“Prinsip membangun profesionalisme itu ada 4 well: well paid, well trained, well equiped, and well educated. Tentara harus sejahtera, tentara harus modern persenjataannya, tentara harus terlatih, dan terdidik. Dalam bingkai seperti itu tidak dimungkinkan tentara untuk masuk di dalam ruang politik dan bisnis, karena akan mengganggu ruang profesionalisme…”
Undang-undang TNI Nomor 34 tahun 2004 akan direvisi. Revisi tersebut, jika benar disahkan, memungkinkan seorang anggota TNI menduduki jabatan sipil dan melakukan bisnis di luar kewajiban utamanya sebagai penjaga keutuhan kedaulatan.
Sejumlah faktor mengapa revisi perlu dilakukan disebutkan oleh Syarief Hasan, anggota Komisi I DPR-RI saat hadir di studio Kompas TV untuk program Satu Meja The Forum (24/7/2024). Di antaranya adalah minimnya anggaran Kementerian Pertahanan yang berdampak pada keterbatasan alutsista dan rendahnya kesejahteraan prajurit, juga usia pensiun anggota TNI di angka 58 tahun yang dinilai terlalu cepat, karena di umur demikian seseorang dianggap masih bisa produktif dan aktif.
Namun, ide revisi itu menuai beragam pro dan kontra. Banyak pihak mengkhawatirkan revisi UU TNI akan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI yang dulu ada sebelum masa reformasi. Padahal, TNI hari ini adalah TNI yang professional, TNI yang tidak tercampur dengan urusan jabatan sipil dan bisnis, institusi itu fokus menjaga kedaulatan Indonesia. Itulah TNI buah perjuangan reformasi 1998 yang sudah memakan begitu banyak korban.
Agus Widjojo selaku tim perumus reformasi TNI pasca reformasi misalnya, mengkhawatirkan jika anggota TNI boleh melakukan bisnis, maka ada faktor lain yang menyumbang kesejahteraan hidup seorang anggota selain negara. Kondisi itu dikhawatirkan akan memunculkan konflik kepentingan di diri seorang anggota.
“Artinya bisa terjadi loyalitas yang menyimpang dan bisa terjadi konflik kepentingan, kesetiaan yang bercabang. Karena antara yang memberi tugas dengan yang memberi kesejahteraan itu dari dua sumber yang berbeda. Ini akan membuat prajurit itu menjadi ragu kepada siapa saya tempatkan loyalitas saya,” kata Agus yang juga hadir dalam Satu Meja melalui sambungan video.
Prajurit semestinya hanya fokus mengabdi kepada negara dan bangsa. Presiden sebagai pemimpin bangsa secara otomatis menjadi panglima tertinggi angkatan bersenjata. Jadi, negara yang memberi tugas dan negara pula lah yang berkewajiban memberikan kesejahteraan kepada setiap anggota TNI. Kaidah ini tidak semestinya ditabrak dengan alasan apapun, termasuk rendahnya anggaran sektor pertahanan.
“Kaidah-kaidah itu tetap harus absolutely berlaku, tidak boleh diterjang, tidak boleh ditabrak, karena kalau diterjang ditabrak maka nanti akan mengorbankan aspek-aspek lainnya. Terutama dalam hal ini adalah sisi profesionalitas prajurit yang harusnya setia kepada negara, setia kepada bangsa, dia sudah mulai teragukan akan kesetiaannya tersebut,” lanjut Agus.
Kekhawatiran yang sama juga dikemukakan oleh peneliti senior Imparsial, Al Araf. Tak hanya melunturkan profesionalitas sebagai prajurit militer, revisi ini juga disebut bisa merusak birokrasi sipil.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang membangun karier selama belasan bahkan puluhan tahun demi bisa mencapai posisi puncak di lembaga atau institusinya, akan kalah dengan anggota TNI aktif yang tiba-tiba masuk mengisi jabatan tinggi atau jabatan strategis.
