Episode 15 program Back to BDM di kanal YouTube Budiman Tanuredjo menghadirkan mantan Deputi V Kantor Staf Presiden (2014-2023) Jaleswari Pramodhawardhani. Dalam perbincangan kurang lebih 75 menit, BDM dan Dhani memperbincangkan banyak hal, salah satunya tentang bagaimana pemerintah menangani persoalan pelanggaran HAM masa lalu.
Dhani membagikan apa yang ia ketahui selama kurang lebih 9 tahun bekerja dan berada di lingkup Istana. Menurutnya, pemerintah sesungguhnya terus berupaya untuk menyelesaikan tanggung jawab masalah pelanggaran HAM masa lalu, karena itu menjadi 1 dari 9 program nawacita yang diusung pemerintahan Joko Widodo.
Namun, dalam praktiknya ternyata penyelesaian kasus HAM masa lalu sedemikian kompleks sehingga tidak semudah itu untuk bisa diuraikan. Apalagi jumlah kasus pelanggaran HAM yang harus diselesaikan ada kurang lebih 12 jumlahnya.
“Itu sekuens waktunya beda-beda, misalkan kita ada (kasus tahun) 65, untuk bicara soal pengajuan bukti, saksi, itu kan orangnya sudah sepuh-sepuh dan bukan hanya di satu wilayah, tetapi banyak wilayah. Belum lagi resistensi dari beberapa kelompok tertentu, itu juga menyulitkan. Belum lagi perdebatan antara Komnas HAM dengan Kejaksaan,” ungkap editor buku Munir: Sebuah Kitab Melawan Lupa (2004) itu.
Selain itu, kerumitan lain juga datang dari aturan dan birokrasi di tingkat kementerian/lembaga yang tidak bisa begitu saja dikerjakan. Ia mengaku perlu 2-3 tahun lamanya untuk membicarakan bagaimana mekanisme yang bisa digunakan, apakah judisial atau non-judisial.
Ia menyebut, dalam periode pertama dan kedua Presiden Jokowi semua upaya sudah dicoba. Di periode pertama, penyelesaian secara judisial melalui Pengadilan HAM sudah dilakoni, namun tidak berhasil. Sebagai bentuk tanggung jawab, pemerintah tetap memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan politik (ekosop) para korban melalui keluarganya.
Pemerintah pun melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Ham membentuk semacam satuan tugas yang beranggotakan akademisi, praktisi, masyarakat sipil, juga kementerian/lembaga untuk merumuskan bagaimana bentuk tanggung jawab negara dan penyampaian hak-hak korban melalui mekanisme non-judisial.
“itu saja tidak mudah, para korban juga tidak satu suara untuk menerima bantuan ini dan itu biasa dalam demokrasi. Tapi untuk korban yang mau menerima kita berikan ruang untuk ini (penyampaian hak-hak),” ujar Dhani.
Itu terjadi setidaknya hingga Oktober 2023. Selepas ia mundur dari KSP, ia tak lagi tahu langkah-langkah apa yang masih ditempuh. Namun, menurutnya penyelesaian melalui mekanisme non-judisial penting bagi negara menunjukkan pertanggungjawaban kepada para korban.
Belum berhasilnya pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, bukan berarti pemerintah tidak berbuat. Ia menekankan, pemerintah telah menunjukkan iktikadnya dengan menerbitkan keputusan presiden dan peraturan presiden yang diterbitkan Presiden Jokowi, kementerian terkait juga turut mengeksekusi. Namun kompleksitas di lapangan tidak bisa dikesampingkan.
Berhubung masalah-masalah ini belum berhasil diselesaikan, maka secara otomatis tanggung jawab akan berpindah ke pemerintahan yang baru selepas 20 Oktober 2024. Ia tahu selama masa kepemimpinan Jokowi upaya untuk menyelesaikan selalu diupayakan. Namun ia khawatir, jika berganti pemimpin maka akan berganti pula kebijakannya. Apalagi, Prabowo Subianto sebagai penerus Jokowi, memiliki catatan tersendiri di mata publik sebagai sosok yang juga terlibat dalam pelanggaran HAM di masa lalu.
