“26 tahun lalu, tahun 1998, gerakan reformasi menuntut pencabutan Dwifungsi ABRI. Kini, melalui revisi Undang-Undang TNI memunculkan prasangka akan dikembalikannya dwifungsi atau bahkan multifungsi TNI. Selayaknya, elite politik mendengarkan suara rakyat sebagai bentuk partisipasi bermakna yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi. TNI profesional dan sejahtera adalah kebutuhan bangsa ini…”
Revisi Undang-undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 mendapat banyak sorotan, karena dinilai memungkinkan anggota TNI kembali bisa menduduki jabatan sipil dan memungkinkan mereka menjalankan bisnis di luar tanggung jawabnya sebagai garda terdepan penjaga kedaulatan negeri. Poin-poin revisi itu dikhawatirkan akan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI yang berlaku di masa sebelum reformasi.
Sejumlah tokoh hadir dan bergabung dalam dialog yang dipandu oleh Budiman Tanuredjo di program Satu Meja The Forum Kompas TV (24/7/2024) yang mengangkat tema “Undang-undang Direvisi, TNI Kembali Dwifungsi?” untuk membahas persoalan ini.
Anggota Komisi I DPR-RI, Syarief Hasan menyebut ide awal revisi UU TNI ini dipicu sejumlah hal yang terjadi di Tanah Air, seperti pergantian Panglima TNI yang begitu cepat dan minimnya anggaran Kementerian Pertahanan.
Pangllima TNI yang dimaksud adalah Jenderal TNI (Purn) Andika Perkasa yang harus melepas posisinya karena telah memasuki usia pensiun, padahal ia baru menjabat sebagai pucuk pimpinan di TNI selama 1 tahun 1 bulan.
“Menurut kita, performer mereka pada usia 58 tahun itu sebenarnya masih aktif dan produktif. Yang kedua kalau dibandingkan negara-negara yang maju lainnya seperti Singapura dan Amerika, mereka usia (pensiun)nya agak lebih di atas, bisa sampai 60,, bahkan Amerika 64. Kenapa, karena mereka masih produktif,” kata Syarief.
Sementara kecilnya anggaran yang dimiliki oleh Kemenhan disebut berakibat pada ketidakmampuan negara memenuhi kebutuhan alutsista yang dibutuhkan TNI dan menyejahterakan kehidupan para tentara.
“Anggaran Kementerian Pertahanan itu sangat minim sekali, dari tahun 2020-2024 itu hanya berkisar antara 127 triliun sampai 139 triliun, yang mana itu tidak lebih bahkan kurang dari 1% dari PDB. Implementasinya adalah Kemenhan tidak bisa memenuhi kebutuhan alutsista yang diinginkan. Sesuai dengan program Minimum Essential Force, oleh Kemenhan itu hanya dicapai 65%. Nah yang kedua kesejahteraan prajurit, meliputi dana lapangan, lauk pauk, perlengkapan, kesehatan, perumahan, dan sebagainya,” jelas Syarief.
Anggaran terbatas inilah yang disebut Syarief berkaitan dengan pemberian izin anggota TNI untuk berbisnis. Dengan asumsi, jika mereka berbisnis maka kebutuhan dasar hidup mereka bisa lebih mudah terpenuhi sehingga memotivasi mereka untuk berprestasi yang pada akhirnya meningkatkan ketahanan negara.
Untuk sekarang, Syarief mengungkap proses revisi masih ada di Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI dan nantinya akan dibawa ke Paripurna sebelum akhirnya diputuskan dan dibawa ke Komisi I.
Menanggapi penjelasan tersebut, peneliti senior Imparsial Al Araf mengatakan latar belakang kondisi yang dipaparkan Syarief tidak cukup kuat untuk akhirnya DPR melakukan revisi UU TNI.
Misalnya, PR untuk meningkatkan anggaran Kemenhan merupakan ranah kewenangan dan tanggung jawab pemerintah juga DPR. Mereka lah yang bisa menentukan apakah anggaran akan dinaikkan atau diturunkan. Selanjutnya, soal upaya meningkatkan kesejahteraan prajurit dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 juga sudah disebutkan secara tegas itu merupakan tanggung jawab negara untuk memenuhinya.