“Itu akan mengganggu semangat dan birokrasi sipil itu sendiri. Kalau Begitu ceritanya kami enggak usah kerja keras, karena nanti mau jadi dirjen enggak bisa, dipangkas oleh militer aktif duduk di situ,” ujar Al Araf.
Ia menjelaskan, tugas militer sejatinya adalah sebagai alat pertahanan negara bukan pelayan masyarakat dengan menjadi bagian birokrasi sipil. Jika itu terjadi, Al Araf menyebut bukan hanya birokrasi sipil yang terganggu, namun juga profesionalitas prajurit sebagaimana dikemukakan Agus Widjojo sebelumnya.
Para anggota TNI yang merasa kompeten dan ingin masuk ke lingkungan sipil, disarankan untuk mengundurkan diri terlebih dahulu sebagai prajurit angkatan bersenjata. Lepaskan semua status dan jabatan militer, setelah itu baru masuk ke arena yang baru sebagai seorang sipil.
Al Araf menyebut, jika ingin melakukan transformasi TNI ke arah yang lebih profesional semestinya DPR dan Pemerintah bukan menempuh jalan revisi undang-undang. Yang perlu dilakukan adalah menjalankan mandat TAP MPR nomor 6 dan 7 tahun 2000.
Dalam TAP MPR tersebut Pemerintah juga DPR dimandatkan untuk melakukan reformasi peradilan militer, salah satunya dengan menghapus pasal peralihan di UU TNI Nomor 34 Tahun 2004.
“Ada pasal di dalam UU TNI 34 2004 itu yang bagus, militer tunduk dalam peradilan umum kalau terlibat tindak pidana umum, tunduk dalam peradilan militer kalau terlibat dalam tindak pidana militer. Tapi ada pasal peralihan yang menyebutkan pasal tersebut tidak berlaku jika undang-undang 31 1997 belum diubah. Kalau ingin merevisi undang-undang TNI dalam kerangka menegakkan negara hukum maka pasal peralihan itu (yang semestinya) diubah,” jelas Al Araf.
Itu penting dilakukan agar tercipta kesetaraan dalam hukum bagi siapa pun, termasuk anggota TNI. Reformasi sistem peradilan militer inilah yang penting dilakukan untuk meningkatkan profesionalitas TNI, namun justru tidak dilakukan.
Menanggapi pandangan itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin mengembalikan pada konsep demokrasi yang sudah dipilih untuk menjalankan negara. Sistem demokrasi itu mengharuskan semua pihak duduk berbicara membahas semua hal, termasuk urusan kekuatan militer.
Ia pun tidak ada masalah dengan apa yang disampaikan Al Araf soal peradilan umum dan peradilan militer. Namun, ada satu fakta yang tidak bisa dikesampingkan. Ngabalin menyebut hingga saat ini masih ada kesulitann untuk bisa memisahkan tentara sebagai militer dan warga negara.
“Sejak kapan orang bisa memisahkan tentara sebagai militer dan sebagai warga negara? Itu kan sebuah peradaban yang sampai hari ini jangankan di Indonesia, di Eropa, di Amerika orang tidak bisa berbicara dan tidak bisa memisahkan perkara itu,” ujar Ngabalin.
Arah revisi UU TNI
Syarief Hasan menyebut salah satu latar belakang revisi UU TNI ini adalah untuk meningkatkan kesejahteran prajurit dan kelengkapan alutsista TNI yang saat ini masih belum optimal, karena terganjal minimnya anggaran pertahanan.
Agus Widjojo yang merupakan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) 2016-2022 juga tidak menutup mata soal arah itu. Revisi memang diniatkan untuk meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan anggota TNI.
Namun, ia mewanti-wanti agar pelaksanaannya harus memiliki rambu-rambu yang jelas. Meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan mesti dilakukan sesuai kaidah-kaidah yang ada.
