertanya tentang kelanjutan ini pada Romo Markus Solo Kewuta yang bekerja di Vatikan untuk bagian Relasi Katolik-Muslim wilayah Asia dan Pasifik.
Romo Markus menyebut ini adalah tantangan besar, jangan sampai deklarasi hanya berhenti pada deklarasi itu saja tanpa ada realisasi konkrit.
“Beliau rencananya mungkin nanti awal-awal tahun akan mengundang beberapa tokoh agama dari Indonesia untuk datang ke rumah, itu satu hal. Dan juga Kedubes Trias saya juga tanya bagaimana rencananya, beliau berencana kemungkinan akan menghubungi beberapa lembaga untuk memungkinkan beasiswa untuk pertukaran pelajar atau untuk mendalami ilmu-ilmu tertentu terkait dialog lintas agama,” jelas penerima Penghargaan Jurnisme Elizabeth O’Neill 2017 dari Pemerintah Australia ini.
Itu adalah salah satu wujud aksi nyata menindaklanjuti pesan-pesan yang disampaikan oleh Paus.
Sementara itu, pemerintah atau pemegang kekuasaan juga memiliki tanggung jawab untuk turut melaksanakan apa yang disampaikan Paus. Misalnya soal mewujudkan keadilan sosial, harmoni, persatuan, menghargai keberagaman, dan sebagainya.
“Keberagaman-keberagaman itu tidak harus disamakan, keberagaman itu bisa dijembatani dengan dialog, sehingga kita bisa membangun harmoni. Paus menyebutkan bahwa itu tugas setiap warga negara, setiap orang, tetapi mereka yang bekerja di lingkungan politik mempunyai tanggung jawab yang khas,” jelas Josie.
Itulah salah satu makna dari menjadiman kekuasaan sebagai sebuah sarana, bukan tujuan. Kekuasaan adalah alat yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan dan kebaikan banyak orang, bukan diri sendiri dan kelompoknya.
Josie menyatakan, semua ini tidak akan bisa berjalan tanpa adanya gerakan bersama. Misalnya di Papua Nugini yang terjadi perang suku beberapa hari pasca Paus melakukan lawatan ke sana. Jadi semua pihak tanpa terkecuali harus bergerak seirama untuk mewujudkan kebaikan bersama.
“Pesan Paus yang saya lihat itu bukan mantra yang begitu disampaikan sekali jadi, tidak. Bagi saya itu baru bisa terjadi kalau masyarakat, orang-orang pun melakukan hal yang sama,” kata dia.
Kesan Paus atas Indonesia
Setelah 4 hari berada di Jakarta, berjumpa dengan Presiden, memimpin misa akbar, mengunjungi Masjid Istiqlal, dan berjumpa dengan sekian banyak masyarakat, Josie mengatakan Paus begitu gembira.
Kegembiraan itu antara lain karena Paus melihat banyak gereja-gereja yang diisi kaum muda, gereja yang penuh semangat antusiasme.
“Ada ungkapan yang beliau sampaikan, orang tidak mau masuk sesuatu karena direbut, tapi orang mendekat kepada kita karena suatu ketertarikan. Beliau melihat gereja Indonesia itu seperti itu, gereja Indonesia dengan jumlah Kristen yang hanya 10 persen dan kemudian dari 10 persen itu 3 persen adalah Katolik, gereja bisa bertumbuh besar-besar, bertumbuh dalam lingkungan yang beragam,” jelas Josie.
Paus juga merasa gembira ketika bertemu dengan anak-anak dan banyak pemuda. Hal itu merupakan pemandangan langka di Eropa.
“Ketika bertemu dengan Pak Jokowi di Istana Merdeka beliau sempat mengatakan senang dengan ada banyak anak-anak di Indonesia, kemudian sampai muncul lelucan, guyonan dia tentang Eropa yang sudah tidak lagi banyak anak tetapi keluarga muda isinya hanya mereka punya seekor anjing atau seekor kucing,” sebut Josie.
Di beberapa kesempatan, ketika bertemu dan berdialog dengan kaum muda, Paus kerap lepas teks dan berinteraksi dengan lepas. Hal itu juga terjadi di Papua Nugini dan Singapura.
Leave a Reply