“Ada persoalan disorientasi alokasi untuk sektor pertahanan, misalkan ada duit cukup banyak harusnya untuk TNI tapi diperuntukan komponen cadangan, harusnya untuk Komponen utama saja. Banyak yayasan-yayasan bisnis TNI yang dulu diambil alih, tidak jelas statusnya seperti apa. Seharusnya bisa ditingkatkan untuk kesejahteraan prajurit, sayangnya negara gagal untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit lalu dibebankan kepada prajurit TNI untuk berbisnis,” jelas Al Araf.
Selain disalokasi anggaran dan tidak dibangunnya sumber-sumber potensial untuk kesejahteraan prajurit, Al Araf juga menyorot faktor lain mengapa negara bisa gagal menyejahterakan para prajurit TNI yakni adanya dugaan korupsi di sektor pertahanan.
Lagi pula, menurut Al Araf prajurit TNI semestinya profesional bekerja dalam bidang militer, tidak masuk ke dalam ranah politik, apalagi bisnis. Ini penting agar kedaulatan negara bisa terjamin. Fokus para prajurit adalah menjaga keutuhan NKRI, bukan hal-hal lain di luar itu.
“Kebanggaan kepada militer adalah ketika dia berada di depan untuk menjaga kedaulatan negara. Jadi, jangan tarik-tarik mereka ke dalam kegiatan berbisnis, karena akan melemahkan profesionalisme dan akan melemahkan upaya menjaga kedaulatan negara itu sendiri,” ungkap Al Araf.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhamnas) 2016-2022 Agus Widjojo menilai tidak ada urgensi saat ini merevisi UU TNI. Sebaliknya, ia beranggapan mempertahankan UU TNI yang saat ini berlaku jauh lebih tepat. Dalam UU tersebut, terdapat hal-hal yang bisa menghilangkan potensi melemahnya profesionalitas TNI.
UU TNI 34 2004 adalah produk reformasi yang juga dilahirkan DPR, pasca ambruknya rezim pemerintahan Presiden Soeharto. Ketika itu, sistem politik di Indonesia berubah menjadi demokrasi, dari sebelumnya yang masih dalam sistem sementara, darurat, di masa-masa jelang atau awal kemerdekaan.
“Pak Harto adalah figur terakhir dari angkatan 45 yang menjalankan pemerintahan dan setelah itu kita harus berpikir sistem apa yang menggantikan sistem yang tadinya didasarkan pada camaraderie angkatan 45. Kita sepakat sistem demokrasi, maka semua harus disesuaikan dengan kaidah-kaidah demokrasi, termasuk fungsi pertahanan, posisi TNI yang tadinya sebagai tentara pejuang, tentara rakyat ini sekarang menjadi tentara profesional,” ungkap Agus yang juga merupakan anggota tim perumus reformasi TNI.
Mewakili DPR sebagai pihak yang mencetuskan draf revisi UU TNI, Syarief Hasan menyebut bahwa membicarakan potensi TNI kembali berbisnis sudah tak lagi esensial, pasalnya Prabowo sebagai presiden terpilih sudah mencanangkan pertumbuhan ekonomi 7-8 persen. Jumlah itu diyakini dapat memenuhi anggaran Kemenhan. Dengan demikian, kebutuhan alutsista dan kesejahteraan prajurit tak akan lagi jadi soal. Persoalan pun bisa teratasi secara fundamental.
“Sehingga untuk membolehkan para TNI kembali untuk berbisnis sebenarnya sudah tidak esensialis lagi. Bahkan kalau itu dilaksanakan justru akan menimbulkan banyak distorsi ekonomi dan kesenjangan akan terjadi lagi di antara Prajurit. Untuk itu, semua kita kembali kepada Undang-undang 34 bahwa sebenarnya kebutuhan tentang pertahanan dan keamanan itu adalah sepenuhnya tanggung jawab negara,” kata Syarief.
Kembalinya Dwifungsi ABRI
Revisi UU TNI yang memungkinkan anggota TNI untuk berbisnis juga masuk dalam jabatan sipil membuat publik was-was mempertanyakan mungkinkah ini tanda-tanda kembalinya dwifungsi ABRI?
Konsep Dwifungsi ABRI pertama kali muncul pada masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Pada masa itu, Bung Karno menarik masuk militer ke dalam Dewan Nasional yang berarti TNI masuk ke dalam wilayah politik dan sipil. Pada masa Orde Baru Soeharto, hal itu diperkuat dengan anggota militer diperbolehkan menjadi kepala daerah, anggota DPR, dan jabatan sipil lainnya.
