Airlangga Mundur, Sukarela atau Campur Tangan Penguasa?

“Akrobat politik mutakhir hanyalah menciptakan suasana ketidakpastian. Setelah pemilu usai, publik berharap adanya keteduhan, bukan sikut-sikutan, apalagi pamer kekuasaan. Publik berharap elite menghadirkan kembali politik bermartabat yang membawa manfaat bagi kesejahteraan rakyat,”

Secara mengejutkan, Airlangga Hartarto menyampaikan pengunduran dirinya dari jabatan Ketua Umum DPP Partai Golkar melalui sebuah video yang diunggah pada Minggu (11/8/2024). Pengunduran diri itu ia sebut demi kebaikan semua pihak dan untuk stabilitas transisi pemerintahan dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto.

Alasan yang ia sampaikan tentu tidak bisa diterima begitu saja oleh banyak pihak. Pasalnya, di bawah kepemimpinannya Golkar mengalami kenaikan perolehan suara signifikan di Pemilu Legislatif 2024 lalu. Golkar pun berperan besar dalam memenangkan Prabowo-Gibran di Pilpres kemarin. Sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga juga dinilai tak bermasalah, bahkan berhasil menjaga pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Berbagai spekulasi pun muncul. Salah satunya adalah kecurigaan adanya tekanan kekuasaan di balik keputusan Airlangga mundur secara tiba-tiba dari kursi Ketum DPP Partau Golkar 3,5 bulan jelang diselenggarakannya Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar Desember 2024.

Dalam program Satu Meja The Forum Kompas TV, Rabu (14/8/2024), sejumlah narasumber hadir berdialog membahas mundurnya Airlangga serta isu politik terkait dinamika serupa yang terjadi di tubuh partai politik yang lain.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menyebut pengunduran diri itu berangkat dari keputusan Airlangga dengan alasan yang personal. Selebihnya ia tidak tahu-menahu apakah di balik itu ada tekanan kekuasaan ataupun surat panggilan dari kejaksaan terkait kasus hukum yang membuat Ketua Umum Golkar periode 2019-2024 itu akhirnya memutuskan untuk mundur.

Sebagai informasi, Airlangga pernah dipanggil Kejaksaan Agung dan diperiksa selama belasan jam terkait kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada pertengahan 2023.

“Beliau menjelaskan, dan menurut saya penjelasannya itu memang sangat personal, bahwa ini untuk kebaikan, kebaikan Pak Airlangga, kebaikan keluarga, kebaikan Partai Golkar, dan kebaikan bangsa dan negara. Kami pada akhirnya harus menerima, karena itu hak Pak Airlangga sebagai seorang manusia, warga negara Indonesia yang punya pilihan,” ujar Doli.

Jika pun di balik itu semua ternyata ada surat panggilan dari Kejaksaan Agung yang membuat Airlangga merelakan jabatan Ketumnya, menurut Doli itu tidak disampaikan kepada para kader dan mereka pun tidak memiliki hak untuk menanyakan kepada Airlangga.

“Kalaupun misalnya ada, itu kan yang tahu pasti pak Airlangga, kami tidak punya otoritas untuk menanyakan dan mencari tahu. Kita tidak bisa memaksa juga pak Airlangga, kalaupun kita minta, dia mau ceritakan sama kita, kan belum tentu dia mau. Jadi saya tidak tahu kalau soal itu (panggilan Kejagung),” lanjutnya.

Doli tidak menyalahkan jika di luar beredar spekulasi beragam yang melatarbelakangi mundurnya Airlangga, namun sepanjang apa yang disampaikan Airlangga, keputusan yang ia ambil demi kebaikan semua pihak. Dan Golkar pun menghormati keputusan yang Airlangga buat.

Pasca mengalami kekosongan kursi Ketua Umum, Partai Golkar menerima realitas politik hari ini dan bersiap melakukan langkah selanjutnya demi memastikan semua tetap berjalan baik. Misalnya dengan menggelar rapat pleno dan memutuskan Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai Plt Ketua Umum Golkar dan memutuskan menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) 20 Aggustus 2024 untuk mencari pengganti Airlangga.

Ahmad Doli Kurnia menjadi salah satu narasumber di Satu Meja The Forum (14/8/2024).

Campur Tangan Kekuasaan

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya melihat sepanjang pemerintahan Joko Widodo memang terjadi pola yang sama, gonjang-ganjing di dalam sebuah partai politik. Jadi, apa yang terjadi pada Golkar baru-baru ini bukanlah yang pertama dan semestinya publik tak perlu kaget.