“Saya khawatir kebijakan yang diinisiasi oleh Presiden Jokowi mungkin bukan lagi prioritas buat Presiden Prabowo. Misalkan Pak Prabowo lebih fokus kepada makan siang bergizi sehingga hal-hal yang terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia yang lain itu (dinomorsekiankan),” kata Dhani.
Ia berharap ada kemauan politik dari pemimpin baru dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu tetap dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bapennas dan birokrasi tidak dipersulit, karena selama ini sudah dirancang dan dimulai.
Terkait catatan HAM yang melekat pada sosok Prabowo, Dhani berharap itu menjadi pecut bagi Prabowo untuk membuktikan bahwa dirinya tidak demikian, dengan cara ia menuntaskan pekerjaan rumah yang masih tercecer soal pelanggaran HAM di masa lalu yang dimiliki Indonesia.
Jaleswari Pramodhawardhani menyebut kasus-kasus HAM masa lalu yang belum tuntas bukanlah sekadar sesuatu yang sudah lampau dan kemudian pantas dilupakan. Bagaimana pun, itu adalah beban sejarah, beban bangsa terhadap noktah hitam perjalanannya yang harus diselesaikan oleh negara dengan cara memiliki pemimpin yang benar-benar ingin menyelesaikannya.
Ketika ditanya tentang sikap masyarakat sipil yang semestinya diambil menyikapi penyelesaian masalah yang belum kunjung rampung ini, Dhani justru memuji konsistensi dan ketelatenan peserta Aksi Kamisan, yang setiap Kamis selalu menggelar aksi menagih janji penyelesaian kasus-kasus HAM yang keluarga mereka alami di masa lalu.
“Saya takjub dengan Kamisannya para korban. Saya rasa itu adalah salah satu dari merawat ingatan. Jadi korban ini terus meminta perhatian pemerintah untuk peduli terhadap penyelesaian HAM masa lalu, karena ini semacam pekerjaan rumah dan itu dan itu beban sejarah kita kalau tidak diselesaikan,” ungkap Dhani.
Untuk mendapatkan perhatian bahkan prioritas pemerintah, Dhani pun menyebut masyarakat sipil mesti kompak, memiliki pemahaman yang seragam bahwa kasus pelanggaran HAM adalah satu hal yang urgen untuk segera diselesaikan. Karena saat ini, masyarakat masih begitu homogen, ada yang menganggap soal HAM penting, ada pula yang tidak menjadikannya prioritas.
“Kalau menurut saya agar ini menjadi sesuatu yang mendapat perhatian pemerintah dan kemudian dibicarakan lagi, kita harus solid dulu sesama masyarakat sipil memandang bahwa ini bukan persoalan kelompok ini (korban) saja, bukan punya kelompok ini saja, tapi ownership ini terbangun karena ini persoalan bangsa,” ujarnya.
Kecewa terhadap Jokowi
Sebagai seorang yang bertugas di Kantor Staf Kepresidenan (KSP), posisi Dhani jelas sebagai pihak yang mendukung kerja-kerja politik Presiden, dalam hal ini adalah Jokowi. Ia mengaku ada di barisan Jokowi sejak awal kepresidenannya, karena menyebut Jokowi adalah sosok pemimpin yang otentik berasal dari tubuh rakyat dan dia mau mendengarkan setiap keluh kesah rakyatnya.
“Kita sudah tahu berulang-ulang kali disampaikan bagaimana dia memindahkan pedagang kaki lima saja membutuhkan 49 atau 50-an kali (menemui rakyat yang akan dipindahkan) dan itu dia dengarkan saja. Kadang-kadang tidak ngomongin akan dipindahkan, tapi mengajak makan saja,” kenang Dhani.
Ketelatenan seperti itu dalam satu sisi ia nilai bagus, karena sebagai salah satu bentuk mendengarkan rakyat. Namun, sekadar mendengarkan itu masih kurang bagi Dhani. Lebih lanjut, Presiden semestinya mengimplementasikan apa yang ia dengar ke dalam kebijakan-kebijakan yang ia buat. Jika tidak, maka akan muncul ketidakpercayaan (distrust).
Selain telaten mendengarkan, cara kerja lain yang ia tangkap dari Jokowi adalah cepat. Presiden menyukai kerja cepat. Lagi-lagi, Dhani menilai hal itu baik untuk konteks situasi tertentu, misalnya kondisi darurat yang menuntut kecepatan seperti ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia beberapa tahun lalu. Namun, cara kerja yang sama tidak bisa diterapkan ke semua kondisi, karena terlalu banyak risikonya.
