“…kalau dia (DPA pengganti Wantimpres) mau diidealkan setara dengan lembaga negara yang lain itu tentu harus perubahan Undang-Undang Dasar, tapi kalau dia misalnya hanya menggunakan DPA sebagai nama. It’s ok saja…”
DPR melalui Rapat Pleno Badan legislasi (9/7/2024) membahas revisi Undang-undang No 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Salah satu poin yang mengemuka dari revisi tersebut adalah rencana menghidupkan kembali Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
DPA merupakan lembaga negara yang bertugas memberikan masukan atau pertimbangan kepada Presiden, setelah dilakukan amandemen ke-4 UUD 1945, lembaga ini kemudian dihapus dan diganti dengan Dewan Pertimbangan Presiden.
Budiman Tanuredjo berbincang bersama Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008 Prof Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H dalam BacktoBDM di kanal YouTube Budiman Tanuredjo.
Jimly yang pernah menjadi anggota Wantimpres selama 1,5 tahun itu pun memberikan pandangannya soal rencana penghidupan kembali DPA di masa-masa transisi kekuasaan dari rezim Joko Widodo ke Prabowo Subianto saat ini.
Secara konstitusional, Jimly menyebut jika DPA yang dimaksud adalah DPA sebagaimana terbentuk ketika era awal kemerdekaan Indonesia, maka itu adalah hal yang tidak tepat. Pasalnya, dulu DPA diatur dalam bab tersendiri, terpisah dari bab tentang kekuasaan pemerintahan. Dulu, DPA ada di luar kekuasaan Presiden, lembaga itu setara dengan lembaga-lembaga negara yang lain seperti DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Kalau DPA mau dikembalikan seperti itu ya susah, harus mengadakan perubahan Undang-Undang Dasar lagi. Tapi kalau misal yang dimaksudkan itu hanya namanya yang diambil, ya bisa saja, kan sekedar nama,” kata Jimly.
Di pasal 16 UUD 1945 yang terbaru disebutkan “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang”. Secara eksplisit di sana tertulis Presiden hanya diminta membentuk suatu dewan pertimbangan, apapun namanya, DPA kah, Wantimpres kah, semua bisa, selama fungsinya sebagai penasehat dan pemberi pertimbangan.
Perubahan nama dari Wantimpres ke DPA dengan segala ketentuannya yang hari-hari ini ramai diperbincangkan bisa saja merupakan upaya pemerintah mengakomodasi banyaknya kepentingan-kepentingan politik di tengah terbatasnya kursi menteri di kabinet, sehingga perlu dibuatkan lembaga khusus untuk menampung kelompok-kelompok yang belum mendapatkan jabatan.
Namun, bisa juga ini merupakan evaluasi kelembagaan negara yang wajar terjadi setelah 25 tahun reformasi.
“Sudah 25 tahun reformasi, ini kan boleh kita evaluasi apa gunanya ini lembaga? Kayak Komisi Yudisial, apakah sudah maksimal? Termasuk Wantimpres,” ujar Jimly.
Saat DPA belum dibubarkan, pada medio 2001-2002 Jimly sempat mengusulkan agar DPA dievaluasi, ditingkatkan perannya. Namun, usulnya tidak diterima, justru DPA dibubarkan. Jimly mengatakan ada kemungkinan karena Ketua DPA saat itu Baramuli banyak tidak disukai.
DI era kepemimpinan Presiden Habibie, DPA resmi dihapus dan diganti dengan Wantimpres dengan ketentuan undang-undang di tahun 2006-2007.
Saat Jimly menjadi anggota Wantimpres, ia sempat mengusulkan agar Wantimpres sebagai satu-satunya lembaga penasihat yang tercantum dalam konstitusi, mengkoordinasi semua lembaga penasihat presiden lainnya, seperti Hankamnas, Lemhannas, dan lain sebagainya. Usul itu disambut baik oleh anggota Wantimpres lain, namun urung dilakukan karena alasan usia para anggota Wantimpres yang relatif sudah tua, sehingga khawatir jika tupoksi akan bertambah derastis jika Wantimpres mengakomodir lembaga-lembaga advisori lainnya.
“Padahal saya kan melihat bahwa lembaga ini harus kita fungsikan maksimal,” sebut dia.
Negara-negara lain di dunia juga memiliki lembaga penasihat seperti DPA, misalnya Raad van State di Belanda. Kewenangan lembaga-lembaga itu reta-rata hanya ada dua, yakni memberi nasihat kepada pemerintah juga parlemen dan berfungsi sebagai peradilan tertinggi bidang administrasi.
Tidak mudah jika Indonesia ingin meniru sepenuhnya bagaimana lembaga penasihat yang ada di negara lain. Jadi, DPA hanya disusun untuk fungsi umum saja, memberi pertimbangan, tidak disertai dengan fungsi pengadilan.
Sayang, dalam perkembangannya DPA kurang berfungsi dan terkesan menjadi aksesoris saja. Maka muncul ide membubarkan DPA dan memasukkannya menjadi bagian dari kantor eksekutif presiden.
Kembali pada rencana penggantian Wantimpres menjadi DPA, Jimly mengingatkan agar para perancang di belakang usulan ini benar-benar memahami apa saja yang harus diperkuat dari segi tugas dan kewenangannya. Jadi, kalau benar DPA akan kembali dibentuk, jangan sampai seperti DPA yang pernah ada yang fungsinya tidak optimal.