Ia mencontohkan ketika PPP mengalami dua kali goncangan, pertama PPP terbelah dalam dua kubu: kubu Djan Faridz dan Romahurmuziy, kedua dipecatnya Suharso Monoarfa dari Ketum PPP. Kemudian Golkar juga pernah terbelah menjadi dua kubu: kubu Agung Laksono dan Aburizal Bakrie. Di bawah rezim yang sama, terjadi fenomena pendiri partai keluar dari partai yang didirikan, yakni Amin Rais yang keluar dari PAN

“Baru pada era ini juga partai (PKS) yang dibesarkan oleh Fahri Hamzah dan Anis Matta, mereka yang harus kemudian keluar. Begitu pula terjadi pada Pak Wiranto (keluar dari Hanura), Demokrat juga hampir mengalami sebuah peristiwa yang sama. Jadi ada sebuah pola yang menjadi menarik untuk kita lihat, kok seakan-akan ada sesuatu yang dianggap normal dalam masa 10 tahun terakhir ketika partai akhirnya seakan-akan goncang atau kemandiriannya menjadi hilang,” jelas Yunarto atau akrab disapa Toto.

Atas semua yang terjadi, ia tidak menuduh siapapun termasuk Presiden Jokowi sebagai penyebab atau dalang di baliknya. Namun, ini menjadi catatan kritis bagi pemerintahan Jokowi.

Kemandirian partai adalah salah satu elemen dari indeks demokrasi yang harus dijaga. Dalam 5 tahun terakhir, kualitas demokrasi Indonesia menurut Freedom House turun dari angka 62 ke 53.

“Artinya apa, walaupun tidak bisa orang menuduh ada keterlibatan kekuasaan, tapi minimal kekuasaan harus bertanggung jawab terhadap mundurnya nilai kemandirian partai yang berujung pada turunnya nilai indeks demokrasi,” kata Toto.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno melihat ada yang tidak normal di balik mundurnya Airlangga Hartarto di tengah situasi Golkar yang sangat kondusif di mana semua kader tegak lurus kepadanya. Juga atas semua sumbangsih prestasinya baik untuk partai, Koalisi Indonesia Maju (KIM), maupun pemerintahan, Airlangga dinilai tidak memiliki dosa politik dan layak untuk kembali memimpin Golkar.

“Kenapa saya sebut tidak normal, ini orang enggak ada sakitnya secara politik, tidak ada dosanya secara politik. Yang agak sedikit rumit hari ini, di 2024 ini, karena diduga ada pihak eksternal, instrumen-instrumen politik yang cukup luar biasa, dia sangat powerful mencoba untuk menginjeksi (Golkar) melalui kekuatan politik internal di Golkar sehingga Golkar kondusif. Dan per hari ini pun seakan-akan (dimajukannya jadwal) Munas Golkar itu tak ada resistensi dari dalam,” papar Adi.

Adi pun meyakini ada sesuatu yang besar hingga akhirnya keputusan ini diambil. Airlangga yang posisinya secara politik saat ini “di atas angin” tiba-tiba mundur pasti didasari sesuatu yang serius, misalnya persoalan hukum yang mungkin ia miliki.

“Kasus Airlangga ini sebenarnya adalah politik tingkat tinggi, high politics. Kalau Airlangga mundur, artinya ada alasan bagi Golkar untuk memajukan Munas. Artinya akan ada kesan Airlangga itu mundur ikhlas lillahi taala, tanpa tekanan, tanpa persoalan, sehingga kalau Munas itu dilakukan di bulan Agustus dengan alasan vacum of power, enggak ada ketua umum di situ, ada kekosongan harus diisi dengan ketua umum yang baru. Ini yang saya sebut politiknya tingkat tinggi, by design, dan luar biasa,” ungkap Adi.

Adian Napitupulu sebagai politisi PDI Perjuangan menilai jika benar ada intimidasi yang membuat Airlangga meninggalkan kursi Ketumnya, maka ia mempertanyakan demokrasi seperti apa yang akan dibangun ke depan jika semua dilakukan dengan tekanan dan ancaman.

“Dalam berpolitik, bernegosiasi itu hal yang biasa. Siapa, bagaimana, di mana, dapat apa, seperti apa, bagaimana rencananya, dan sebagainya itu biasa-biasa saja. Tapi kalau di dalamnya ada unsur-unsur intimidasi atas instrumen apapun, itu jadi tidak sehat, demokrasinya mati,” jelas Adian.

Ia pun menganggap mundurnya Airlangga sesuatu yang lucu, mengingat tak lama lagi, sekitar 3 bulan ke depan, jabatan Ketum Golkar yang dipegang Airlangga memang akan segera berakhir secara institusional. Jadi, mengapa harus mundur sekarang, mengapa tidak menunggu masa jabatan habis, karena toh tidak lama lagi proses pergantian akan dilakukan lewat Munas.