Itulah dwifungsi ABRI, di mana anggota ABRI tidak hanya menjalankan fungsi pertahanan, tapi juga fungsi sosial politik.
Menjawab tudingan revisi akan bangkitkan dwifungsi ABRI, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin mempunyai jawaban tersendiri. Menurutnya, kita harus melihat penjelasan soal berbisnis dari sisi yang utuh, baik dari segi terminologi maupun etimologi, sisi manfaat maupun sisi mudharat.
Ngabalin menyebut, TNI adalah satu-satunya institusi yang menyerahkan nyawa setiap anggotanya untuk kedaulatan Republik ini. Jadi, siapapun yang pro maupun kontra terhadap revisi UU TNI ini untuk bisa mendiskusikannya secara dingin.
“Semua orang bicara tentang kepentingan bangsa dan negara, maka saya mau bilang bahwa mari bicara baik-baik. Kalau ada teman-teman usulan inisiatif DPR, masyarakat juga yang ingin untuk melakukan revisi ini, duduk, bicara baik-baik. Teman-teman dari NGO, dari luar, Al Araf dan kawan-kawan dari luar ngomong juga baik-baik, karena kita tidak bicara untuk kepentingan negara lain, kita bicara tentang negara kita. Dan TNI itu tulang punggung republik ini,” kata Ngabalin.
Agus Widjojo lebih melihat pada perbedaan antara kewenangan sipil dan militer. Kewenangan sipil dalam sistem negara demokrasi diberikan kepada pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat. Sementara kewenangan dalam dunia militer tidak demikian. Panglima TNI bukan hasil pilihan rakyat, melainkan keputusan presiden, sehingga ia tidak bisa memutuskan kebijakan atau apapun untuk masyarakat.
“Misalnya begini, di Laut Natuna Utara ada kapal dari negara asing, kemudian mengganggu, tentu kita sangat patriotik, tenggelamkan kemudian hancurkan. Ditenggelamkan dihancurkan oleh panglima TNI, tetapi Presiden belum mengatakan apa-apa, Presiden belum menyatakan perang dengan negara tersebut berdasarkan persetujuan DPR. jadi, walaupun rakyat itu memang bersorak-surai bahwa kita bisa mengalahkan kapal musuh, tapi datangnya bukan dari kewenangan yang benar, itu salah,” ujar Agus.
Meski memiliki dasar yang berbeda, bukan berarti anggota TNI tidak bisa menjadi pejabat publik layaknya masyarakat sipil. Bisa, hanya saja Agus menyebut syaratnya harus secara sadar dan rela mengundirkan diri dari keanggotaan militer. Ia mencontohkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang mundur dari TNI sebelum akhirnya menjadi politisi dan Ketua Umum Partai Demokrat.
Para prajurit sesungguhnya bisa saja memiliki kapasitas yang mumpuni dan integritas tinggi, cocok menjadi pejabat publik. Untuk itu, Agus menilai perlunya diberikan kesempatan pengunduran diri di usia-usia tertentu jika memang ingin menyebrang ke pos-pos di lingkungan sipil.
“Saya pikir itu akan lebih bagus. Jadi dia secara secara sadar mendukung reformasi TNI yang sekarang sudah bagus itu menjadi lebih bagus. Dia memilih untuk mundur, saya pikir lebih bagus,” kata Agus.
Jika tidak, maka akan terjadi penumpukan prajurit di kelas menengah yang kemudian akan menjadi soal, karena tidak adanya cukupwadah atau pos-pos di dunia militer yang bisa mewadahi seluruh prajurit potensial tersebut. Kelebihan itu akan membuat mereka ditempatkan di jabatan-jabatan sipil yang seharusnya bukan menjadi arena mereka.
“Kalau itu dilakukan maka sekalipun tidak dikatakan dwifungsi ABRI, secara kenyataan itu menjalankan dwifungsi ABRI. Jadi kalau memang ingin berkontribusi kepada bangsa dan negara dengan kapasitas yang masih begitu tinggi, sebaiknya memilih untuk mundur dari kesatuan, itu akan lebih bagus karena kita harus mendukung reformasi TNI secara konsekuen dan betul-betul kita mendukung agar proses reformasi ini tetap kita lanjutkan,” papar Agus.
Dialog selengkapnya dapat Anda saksikan melalui tayangan video YouTube di bawah ini:
Leave a Reply