“Saya mendasarkan pertimbangan saya pada tiga elemen: pertama adalah konstitusi itu adalah aturan main yang harus kita taati, yang kedua adalah militer profesional di dalam sebuah sistem demokrasi itu ada kaidah-kaidahnya, dan yang ketiga adalah kaji banding dengan negara-negara demokrasi yang ada, kita bertanya di dalam sebuah negara demokrasi dengan tentara profesional adakah tentara mereka diperbolehkan untuk bermain bisnis?” jelas Agus.
Misalnya dalam konteks TNI masuk ke jabatan sipil, mereka masuk ke sana atas dasar perintah komando, bukan karena prestasi kinerja yang diupayakan dalam jangka waktu tertentu sebagaimana yang dijalani PNS atau ASN dalam memperoleh posisi tinggi.
Jika ini terjadi, bukan terganggunya birokrasi sipil yang menjadi masalah terbesar, namun terbuangnya anggaran pertahanan yang selama ini sudah digelontorkan. Negara membiayai TNI untuk mencetak anggota yang nantinya menjadi angkatan perang, menjalankan fungsi pertahanan, bukan pelayanan sipil.
Jika masalahnya ada di penumpukan anggota di level menengah, maka jalan keluarnya bukan dengan memberi mereka jabatan sipil, melainkan dengan membentuk sistem pembinaan personil yang profesional.
“Saya setuju kalau seseorang (TNI) beraspirasi untuk tetap berkarya, berbakti di dalam dunia sipil, ya sudah ajukan pensiun dini atau keluar dari dinas militer dan masuk di jabatan sipil. Itu adalah paling tepat dan struktur piramida militer dapat dipelihara, dapat dijaga. Kalau ada tumpukan di tengah, maka perlu kita lihat yang salah ini apa. Mengapa tidak bisa dipelihara, mungkin pembinaan personalia yang tidak tepat,” ujar dia.
Al Araf menilai masih banyak masalah dalam rancangan undang-undang UU TNI saat ini, sehingga ia menyarankan agar DPR tidak terburu-buru mengesahkannya. Masih ada cukup waktu untuk membahasnya secara lebih dalam. Sehingga revisi ini sebaiknya ditunda.
Kedua, jika tujuannya adalah untuk meningkatkan profesionalisme TNI Al Araf menyebut ada 4 unsur yang mesti dipertimbangkan dan dipenuhi.
“Prinsip membangun profesionalisme itu ada 4 well: well paid, well trained, well equiped, and well educated. Tentara harus sejahtera, tentara harus modern persenjataannya, tentara harus terlatih dan terdidik. Dalam bingkai seperti itu tidak dimungkinkan tentara untuk masuk di dalam ruang politik dan bisnis, karena akan mengganggu ruang profesionalisme,” jelas Al Araf.
Syarief pun tidak menutup kemungkinan untuk penundaan pengesahan RUU TNI. Saat ini revisi sudah diajukan dan DIM (Daftar Inventaris Masalah) sudah tersusun. Namun masih dalam tahap pembahasan di mana prinsip reformasi TNI harus dijunjung tinggi.
DPR ingin agar revisi ini di satu sisi tidak merusak struktur dan sistem hierarki di TNI, di sisi lain tetap menghormati hak-hak pegawai sipil yang berkarya untuk menggapai jabatan yang lebih tinggi.
“Karena ini baru dalam tahap DIM, maka tentu kita lihat pembahasannya. Karena tentunya ada yang setuju, ada yang tidak dengan apa yang sudah kita bahas pada malam ini. Kita lihat ada kemungkinan RUU ini mungkin tidak akan selesai dan kalau tidak selesai akan diteruskan lagi kalau memang memungkinkan,” jelas Syarief.
“Tetapi kami juga punya satu prinsip bahwa RUU ini dajukan dengan satu niat bahwa akan ada perbaikan-perbaikan. Kita harapkan perbaikan-perbaikan ini demi untuk kepentingan kesejahteraan prajurit,” lanjutnya.
Leave a Reply