“Kalau ini mau menggunakan istilah lama kembali ke nama DPA, ya boleh-boleh saja, cuma apa tugas yang mau ditingkatkan. Kalau sama kayak sekarang (Wantimpres), ya sama saja bohong,” tegas Jimly yang saat ini menjadi anggota DPD dari Jakarta.
Jika DPA nanti hanya sebagai penasihat bagi Presiden, maka cukup dibuatkan undang-undang baru. Namun, jika DPA berfungsi seperti Raad van State yang juga menjadi penasihat legislatif, maka perlu dilakukan kembali amandemen UUD 1945. Karena sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dalam Pasal 16 UUD 1945, dewan pertimbangan hanya memberi pertimbangan kepada presiden, tidak DPR.
Dalam hal menjadi pemberi pertimbangan bagi presiden, ada tiga substansi DPA yang harus diketahui. Pertama, DPA memberi pertimbangan untuk pengambilan keputusan strategis negara. Kedua, pertimbangan untuk pembuatan kebijakan. Terakhir, menjadi pemberi pertimbangan jika akan melamukan amandemen UUD yang memerlukan konsolidasi dukungan mayoritas parlemen.
“Kalau demikian DPA ini harus berisi orang-orang yang punya akses ke partai. Sekarang di Undang-Undang Wantimpres (anggotanya) dilarang dari partai. Teorinya dilarang, tapi ya orang partai juga sebetulnya meski tidak lagi pengurus,” ujar Jimly.
Ia menyebut, selain orang-orang dari partai politik yang memiliki akses suara di legislatif, anggota Wantimpres semestinya diisi oleh ahli atau ekspertis. Semestinya, aturan yang melarang orang partai menjadi anggota Wantimpres itu harus dihapus. Dengan latar belakang fungsi Wantimpres, Jimly menyatakan idealnya ketua umum partai-partai koalisi itu tidak duduk kabinet, melainkan di dewan lertimbangan ini.
“Intinya pimpinan partai yang bisa memengaruhi pengambilan keputusan di DPR atau di MPR, itu di sini, sehingga pertimbangan Presiden itu ada gunanya untuk memperkuat presidensialisme,” kata Jimly.
Di tengah isu adanya niat untuk mebambah anggota Wantimpres dari 9 ke jumlah yang lebih banyak, Jimly terang-terangan menyatakan tidak setuju. Ia berpendapat 9 orang itu adalah jumlah yang harus dipertahankan.
“Saran saya jangan ditambah, cukuplah 9. Angka 9 itu kan simbol. MK 9, Wali Songo 9, itu kan sudah bahasa magic. Magic number Indonesia itu. Nah sekarang Wantimpres sudah jangan ditambah, sehingga tidak memberi pembenaran pada kiralogi politik tadi (DPA dibentuk untuk mengakomodasi kepentingan politik),” sebut Jimly.
Untuk menentukan anggota Wantimpres merupakan hak prerogatif Presiden. Ia lah yang berhak menentukan siapa yang akan dipilih untuk menjadi penasihatnya. Namun, Jimly menyampaikan krientasi rekruitmen idealnya harus melihat pada aspek kemampuan, bukan keterwakilan. Dari 9 anggota yang ada, 5 sebaiknya dari partai politik koalisi, 4 lainnya berasal dari ekspertis.
“Empat itu expertis karena pengalaman, ya orang-orang yang sudah senior, bisa saja mantan Wapres misalnya. kalau mantan presiden lebih baik janganlah,” sebut Jimly.
Mengangkat tokoh-tokoh ahli yang berpengalaman dinilai samgat penting dan dibutuhkan oleh Presiden jika membutuhkan masukan untuk menangani masalah-masalah geopolitik global dan sebagainya. Ahli diperlukan, karena pertimbangan-pertimbangan magang soal masalah ini tidak bisa didapatkan lewat orang partai.
Ketika ditanya apakah manran-mantan presiden seperti Megawati dan Joko Widodo nantinya, sebaiknya masuk di Wantimpres, Jimly menyebut tidak perlu.
“Saya rasa enggak, enggak tepat dan belum tentu mau juga mereka. Itu kan karena kiralogi aja, kira-kira oh ini untuk memberi tempat pada Jokowi. Kalau menurut saya enggak praktis juga. Udah biarin aja dia tinggal di Solo, lalu membina PSI dari jauh melalui anaknya dan membina Wapres dari jauh,” jawabnya.
ia menilai, mantan-mantan presiden ini nantinya cukup berkumpul di Presidential Club sebagaimana ramai dibicarakan sebelumnya. Dengan catatan, Presidential Club ini tidak perlu dilembagakan, cukup informal saja.
Mengingat saat ini sudah ada di masa transisi pemerintahan lama kr pemerintahan baru, terkait pemilihan anggota Wnatimpres atau DPA disebut Jimly sebaiknya dilakukan oleh presiden terpilih saja. Pasalnya, periodisasi Wantimpres harus sesuai dengan periodisasi presiden yang akan mendapat nasihat dari dewan ini.
“Jadi kalau diangkat oleh presiden sekarang, kan berakhir dengan (akan dijalani oleh) presiden yang akan datang,” ujarnya.
Dialog lengkap BDM dan Prof. Jimly Asshiddiqie dapat Anda simak melalui video dalam tautan di bawah ini:
Leave a Reply