Jika pun alasannya ada ketidakpuasan terhadap Airlangga dari pihak internal Golkar, Yunarto Wijaya mendukung apa yang disampaikan Adian sebelumnya, mengapa tidak menunggu 3 atau 4 bulan lagi untuk mengganti posisi Ketua Umum?

Atas alasan-alasan yang sudah dikemukakan, Toto pun melihat adanya potensi campur tangan kekuasaan, dalam hal ini Jokowi. Ia tidak bisa memastikan hipotesisnya benar, namun berdasarkan analisis politik yang ia lakukan, nama Jokowi menjadi sangat mungkin sebagai orang yang berkepentingan atas lengsernya Airlangga dari posisi Ketum Golkar di saat-saat ini.

Dalam kacamata Toto, Airlangga berdalih mundur demi kelancaran transisi pemerintahan, maka ada dua nama besar di sana: Jokowi dan Prabowo. Ia melihat tidak ada urgensi Prabowo mengacak-acak Golkar di saat-saat ini, jika ia ingin ikut campur menentukan siapa Ketum Golkar selanjutnya. Justru pada Munas di bulan Desember nanti itulah kekuasaan sebagai Presiden sudah Prabowo pegang, tidak seperti sekarang di mana ia masih menjadi pembantu Jokowi sebagai menteri di kabinet.

“Lebih baik (masuk akal) terkait dengan Jokowi, selain munculnya nama Bahlil yang menguat (menjadi pengganti Airlangga) yang dianggap orang dekat Jokowi. Ada sebuah analisis yang memang menjadi masuk akal bahwa Pak Jokowi, andai kata dianggap sebagai pihak yang ikut serta, dia tidak mungkin bisa ikut serta pada bulan Desember (jadwal Munas semestinya), karena dia sudah tidak berkuasa lagi. Sementara ketika itu (Munas) dilakukan bulan Agustus dia masih berkuasa,” papar Toto.

Menanggapi nama Bahlil Lahadalia yang disebut-sebut menjadi kandidat kuat pengganti Airlangga, Doli selaku pihak internal Golkar tidak menampiknya. Pasalnya Bahlil dinilai memenuhi kriteria ketua umum sebagaimana diatur dalam ADART Partai Golkar. Misalnya, ia adalah kader aktif dan pernah menjabat sebagai pengurus Golkar di tingkat tertentu.

“Nanti di Munas ini siapa saja diberi kesempatan selama seseorang itu memenuhi syarat yang diatur dalam ADART kami. Saudara Bahlil pernah jadi pengurus, memenuhi syarat untuk itu (calon ketua umum),” jawab Doli.

Berdasarkan rapat pleno yang sudah digelar oleh Partai Golkar sebagai tindak lanjut dari mundurnya Airlangga Hartarto, partai bergambar pohon beringin itu sudah memutuskan akan melaksanakan Munaslub pada 20 Agustus 2024.

Meski Munaslub belum dilaksanakan, namun di media sosial sudah banyak beredar nama-nama yang akan menduduki struktur kepengurusan DPP Partai Golkar, mulai dari ketua umum, wakil ketua umum, dan seterusnya. Menanggapi hal ini, Doli menyebutnya sebagai spekulasi belaka.

Menurutnya, nama-nama tersebut baru akan diputuskan pada saat Munaslub pekan depan dan melalui alur tertentu hingga akhirnya dimasukkan ke susunan pengurus.

Adi Prayitno melihat perjalanan Golkar selama ini, khususnya dalam konteks pemilihan ketua umum memang kerap kali diwarnai huru-hara, diisi nama-nama politisi kelas dewa, ia mencontohkan perebutan kursi ketum antara Akbar Tanjung versus Jusuf Kalla, atau Aburizal Bakrie lawan Surya Paloh. Semua nama besar bertarung, kalah menang biasa, semua adalah kader Golkar, sehingga apapun yang terjadi maka Golkar lah yang akan menanggung.

Namun, berbeda dengan huru-hara pemilihan ketua umum di tahun 2024 ini yang dinilai ada intervensi dari pihak eksternal Golkar.

“Di luaran ada tweet-tweet, nanti ada Dewan Pembina, Wakil Ketua Umum yang posisinya akan powerful melampaui Ketua Umum, kan ini yang simpang siur. Partai politik itu adalah instrumen demokrasi, independensinya harus ditegakkan dan dihormati,” ujar Adi.

Ia pun berharap siapapun kekuatan politik yang ada di luar sana untuk bisa menjaga independensi partai politik ini. Biarkan partai berjalan sesuai dengan dinamika dan kehendak politiknya, jangan dicampuradukkan dengan urusan yang lain.

Dialog lengkap kelima narasumber dapat disaksikan dalam video berikut ini:


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *