“Recana pertemuan elit politik antara Prabowo-Megawati bisa saja mengubah konstelasi politik, namun sejarah juga mengajarkan bahwa kekuasaan yang begitu memesona bisa memabukkan. Karena itulah kekuasaan harus dikontrol agar kekuasaan tetap didedikasikan untuk kepentingan rakyat,”
Dua tokoh bangsa, yakni Presiden kelima Indonesia Megawati Sukarno Putri dan Presiden terpilih Prabowo Subianto dikabarkan akan segera melakukan pertemuan sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden 20 Oktober mendatang.
Belum diketahui kapan tanggal pasti dan apa tujuan dari pertemuan dua petinggi partai politik itu. Diisukan, pertemuan keduanya akan mengarah pada PDI Perjuangan yang kini menjadi satu-satunya partai yang masih di luar Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus masuk ke dalam koalisi besar yang mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran 5 tahun ke depan.
Jika benar demikian, maka pemerintahan baru nanti akan memborong semua partai politik di DPR dan secara hitam di atas putih pemerintahan Prabowo-Gibran tidak akan memiliki oposan yang bertugas mengontrol jalannya pemerintahan dari luar. Apakah kondisi di mana semua partai bergabung dalam kekuasaan merupakan kabar baik bagi demokrasi Indonesia, atau justru sebaliknya?
Sejumlah narasumber hadir untuk mendiskusikan isu tersebut dalam Satu Meja The Forum Kompas TV (25/9/2024) yang mengangkat tema “Pertemuan Prabowo- Megawati, Bagaimana Nasib Oposisi?”
Bertemu sebelum 20 Oktober
Ketua DPP PDI Perjuangan Deddy Sitorus mengonfirmasi bahwa isu rencana pertemuan Ketua Umumnya dengan Prabowo Subianto adalah benar dan akan terlaksana sebelum Prabowo dilantik menjadi Presiden.
“Kalau yang kita dengar sejauh ini kemungkinan besar sebelum 20 Oktober, tetapi belum ada pembicaraan lebih lanjut karena Ibu Megawati baru kemarin kembali dari perjalanan ke Rusia, ke Uzbekistan menerima gelar Honoris Causa dan juga ke makam Imam Bukhori,” kata Deddy.
Ia pun menyebut Megawati belum berbicara apapun terkait pertemuan itu. Yang Mega tanyakan sepulang dari kunjungannya ke Rusia adalah mengenai Pilkada Serentak yang hampit memasuki masa kampanye. Sehingga PDI P sendiri masih menunggu kapan dan bagaimana tepatnya pertemuan itu akan berlangsung.
Dari pihak Partai Gerindra pun menyambut baik rencana pertemuan ini. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburrahman menyebut pertemuan dua tokoh bangsa itu merupakan sesuatu yang sangat baik di tengah situasi politik di Indonesia pasca Pemilu.
“Setelah hasil Pemilu, lalu penyelesaian di Mahkamah Konstitusi juga sudah selesai, saya pikir kita kembali menjalani kehidupan sebagai bangsa yang harus tidak terlalu banyak lagi kita berkontestasi dalam konteks politik. Jadi pertemuan antara dua elit ini, antara dua tokoh bangsa ini saya pikir akan sangat membantu dalam mendinginkan situasi,” ujar Habib.
Ia menyebut, alasan mengapa sampai hari ini Prabowo dan Megawati belum juga bertemu meski wacana pertemuan keduanya sudah berembus sejak lama, tidak lain karena kesibukan keduanya sebagai pimpinan partai politik. Setelah Pemilu 2024, partai-partai politik disibukkan dengan Pilkada Serentak dan harus menentukan ratusan calon untuk diusung dalam Pilkada baik tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.
Habib menambahkan, pertemuan keduanya bisa terjadi dalam waktu yang cepat dan tidak memerlukan perencanaan khusus.
“Enggak direncanakan terlalu detail ya, di mana mau ketemu, siapa mengundang, siapa diundang, agendanya A, B, C, D. Saya pikir beliau berdua kan seorang sahabat yang memang kalau mau ketemu ya pada saatnya sudah oke, apakah… biasanya kan Pak Prabowo yang ke Teuku Umar (kediaman Megawati) ya atau di tempat lain nanti kita lihat saja,” sebut Habib.
Pertemuan Mega-Prabowo bisa saja membicarakan banyak hal, salah satunya adalah soal kemungkinan PDIP masuk ke koalisi pemerintahan bersama partai-partai politik lain yang sudah lebih dulu bergerombol di bawah payung KIM.
Menanggapi kemungkinan itu, Partai Golkar sebagai salah satu anggota KIM sejak awal memandangnya sebagai hal yang menggembirakan dan bukan menjadi soal.
“Saya kira ini sesuatu yang menggembirakan. Kenapa, kita semua punya kepentingan, bangsa ini punya kepentingan untuk tetap satu gitu. Kita punya kekayaan sumber daya manusia, punya kekayaan sumber daya alam, itu enggak cukup untuk menjaga bangsa ini. Yang bisa menjaga bangsa ini pengalaman kemarin-kemarin itu adalah kalau semua kita ini solid bersatu dan itu harus dimulai dari pemimpin-pemimpinnya,” ungkap politisi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia.
Bergabungnya PDIP dikhawatirkan akan menghilangkan unsur check and balances bagi pemerintahan berjalan, namun Doli menegaskan hal itu tidak akan terjadi. Pasalnya, Indonesia yang menganut sistem presidensial yang mana check and balances ada di antara DPR dan Pemerintah. Jadi kritik dan kontrol tetap dapat disalurkan melalui jalur institusi formal itu.
Demokrasi Tanpa Oposisi
Sebaliknya, dari kacamata akademis, pengamat politik Adi Prayitno tidak bisa membenarkan alasan Gerindra yang menyebutkan pertemuan Prabowo-Mega sebagai sesuatu yang penting untuk mendinginkan suasana politik di Indonesia. Menurutnya, pasca Pemilu Presiden kemarin saat ini kondisi Indonesia sudah cukup kondusif. Adipray justru khawatir pertemuan itu akan memastikan PDIP bergabung dalam koalisi pendukung Prabowo-Gibran 5 tahun ke depan, sebagaimana santer diberitakan.
Saat ini, kurang dari satu bulan jelang dilantiknya pemerintahan baru disebut sebagai waktu yang tepat bagi Prabowo-Megawati untuk akhirnya bertemu. Sebelumnya, Adipray menyebut rencana pertemuan mereka nampak selalu menuai ganjalan.
“Ini sangat terkait dengan posisi Jokowi yang saat itu dinilai cukup powerful dan mungkin menjadi barrier ketika dua tokoh ini kemudian bertemu. Menjelang 20 Oktober, rasa-rasanya aura prabowo sebagai presiden definitif tinggal nunggu waktu, sehingga Prabowo bertemu dengan siapapun- jarak psikologis di situ ada Jokowi atau siapa pun yang selama ini dinilai menjadi hambatan- kembali tidak signifikan dalam konteks itu,” jelas Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu.
Di lain pihak, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari melihat hubungan antara Prabowo Subianto dan Megawati ini sudah terbilang panjang, bahkan orangtua dari keduanya juga dikenal memiliki hubungan di masa lalu
“Kedua orangtua beliau adalah sahabat, orangtua Pak Prabowo pernah punya masalah politik ketatanegaraan dan dimaafkan oleh Bung Besar, berangkulan, bahkan sangat dekat. dan sejarahnya bisa jadi panjang. Untuk titik ini, ya sah-sah saja dua presiden ini bertemu dan membicarakan kepentingan bangsa dan negara,” kata Feri.
Yang menjadi masalah adalah apakah pertemuan Prabowo dan Megawati itu akan dikukuhkan dalam KIM Plus. Jika itu terjadi, Feri melihat justru akan merugikan kedua belah pihak, baik Prabowo dan Gerindra maupun Megawati dan PDIP.
Ia menjelaskan, Prabowo sebagai Presiden terpilih membutuhkan partner berupa partai politik di luar pemerintahan untuk memastikan kerja-kerja kabinet berjalan maksimal. Jika PDIP masuk, maka tidak ada lagi partai politik yang akan memberikan kontrol dari luar.
Sementara itu, PDIP akan kehilangan momentum untuk menjadi partai alternatif pilihan rakyat yang akan menjadi rujukan ketika ternyata pemerintahan nantinya tidak bekerja dengan baik.
Prabowo: Indonesia Tidak Mengenal Budaya Oposisi
Dalam sebuah pidato, Prabowo Subianto menyampaikan bahwa Indonesia tidak mengenal oposisi yang kerjanya saling gontok-gontokan. Menurutnya, oposisi adalah budaya barat dan kita tidak perlu mengikutinya. Persatuan sebagai sesama bangsa dan kesadaran untuk bekerja bersama membangun negara adalah hal yang lebih utama dan penting untuk dilakukan.
Terkait dengan pidato itu, Habiburrahman mengatakan inti dari maksud Prabowo bukanlah tidak menginginkan keberadaan oposisi. Namun, Prabowo menginginkan kita untuk tidak ikut-ikutan budaya barat menjadi oposisi yang saling gontok-gontokan.
“Kata kuncinya bukan di oposisinya, gontok-gontokannya itu. Soal sistem presidensial kita, memang kita enggak mengenal oposisi, kita mengenal di luar pemerintahan atau di dalam pemerintahan. Jadi kalau kita mengacu pada hal-hal prinsipil ya yang diajarkan founding fathers kita: menyelesaikan masalah dengan musyawarah. Itulah yang memang menjadi gaya kita selama ini, itu menjadi identitas kita selama ini, membedakan dengan politik oposisi yang saling serang, oposisi yang saling anti sebagaimana di negara-negara barat barat,” jelas Habib.
Ia menekankan, fungsi check and balances bisa dilakukan dengan jalan musyawarah itu, tidak melulu dengan gontok-gontokan yang dikemas dengan sebutan oposisi.
