“…untuk kami tidak terlalu masalah pelebarannya, itu masih sesuai dengan pasal 7 pasal tentang operasi militer dan juga tugas-tugas angkatan di pasal 8, 9 ,dan 10 di Undang-Undang TNI. Yang menjadi masalah karena kemudian ada pasal penutup yang disesuaikan dengan kebutuhan pemerintah dan kebutuhan kementerian ya itu yang kemudian bisa memperluasnya menjadi pasal karet yang memungkinkan hampir semua kementerian/lembaga mengajukan itu ke Presiden,”
Isu bangkitnya dwifungsi ABRI bahkan multifungsi TNI kembali mencuat pasca revisi UU TNI No 34 Tahun 2004 masuk di Badan Legislasi DPR. Beberapa poin revisi mengindikasikan bahwa anggota TNI aktif bisa melakukan fungsi-fungsi di luar fungsi pertahanan, seperti menduduki jabatan sipil dan melakukan bisnis.
Mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) 2022-2023 Andi Wijayanto hadir di podcast Back to BDM untuk berdialog terkait hal ini.
Pertama, Andi menjelaskan konteks revisi UU TNI sebetulnya dilandasi urgensi tertentu yang justru tidak menjadi pembicaraan di publik. Urgensi itu garis besarnya adalah evaluasi UU TNI yang sudah diterapkan selama 20 tahun sekaligus menilai bagaimana jalannya reformasi militer yang sudah dimulai sejak tahun 1999.
Terkait dengan TNI, ada juga sejumlah aturan yang harus dikaji ulang, seperti TAP 6 dan TAP 7 MPR, Undang-Undang Pertahanan, Undang-Undang TNI, Undang-Undang Intelijen, Undang-Undang Industri Pertahanan, dan Undang-Undang Pemanfaatan Sumber Daya Nasional (PSDN).
“Rangkaian itulah yang kami teliti. Dirasakan ada kebutuhan, misalnya ada beberapa perkembangan di teknologi militer yang tidak ditampung dirangkaian undang-undang itu, ada perubahan-perubahan strategi baru, kita punya terminologi-terminologi baru tapi tidak ada di doktrin pertahanan atau doktrin TNI, kita belum secara detail membahas tentang cyber, tentang artificial intelligence. Ada perubahan yang signifikan yang membuat kita harus duduk bareng lagi untuk kemudian melakukan evaluasi secara menyeluruh,” jelas Andi.
Politisi PDI Perjuangan itu menyebut sebetulnya revisi UU TNI ini baru pada tahap kajian awal. Setelah sejumlah pihak duduk bersama, temuan utamanya adalah diperlukan revisi secara komprehensif dan menyeluruh, bukan revisi di bagian-bagian kecil saja. Harapannya agar kita bisa mendapat hasil evaluasi yang benar tentang 20 tahun reformasi militer jika dikaitkan dengan dinamika ancaman, karakter perang, dan lompatan teknologi.
Namun, naskah usulan revisi yang diterima PDI Perjuangan di DPR hanya terkait 2 pasal, yakni tentang usia pensiun dan penempatan perwira di kementerian/lembaga non Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI. Dan sampai saat ini belum ada putusan final pasal apa yang akan dibahas.
TNI Duduki Jabatan Sipil
TNI memiliki fungsi utama sebagai garda terdepan yang bertanggung jawab mempertahankan keutuhan dan kedaulatan wilayah negara. Anggota TNI pun diharapkan bisa fokus dan profesional menjalankan fungsi utamanya tersebut. Namun, revisi UU TNI disebut memungkinkan anggota TNI aktif kembali menduduki jabatan strategis di wilayah sipil sebagaimana era Orde Baru, sehingga isu bangkitnya dwifungsi ABRI kembali menyeruak.
Terkait hal ini, Andi menjelaskan ada penyesuaian yang perlu dilakukan di pasal 47 UU TNI. Pasal itu menyebut secara eksplisit badan/lembaga apa saja yang boleh diduduki oleh anggota TNI. Misalnya Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR Nasional, dan Mahkamah Agung.
Namun, pada perjalanannya nama-nama lembaga itu ada yang mengalami perubahan atau perbedaan penamaan, misalnya Lembaga Sandi Negara (LSN) yang kini berubah menjadi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang sebenarnya satu napas dengan SAR Nasional di bidang pertolongan kebencanaan, namun berbeda nama.
Andi mengungkapkan, perbedaan nama itu selalu menimbulkan perdebatan boleh atau tidak sesungguhnya diduduki oleh anggota TNI, karena tidak tertulis secara eksplisit dalam pasal 47 UU TNI.
“Hal-hal itu yang kemudian menyadari butuh penyesuaian. Pasal 47 yang hanya (menyebut) 10 kementerian/lembaga ini tidak bisa menampung perkembangan kelembagaan yang ada di Indonesia,” ujar Sekretaris Kabinet 2014-2015 itu.
Politisi 52 tahun itu menceritakan pada beberapa kasus ia harus bekerja keras menemukan celah undang-undang agar anggota TNI yang akan menduduki suatu jabatan sipil di lembaga yang namanya tidak tersebut di Pasal 47 bisa dengan sah menjabat dan tidak menabrak aturan. Misalnya ketika Doni Monardo yang ketika itu masih menjadi perwira aktif, ditunjuk sebagai kepala BNPB. Dicari celah aturannya hingga akhirnya memakai Pasal 47 dikaitkan dengan Pasal 7 tentang tugas pokok TNI.
“Kami berusaha agar minimal tetap menyantol ke undang-undang TNI, apakah pasal 7, apakah pasal 8, 9, 10 tentang tugas angkatan yang kemudian mendampingi interpretasi tentang pasal 47 tersebut,” ujar dia.
Bagaimana Pasal 47 menuliskan nama lembaga secara eksplisit dinilai jadi satu kelemahan yang mesti diperbaiki agar lebih kontekstual.
Dalam draft revisi yang diterima PDI Perjuangan, pelebaran lembaga ini sesungguhnya sudah sesuai dengan pasal-pasal di dalam UU TNI. Hanya saja, pada bagian penutup, Andi menyebutkan ada klausul disesuaikan dengan kebutuhan pemerintah dan kementerian.
“Itu yang kemudian bisa memperluasnya menjadi pasal karet yang memungkinkan hampir semua kementerian/lembaga mengajukan itu ke presiden,” kata Andi.
Padahal, sepanjang pengalamannya membantu Presiden, hampir seluruh permintaan perwira aktif untuk duduk di jabatan sipil di luar Pasal 47 itu datang dari Presiden atau menteri teknis yang bersangkutan, karena hubungan personal antara pejabat dengan perwira TNI yang diajukan. Jadi, bukan karena adanya arahan sistematis dari Mabes TNI, proyeksi karier ke depan, dan sebagainya. Hal ini lebih Andi khawatirkan daripada isu kembalinya dwifungsi ABRI.
“Jadi tidak dari Panglima TNI ke asisten personel untuk menugaskan beberapa perwira menduduki jabatan-jabatan di luar Pasal 47, tapi selalu datang dari menteri yang punya hubungan personal khusus dengan seorang perwira, disampaikan, kemudian kita berusaha mencari celahnya agar tidak terlalu menabrak Undang-Undang TNI,” ungkap Andi.
Namun, kasus-kasus seperti itu disebut Andi sangat sedikit, dalam 10 tahun terakhir tidak sampai 10 kasus, semacam anomali saja, sehingga hanya ditangani menggunakan pendekatan-pendekatan khusus.
Anggota TNI yang hendak ditempatkan di jabatan sipil idealnya adalah anggota yang sudah tidak aktif atau mengajukan pensiun dini. Namun, ada dua hal yang menyebabkan mengapa saat ini perwira aktif TNI bisa menjabat di ranah sipil. Pertama karena ada kebutuhan di kementerian biasanya terkait dengan kompetensi, dan yang kedua ada sumbatan karier di tubuh TNI itu sendiri sejak berakhirnya dwifungsi ABRI.
Untuk alasan pertama, Andi menyebut semestinya kementerian/lembaga lah yang memperbaiki kompetensi sumber daya manusianya, sehingga tidak perlu menarik SDM dari luar. Sementara untuk alasan kedua, ia menilai dibutuhkan penyelesaian bertahap.
“Penyelesaiannya ada beberapa, yang pertama adalah mengurangi atau bahkan menghentikan penerimaan perwira baru di Akmil. Yang kedua memberikan peluang untuk pensiun dini. Perwira pangkat Kolonel yang tidak bisa menjadi bintang satu ditawarkan pensiun dini, diberikan keahlian bekal kompetensi yang lain, sehingga dia berwirawasta, masuk ke bisnis, atau masuk ke kementerian/lembaga lain karena sudah dibekali kompetensi,,” papar Andi.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah menambah atau membuka struktur baru sehingga bisa menampung perwira-perwira yang belum mendapatkan posisi. Namun, semua ini harus dilakukan secara berkesinambungan dengan pengurangan penerimaan perwira baru dan pensiun dini.
“Jawabannya bukan mengalihkan ke jabatan sipil, itu tidak akan secara struktural membantu (menyelesaikan) hambatan kepangkatan atau karier yang ada di organisasi TNI,” ujar Andi.
Terlebih jika di bawah kepemimpinan Prabowo nanti terjadi percepatan pembentukan satuan-satuan baru, terutama di Angkatan Darat. Masalah akan bisa diselesaikan tanpa perlu melonggarkan ketentuan di Pasal 47.
TNI Berbisnis demi kesejahteraan
Hal lain yang juga kontroversial dalam revisi UU TNI adalah anggota TNI yang disebut boleh melakukan bisnis demi meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Terkait hal ini, Andi menjelaskan draft revisi yang pihaknya terima hanya mencoret larangan prajurit untuk berbisnis, namun tidak ada ketentuan mereka boleh menjalankan bisnis.
“Jadi kan ambigu, tidak dilarang tapi tidak dibolehkan,” ujar Andi.
Jika prajurit boleh berbisnis, ia berharap arahnya adalah untuk membantu memperkuat pertahanan negara. Misalnya untuk menutup kekurangan biaya operasional harian di satuan, kapal-kapal yang tidak ditopang oleh biaya operasional bisa terisi cukup bahan bakar, dan sebagainya.
Berbisnisnya anggota TNI semestinya bukan untuk menyejahterakan hidup mereka, karena kesejahteraan hidup TNI dan keluarganya sudah dijamin oleh negara.
“Itu tugas negara, 100 persen tugas negara memastikan kesejahteraan prajurit itu cukup, dan itu sudah diatur di undang-undang TNI ada pasal 49. Pasal 49 itu sudah mengatur komponen-komponen kesejahteraan mulai dari gaji, tunjangan, tunjangan operasional, asuransi, pendidikan yang harus dipenuhi oleh negara. Tinggal penuhi saja itu sehingga TNI di semua lapisan dari prajurit sampai jenderal bintang itu memang memiliki penghidupan layak yang keluarganya juga bisa memiliki kesejahteraan tertentu,” jelas Andi.
Ada satu fakta menarik yang berhasil ditemukan Andi saat ia masih menjabat Gubernur Lemhannas. Ketika itu, ia menemukan ketentuan di Pasan 49 UU TNI tentang tunjangan operasi militer yang besarannya masih ratusan Rupiah, karena berdasar pada peraturan pemerintah di tahun 1966.
Besaran tunjangan itu tidak pernah diganti, kemudian di eranya diajukanlah usulan penyesuaian. Hemat dia, mengupayakan kesejahteraan hidup prajurit dari 100 persen dana APBN adalah suatu hal yang masih mungkin dilakukan, tanpa perlu mendorong TNI untuk berbisnis.
Kembali pada dihapusnya larangan berbisnis bagi anggota TNI di revisi UU TNI, menurut Andi TNI semestinya tetap dilarang untuk berbisnis. Alasannnya, hal itu sesuai dengan tujuan utama reformasi militer di tahun 1999, yakni membentuk tentara yang profesional.
“Definisinya saat itu sederhana, membentuk tentara profesional sama dengan hilang karakter tentara politik, TNI tidak lagi sospol, tidak lagi kekaryaan, dan hilang karakter tentara niaga, TNI tidak masuk ke dunia bisnis. (Kesejahteraan prajurit) Itu harus sepenuhnya menjadi tugas negara, karena itu dalam pasal di Undang-Undang TNI yang mengatur tentang pembiayaan itu kata-katanya 100 persen kebutuhan TNI dibiayai 100 persen lewat anggaran negara,” sebut Andi.
Jika anggota TNI diizinkan untuk berbisnis, dikhawatirkan akan mengganggu profesionaitasnya. TNI yang profesional adalah TNI yang berada di dalam koridor demokratik, dalam kendali sipil yang kuat. Salah satu bentuknya adalah TNI yang sepenuhnya didukung oleh dana APBN dan tidak melibatkan sumber-sumber lainnya.
Hak Memilih Anggota TNI
Satu hal lagi yang menjadi dialog Budiman Tanuredjo dengan Andi Wijayanto adalah soal hak memilih TNI yang selama ini tidak diberikan oleh undang-undang demi menjamin netralitas dalam urusan politik.
Secara pribadi, Andi mengaku tidak sependapat dengan aturan tersebut. Menurutnya, anggota TNI tetaplah seorang warga negara yang seharusnya memiliki hak untuk memilih.
Soal netralitas yang menjadi dipertanyakan, Andi menjawab seorang anggota TNI bisa tetap netral meski memiliki hak pilih selama yang bersangkutan memiliki kedewasasan politik. Kedewasaan politik inilah yang tidak bisa didapatkan dalam waktu instan.
Berdasarkan hasil peneltian LIPI, dibutuhkan 7 kali pemilu secara berturut-turut untuk mengonsolidasikan demokrasi dan kematangan berpolitik terbentuk.
“Sebelum Pemilu 2024 saya mengatakan kembalikan hak memilih TNI di pemilu 2034. Waktu itu asumsinya selesaikan dulu proses konsolidasi demokrasi. 2029 demokrasi terkonsolidasi, kedewasaan kematangan politik terjadi, kembalikan (hak pilih TNI) untuk Pemilu 2034,” kata dia. Namun, penilaian dari berbagai pihak, Pemilu 2024 kemarin terjadi regresi demokrasi, sehingga dimungkinkan dibutuhkan waktu lebih panjang untuk mencapai kedewasaan berpolitik yang sebelumnya diprediksi sudah bisa terjadi di Pemilu 2034.
“Mungkin kita membutuhkan tambahan satu atau dua pemilu lagi untuk benar-benar meyakinkan konsolidasi politik terjadi, kematangan kedewasaan politik ada, sehingga TNI bisa kita berikan hak memilihnya. Tergantung dari kematangan demokrasi yang kita lalui sekarang,” ujar Andi.
Andi pernah mengkaji untuk melihat proses kematangan politik, hak memilih bagi TNI diberikan terlebih dahulu untuk lingkup Pilkada, jika sudah berhasil, maka bisa ditingkatkan ke level yang lebih tinggi.
Kapan Revisi UU TNI Sebaiknya Dikerjakan?
Sebagaimana disebutkan di awal, Andi berharap revisi UU TNI dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh, bukan sekadar fokus pada bagian-bagian kecil yang kurang signifikan.
Sayangnya, yang terjadi sekarang tidaklah demikian. Oleh karena itu, PDI Perjuangan meminta agar revisi ini jangan dulu dilaksanakan mengingat belum adanya kajian menyeluruh yang bisa menghadirkan potret utuh 20 tahun reformasi, khususnya dalam konteks TNI dan Polri.
PDI Perjuangan berharap revisi UU TNI tidak dibahas dalam masa sidang saat ini, karena pemberlakuannya pun masih akan di masa pemerintahan presiden baru, Prabowo Subianto. Lagi pula, Andi merasa untuk saat ini tidak ada kebutuhan mendesak terkait revisi UU TNI.
“Walaupun revisinya disahkan, tetap saja harus ada Perpres yang harus dibahas di Setneg dengan PanRB dan Kumham untuk menyusunnya. Jadi, ketimbang kita bekerjanya perintilan ya berikan kesempatan untuk betul-betul mengkajinya secara komprehensif” pungkas Andi.
Dialog dan lembahasan selengkapnya mengensi revisi UU TNI dapat disaksikan melaui video pada tautan berikut:
Leave a Reply