“Ketika kita dihadapkan oleh situasi normal, ini bisa jadi problem karena kecepatan itu kalau kita tidak berhati-hati jangan-jangan tidak didukung oleh konsep yang dalam, kajian-kajian risikonya (kurang),” sebut dia.
Ia kagum dengan sosok Jokowi yang dikenal dekat dengan semua lapis masyarakat sehingga membuatnya disebut Presiden Rakyat. Namun, perlahan kekaguman itu hilang, terutama ketika anak-mantu Presiden mulai mendapatkan jabatan politik strategis. Ketika itu mulai ramai isu Gibran Rakabuming Raka menjadi Wakil Presiden dan Bobby Nasution terpilih menjadi Wali Kota Medan. Di luar itu, KPK di era Jokowi juga menjadi satu di bawah pemerintah sehingga mengaburkan netralitas lembaga anti rasuah itu.
Atas semua tindak-tanduk Presiden itu, KSP bukan sekali dua kali menjadi pihak yang disangka sebagai pembisik presiden sehingga Presiden melakukan A, B, dan C.
“Publik ini juga bukan suara yang satu, publik ini juga terpecah, tapi sebagian besar akademisi sebagian NGO itu sudah mulai merasa gerah dan mempertanyakan itu. Dan kita kan sering ditanya, siapa sih pembisiknya Pak Jokowi? Saya mungkin termasuk yang bolak-balik bilang Pak Jokowi itu otonom,” kata Dhani.
KSP sebagai pembisik, mungkin hanya salah satunya saja. Karena seperti yang ia gambarkan sebelumnya, Jokowi adalah sosok pendengar yang baik, dan ia menjalin relasi dengan banyak pihak. Jadi ia menyerap apa yang ia dengarkan, entah siapa itu, kemudian ia jadikan modal untuk langkah politiknya.
Berawal dari rasa kagum yang kemudian memudar, Dhani tidak menyangkal jika semua orang bisa berubah, termasuk perangai Jokowi. Di periode pertama pemerintahannya, Jokowi menurut Dhani masih melihat dan mengamati apa yang terjadi dan apa dampak dari setiap kejadian. Namun, di periode kedua Jokowi dinilai sudah mulai mampu menemukan jalan belakang untuk setiap peristiwa yang menghantam pemerintahannya.
Misalnya untuk kasus demo, awalnya Jokowi mungkin bisa telaten mendengarkan aspirasi demonstran, memanggil perwakilan untuk bertemu, dan mencarikan solusi. Namun lama-kelamaan, demonstrasi dinilai menghambat kecepatan eksekusi program kerja atau kebijakannya.
Hal lain dalam konteks banyaknya pelaku korupsi dalam lingkup pemerintahan juga usaha di Indonesia, Jokowi juga dinilai bisa menjadikannya modal untuk melakukan langkah catur politik tertentu.
“Mungkin pak Jokowi juga berpikir kita ini kan korupsinya luar biasa. Elit-elit kita banyak yang korup dan kemudian menjadi pemikiran presiden bahwa itu juga bisa menjadi modal politik dalam rangka mengharmonisasi semua konflik-konflik di internal pemerintahan,” ungkap Dhani.
Jadi, Dhani tidak bisa menutupi bahwa secara pribadi ia kecewa dengan Jokowi. Sejak awal, ia ingin agar Jokowi bisa lengser dengan meningalkan kesan baik pada saatnya nanti. Namun, perubahan-perubahan yang terjadi terumata sejak periode kedua, telah menjadi catatan kritis bagi sosok Presiden dan tidak bisa diabaikan begitu saja.
“Kecewa, itu jawaban cepat saya, kecewa,” ujarnya lugas.
Terkait Gibran dan Bobby yang diusung menjadi kepala pemerintahan, ia menyebut hal itu tak lepas dari campur tangan Jokowi sebagai orangtua. Ia heran, mengapa tidak menunggu sampai masa jabatannya selesai, baru mengizinkan anak-anaknya untuk maju di kontestasi politik. Ini sebagaimana yang dilakukan oleh SBY ketika AHY maju di Pilgub DKI di saat SBY sudah tak lagi menjabat Presiden.
“Saya mikirnya waktu itu ya kita semua seluruh warga negara mempunyai hak yang sama, tetapi menjadi tidak sama karena posisinya yang begitu berbeda. Pertarungan ini menjadi tidak fair, karena posisi anak presiden itu pasti akan mempengaruhi penilaian kriteria dan kita enggak bertarung setara,” Dhani ungkapkan sudut pandangnya soal Gibran dan Bobby.
Ia menyebut tidak ada yang salah dengan orangtua yang berjuang untuk memudahkan jalan anaknya, namun tidak dalam konteks bernegara, karena demokrasi yang menjadi korbannya. Perlu diingat, sebagai seorang Presiden, Jokowi masih memegang kekuasaan atas seluruh aparat. Jadi bukan hal aneh ketika terjadi sesuatu, maka segenap aparat akan melindungi kepentingan atasannya.
Senjakala Demokrasi
[ ] DEMOKRASI
oke mbak Dani saya baca juga artikelnya mbak Dani ya di Kompas senjakala demokrasi ini apa anda frustrasi melihat demokrasi yang ada atau gimana Sebetulnya?
saya rasa kalau kita melihat kasus kasus kasus aja mungkin orang bicara bahwa ah itu opini subjektif jaleswari tapi kita mungkin kalau melihat indeks-indeks Global terkait demokrasi entah the economist intelligence unit entah Freedom house entah Indikator-indikator lainnya itu tiga empat indikator Global tu menunjukkan bahwa Indonesia itu lagi sedang turun. itu itu indikator yang kuantitatif gitu tapi yang bisa kita rasakan kalau kita bicara soal demokrasi memang di undang-undang dasar kita tidak ada yang secara eksplisit ngomong Kata demokrasi Tetapi kan di pasal 1 ayat 2 tuh disematkan kata
kedaulatan rakyat dan itu jelas prinsip-prinsip demokrasi di sana ada konstitusi kita banyak menyitir tentang kedaulatan rakyat, tentang pemisahan kekuasaan, tentang pemilihan umum, tentang hak asasi manusia itu prinsip-prinsip demokrasi. maksud saya eh demokrasi yang kita genggam hari ini kan eh kemudian eh kita merasa bahwa selain indeks objektif itu tadi kita kan juga merasakan dalam praktik-praktik misalkan Pilkada eh nanti mendatang ya Eh Pilpres itu kan sebetulnya banyak sekali ee kritikan-kritikan polemik yang terjadi di publik Mas yang terkait dengan bagaimana mereka menyuarakan demokrasi kita tuh memang eh mundur, kualitas demokrasi kita ini memang menurun, kita terjadi regresi demokrasi itu itu maksudnya percakapan hari-hari ini gitu
Tapi jangan-jangan terjadi juga divided expectation ya artinya democracy is not too important bagi majority tapi hanya kelompok elit saja yang memandang demokrasi itu menjadi menjadi dewa Tapi di bawah kebutuhannya mungkin bukan demokrasi juga?
Iya kalau misalkan seperti itu memang di negara lain demokrasi juga lagi mundur ya demokrasi lagi mundur tapi ee maksud saya Eh kalau kita bicara e eh jangan-jangan ini kepentingan e kelompok e lain saya kok lebih melihat gini eh mungkin kita enggak bicara soal definisinya atau pengertian demokrasi itu sendiri tetapi bagaimana operasional demokrasi itu seperti apa gitu mungkin masyarakat akan ee kemudian mungkin menjawab itu penting ketika dia kita ee dibilang bahwa kalian bebas eh e apa namanya ee apa mengekspresikan sesuatu kalian bebas ee untuk ee berusaha dalam ee eh kalian punya hak-hak itu atau ee apa namanya kita Perlihatkan bahwa operasionalisasi dari definisi demokrasi itu seperti itu dia adalah salah satu ee apa namanya harapan kita untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik karena itu e kata kuncinya partisipasi melibatkan semua rakyat jadi ketika ee ee apa namanya partisipasi itu menjadi kata kunci semua orang boleh bersuara semua orang juga boleh berbeda itu mungkin itu jadi menarik gitu ketimbang kita ngomong demokrasi tapi enggak memberi makna di dalamnya gitu.
ada orang yang juga melihat bahwa sekarang sedang terjadi gelombang balik gitu ya gelombang balik demokrasi menuju tulisannya mbak Dani Kan kepada otoritarian sebetulnya Apakah memang arahnya memang sedang ke situ sebetulnya?
Iya eh saya rasa eh salah satu bukunya nle Bum itu kan bicara soal eh Twilight democrasy ya dia dia eh dia menyuguhkan bahwa eh kemunduran demokrasi itu memang terjadi di semua beberapa negara bahkan negara demokratis sekalipun. Nah dari kasus-kasus yang ada itu yang menariknya itu adalah bahwa orang yang dulunya mendukung demokrasi dengan antusias sekarang justru mendekat kepada otoritarianisme gitu dan EE kemudian muncul soal pemimpin yang populis gitu ya Ee kita kalau melihat ee definisi populis kita kan sering bilang populis populis itu kan bagus rakyat kaitannya dengan ini tetapi ternyata baik elitisme maupun populisme atau kalau misalkan mau dilebih sejajarkan misalkan demokrasi liberal atau apapun itu ee masing-masing kan punya ee apa ya kelemahan dan kekuatan masing-masing nah dalam konteks Eh populisme ini ini adalah eh pemimpin yang EE jadi mendikotomikan bahwa mereka tuh alergi dengan elit gitu ya Ee walau mungkin ini bisa dichallenge dengan kasus-kasus tertentu tapi ee mereka alergi dengan elit, mereka tidak percaya institusi negara, mereka ee apa namanya ee hal-hal yang sifatnya instan sederhana yang itu tadi yang kemudian kalau kita melihat konteks hari ini, merasakan enggak bahwa 10 tahun ini percakapan kita tentang gagasan ide besar tentang bangsa tentang negara tentang hal mimpi atau Indonesia ke depan itu kan jarang sekali, kalaupun yang nulis itu orangnya itu itu aja Mas Maksudnya publik itu enggak disuguhkan oleh diskusi cerdas konsep-konsep besar untuk membangun ini kita kemudian pembicaraan kita hari ini tuh jangka pendek, sangat instan, artificial, terus kemudian dan kita merasa oke-oke aja anak-anak muda kita yang potensial akan menjadi bonus demografi kita tuh alergi terhadap politik, mencemoohkan politik, enggak suka dengan institusi ini, terus kemudian ya easy come easy go terhadap pekerjaan dan dan kita hanya melihat ah gen z sama gen milenial eh ya memang gitu karakternya tanpa melihat gitu bahwa jangan-jangan kita ini berkontribusi untuk membentuk dia seperti itu gitu. bahwa negara itu fungsi edukasi publiknya, fungsi mengedukasi bangsa dalam skala yang lebih luas itu lama absen gitu loh mas. pendidikan itu kan sangat penting ya tetapi saya aja yang bukan background-nya keahliannya bukan bidang pendidikan saya melihat bahwa betapa gagapnya percakapan-percakapan Kita di media tentang bagaimana pendidikan itu akan lebih ditingkatkan, lebih membuat nilai-nilai kemanusiaan pada anak didik itu ada terus kemudian Bagaimana menciptakan kreativitas inovasi pada Indonesia yang lebih baik gitu-gitu kok enggak ada gitu loh Mas selain bongkar pasang kebijakan dan itu mending bongkar pasang aja tapi itu juga menimbulkan kemarahan gitu-gitu jadi apa ya khawatirnya dan mungkin sudah terjadi skeptisisme, apatisme itu sudah mulai terjadi gitu distrust gitu
[ ] CANDU KEKUASAAN DAN RUWETNYA BIROKRASI
(Alasan lain mundur) Saya ingin menguji Saya sendiri juga gitu kan Sebetulnya kata orang kekuasaan itu candu, saya itu ingat sahabat saya almarhum Cornelis lee dia itu bilang e harusnya intelektual itu e ada jalan ketiga Eh kalau jalan satu kedua itu kan seakan akan hitam putih gitu ya Jadi seakan-akan kalau intelektual masuk kekuasaan masuk pemerintahan itu langsung dia menjadi going native terhadap jadi penguasa yang enggak ini kalau seakan-akan kalau dia ada di luar dia tuh selalu bersberangan dengan pemerintah Tetapi dia menunjukkan jalan ketiga bahwa seorang intelektual itu harusnya dia bukan sekedar lantang menyuarakan menolak menentang pemerintah tetapi tapi dia masuk bersahabat di dalamnya tapi tidak kehilangan kewarasan tentang nilai-nilai kemanusiaannya dan kebebasan berpikir serta ee ini ee ee bijak dalam itu menegakkan prinsip kemanusiaan jadi prinsip kemanusiaan tuh harus jadi ukurannya menurut saya gitu dan dan dia harus fleksibel e mudah masuk dan ringan keluar gitu. Jadi jangan ketika sudah ini susah ini nah waktu itu ee dalam situasi Itu itu kan sebetulnya juga ada pergulatan batin juga gitu ee apa ee bisa jadi untuk sebagian orang ini dianggap tidak problematis tapi eh buat eh eh saya pribadi ya saya tidak mau ini mengatasnamakan yang lain Saya merasa bahwa mungkin saya cukup di dalam
cukup di dalam Oke tadi disebutkan mbak Dani kekuasaan itu candu Ya seperti apa sih yang dialami candu versi Mbak Pak Dani ketika duduk di Deputi 5 KSP itu?
iya ee mungkin kalau dilihat dari gaji itu Enggak seberapa ya Mas ya mas maksudnya maksud saya gini gaji apa namanya yang kita dapatkan itu enggak apa namanya gede-gede banget gitu ee enggak ratusan juta itu enggak ada itu tetapi yang yang mungkin orang sulit meninggalkan itu adalah privilege yang didapatkan dari kekuasaan itu misalnya ee kalau kita ke daerah itu pasti di daerah kita akan ya disambut di ee apa ya diberikan privilege-privilege sesuai dengan jabatan kita gitu ya Dan itu mungkin mungkin itu yang eh eh soal apa namanya eh kekuasaan itu candu itu karena dia memiliki privilage yang tidak dimiliki orang lain di luar kekuasaan dan dia memiliki fasilitas-fasilitas yang tidak dimiliki oleh orang luar gitu fasilitas negara macam-macam kan Nah godaan-godaan itu kan eh lembut sekali Mas Jadi apakah kita menggunakan fasilitas negara untuk privat atau apa itu bedanya kan tipis Bang
Oke ini yang membuat juga kemudian sejumlah aktivis yang kemudian tertarik masuk dalam kekuasaan dan kemudian candu kekuasaan itu kemudian memoderasi sikap-sikap progresif Dia?
Saya saya enggak berani untuk menjeneralisasi itu tetapi enggak semuanya aktivis seperti itu seperti halnya enggak semuanya akademisi seperti itu enggak semuanya Kementerian lembaga seperti itu. maksud saya gini eh ketika eh kita ni yang e biasanya di luar akademisi ngo mungkin teman-teman media juga karena teman-teman media juga banyak yang di dalam juga kita itu punya idealisme tentang ah kita kalau di dalam akan mengubah he tetapi begitu di dalam itu tidak semudah yang kita ee bayangkan karena itu ada birokrasi mempunyai mekanismenya sendiri dia memiliki cara sendiri memiliki bahasa sendiri sehingga ee yang dimaksud kawan saya bersahabat berkawan kita harus mengawani birokrasi itu E saya selalu menyampaikan itu ee itu maksudnya adalah karena dengan birokrasi inilah salah satu solusi untuk menjalankan kebijakan untuk rakyat itu kita enggak bisa Jadi kalau dulu ee para akademisi ee peneliti seperti saya segala macam ketika di luar itu kan ee apa namanya selalu kalau ee lantang menyampaikan ke pemerintah ini harus gini harus gini tapi dalam itu enggak ee apa namanya enggak nyambung dengan ee mekanisme birokrasi itu sendiri juga susah dilakukan jadi ee harusnya masukan-masukan pemerintah itu satu hal itu adalah bagaimana memahamkan masukan kita tuh dalam birokrasi yang rumit itu kita juga harus memahami itu juga gitu sehingga itu bisa nyambung dan kawan-kawan EE birokrasi di dalam Kementerian lembaga itu sangat ee apa namanya sangat menerima masukan-masukan yang terkait dengan itu cuman ya itu tadi birokrasi ee punya mekanismenya sendiri bahasanya sendiri punya kulturnya sendiri dan kita harus memahami itu gitu Ini yang yang agak absen h dari ee para akademisi dan peneliti yang melihat ini. kerja teknokrasinya kita suka Abai karena kita apaan sih padahal Justru itu tempat untuk e mengimplementasi tata kelola yang kita anggap baik itu
jadi pemerintah atau leader itu bisa gonta-ganti bisa datang dan pergi tapi birokrasi stay terus Dan inilah yang kemudian orang eh lupa dengan birokrasi yang memang dari dulu sampai sekarang ya begitu terus?
ya iya jadi ee apa namanya ee pemahaman atau pengetahuan tentang birokrasi itu mungkin eh banyak Eh akademisi atau ngo enggan untuk melihat kerja kerja teknokratisnya seperti apa tapi ini justru jantung perubahan yang bisa kita lakukan
apakah seorang leader tidak bisa mengubah kultur strong government atau apa tough government mengubah kultur birokrasi menjadi lebih eh apa lebih Services kepada publik?
bisa Pak Jokowi termasuk itu he yang mungkin sebagian orang kalau e pakai e pakai bahasa umumnya Pak Joko itu suka nabrak H suka nabrak e misalkan ini ini kenapa Eh ini Kenapa lambat banget eh eh 2 bulan 2 minggu ini gini gini Nah untuk jadi 2 bulan jadi 2 minggu itu kan ada mekanismenya he mungkin ee dari 14 meja Jadi 5 meja gitu itu kan juga kerja seperti ini kan juga melalui Keputusan Presiden sebagaian besar ada juga Peraturan Presiden mungkin Apa peraturan pemerintah dan itu harus ngubah lagi dan itu tadi ee apa namanya untuk mempercepat segala macam itu memang keruwetan selanjutnya adalah bagaimana ee regulasi atau kebijakan tuh harus menyesuaikan itu supaya tidak terjadi
oke demokrasi regresi Apakah ada kemungkinan semakin declining declining dan menjadi the end of democracy atau masih ada kemungkinan demokrasi itu reborn?
ya tergantung, Menurut saya gini Mas eh mungkin eh Karena gini saya yakin Ketika saya bilang mungkin eh apa namanya kita kita enggak akan kembali ke zaman yang walaupun ini juga penting untuk menakut-nakuti kita Tapi maksud saya ee ya demokrasi menurun mungkin ada ee apa namanya kebebasan yang ini mungkin mungkin ee ada apa namanya ee residu-residu yang ee apa E dari ee kebijakan-kebijakan pemimpin yang yang ee di pututuskan yang tidak sesuai dengan harapan publik dan lain-lain tapi ee kalau saya terus terang ee apa namanya sepanjang masyarakat sipil he ee tidak memandang Ini masalah H dan EE kita tidak kemudian mencarikan solusi bersama, sendiri-sendiri dengan dengungan-dengungan itu, maka ya Ee kita enggak usah menangis ketika demokrasi ketika Kita sadar demokrasi sudah selesai
dan itu kuncinya di masyarakat sipil?
sekarang kita berharap kepada masyarakat sipil kepada media walaupun kita ee tahu media pun juga tidak bebas juga kemudian ee mahasiswa Mahasiswa juga tidak bebas juga jadi eh kita akhirnya seperti acaranya Mas Budiman ini saya rasa ini kan eh podcast-podcast kan menjamur ini adalah bagian dari melipat gandakan wacana narasi tentang demokrasi itu sendiri Mas Jadi ini luar biasa Gitu Ee saya sih senang banget dengan podcast-podcast seperti ini apalagi kalau tukar gagasan ide di forum umum mungkin Ee tidak sebebas dengan misalkan kita di sini saya saya nih ee terus terang aja tanpa saya sadari itu eh betapa pertanyaan-pertanyaan mas eh Budiman itu memprovokasi saya
Selain berdialog soal demokrasi dan HAM, Jaleswari Pramodhawardhani juga menyampaikan pandangannya soal realitas partai politik hari ini yang cenderung takluk dengan kekuatan modal atau kekuatan besar tertentu, sehingga semuanya menjadi seragam dan kurang berhasil menjadi pilar demokrasi yang semestinya bisa diandalkan rakyat.
Diskusi selengkapnya dapat Anda simak melalui video berikut ini:
Leave a Reply