Berbeda dengan Habib yang datang dari partai politik, Adipray sebagai akademisi justru memandang penting pihak oposisi. Oposisi dalam hal ini bukan kelompok berseberangan yang harus dilegalkan atau dideklarasikan, namun kelompok yang substansi gerakannya benar-benar mencerminkan oposisi.
Ia mengaku sulit membayangkan jika semua partai politik berkongsi dengan kekuasaan. Bagaimana check and balances di DPR bisa berjalan jika seluruh partai di sana ada di bawah satu kepentingan yang sama.
“Kalau mayoritas semua partai politik atau semua partai politik itu berkongsi dengan kekuasaan, jadi check and balances di DPR itu pasti hakul yakin wasalam. Belum ada sejarahnya di negara ini ketika partai menjadi bagian dari kekuasaan politik pemerintah dia akan lantang untuk menolak keputusan-keputusan politik yang selama ini bertentangan dengan kehendak rakyat,” terang Adipray.
Ia mencontohkan bagaimana di era SBY dan Jokowi tidak ada partai politik bagian kekuasaan yang menolak undang-undang yang bertentangan dengan kemauan rakyat. Sebaliknya, mereka tegak lurus kepada kekuasaan dan terus mengesahkan undang-undang meski rakyat tidak sepakat. Sebut saja dalam Rancangan UU KPK, UU ITE, UU KUHP, dan UU Omnibuslaw.
“Satu hal, ketika partai sudah menjadi dari kuasaan jangan berharap sikap kritis itu bisa akan muncul. Mungkin kritisisme atau resistensi dari dalam itu muncul kalau sudah jelang Pemilu, biasanya 6 bulan sebelum pencoblosan baru mulai partai ini cari selamat masing-masing, cari ceruk pemilih dari kelompok-kelompok yang selama ini berhadap-hadapan dengan kekuasaan,” jelas Adipray.
Menanggapi apa yang disampaikan Adi Prayitno mengenai oposisi tidak perlu dilegalkan, Deddy Sitorus dari PDIP menyebut sejak dulu Megawati sebagai Ketua Umum PDIP memang tidak pernah menggunakan frasa oposisi, melainkan di luar pemerintahan. Begitu juga dengan koalisi, Megawati lebih menyebutnya sebagai kerja sama politik.
PDIP Merapat ke Kabinet?
Terkait apakah PDIP akan bergabung dengan KIM atau tidak, Deddy membeberkan dalam internal mereka masih terdapat beberapa pandangan yang berbeda. Ada yang menginginkan PDIP tetap di luar menjadi penyeimbang, ada yang berharap PDIP masuk kabinet dan bekerja sama dengan pemerintah, ada pula yang berkeinginan agar PDIP tetap di luar namun menjalin kerja sama dengan pemerintah.
Bagaimana keputusan akhir yang diambil baru bisa diketahui pada kongres nanti, saat Megawati sebagai Ketua Umum sudah memberikan keputusannya.
“Kalau mau melihat misalnya pikiran yang mengatakan ada baiknya kita bersatu dengan pemerintah, kenapa? Memang tantangan yang dihadapi pemerintah baru ini luar biasa. Secara ekonomi kita tidak baik-baik saja, APBN kita itu gap-nya defisitnya semakin besar, ruang fiskal kita sangat terbatas untuk pemerintahan baru itu bekerja dengan maksimal, beban hutangnya semakin luar biasa, itu sangat memberatkan. Bayangkan, jatuh tempo tahun depan itu hampir Rp800 triliun, bayar bunga tiap tahun itu bisa Rp450 triliun sampai Rp600 triliun,” papar Deddy.
“Banyak sekali persoalan-persoalan, kemarin Pak Jokowi sendiri menyampaikan di dalam Pertemuan Ikatan Sarjana Ekonomi kalau enggak salah saya, ada kemungkinan 85 juta pekerja terancam PHK tahun 2025. Ini kan luar biasa, jadi menurut saya jangan disederhanakan soal itu,” lanjutnya.
Menyadari betul permasalahan-permasalah berat harus dihadapi oleh pemerintah baru nanti, Feri Amsari melihat kerja sama antar semua pihak memang benar diperlukan. Namun jangan kesampingkan oposisi. Oposisu juga penting dan diperlukan.
“Dalilnya sebenarnya sederhana, kebutuhan terhadap teman-teman PDIP sebagai oposan itu adalah rancang bangun ketatanegaraan kita membutuhkan mereka. Dulu ketika Orde Baru rakyat tidak pernah meninggalkan PDIP dan kali ini mohon jangan PDIP pula yang meninggalkan rakyat (dengan tetap) sebagai oposan,” ujar Feri.
Jika semua partai bergabung, ia sungguh khawatir pemerintahan nanti berjalan tanpa ada pengawasan sehingga kecenderungan untuk menyimpang jadi kian besar. Ia kembali mengulang penjelasannya di awal, bahwa oposisi dibutuhkan, jika tidak ada yang menjadi oposisi maka yang akan rugi adalah semua pihak.
Dialog lengkap terkait wacana pertemuan Prabowo-Mega yang menimbulkan pertanyaan bergabung atau tidaknya PDIP dengan KIM Plus dapat Anda simak melalui video berikut:
Leave a Reply