Badai PHK di Antara Janji Penciptaan 19 Juta Lapangan Kerja…

“Badai PHK yang terus menerpa kian memperberat beban bangsa. Kehilangan pekerjaan, kehilangan pendapatan, dan menjadi pengangguran bisa menjadi membuat manusia kehilangan harapan. Frustrasi sosial perlu diantisipasi agar tidak menjadi masalah sosial. Pesan konstitusi setiap warga negara berhak mendapat pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan,”

Di tengah janji pembukaan 19 juta lapangan kerja baru yang disampaikan saat kampanye oleh Gibran Rakabuming Raka yang kini terpilih menjadi Wakil Presiden, masyarakat Indonesia justru dihadapkan pada realita terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar- besaran di sejumlah daerah. Salah satu yang paling mengundang perhatian adalah PHK 8.000 lebih pekerja di PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, Sukoharjo, Jawa Tengah awal Maret ini.

Ribuan pekerja yang sudah bertahun-tahun menggantungkan hidup dari pendapatannya sebagai buruh di Sritex, kini harus menerima kenyataan kehilangan pekerjaannya tepat di hari pertama Ramadhan 2025, sebulan jelang Hari Raya Lebaran.

Apa yang terjadi, dan bagaimana sikap yang akan dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini? Sejumlah narasumber hadir dalam Satu Meja The Forum KompasTV (5/3/2025) yang mengangkat tema “Badai PHK di Depan Mata, Pemerintah Bisa Apa?”.

Wakil Menteri Ketenagakerjaan Emmanuel Ebenezer sempat mengatakan akan mempertaruhkan jabatannya sebagai Wamen apabila terjadi PHK di Sritex. Dan saat kabar PHK besar-besaran ini akhirnya terjadi, Noel, panggilan akrab Emmanuel Ebenezer, mengaku sudah mempertanggungjawabkan pernyataannya.

“Pernyataan saya itu saya pertanggungjawabkan, karena memang saat saya hadir ke sana, kepailitan itu sudah diputuskan di bulan Oktober dan kehadiran saya di sana memastikan untuk tidak ada PHK. kemudian tangal 26 dan 28 kemarin tiba-tiba ada pengumuman yang dilakukan oleh kurator. Saya sebagai Wakil Menteri tidak akan bisa menyentuh wilayah hukum yang menjadi keputusan hukum. Artinya apa yang saya sudah lakukan itu ya sudah, enggak mungkin saya masuk pada yang bukan domain saya,” jelas Noel.

Hal itu terbukti dengan tidak adanya protes atau amarah yang datang dari teman-teman serikat pekerja terhadapnya. Baginya, tidak ada buruh yang merasa diberi janji atau harapan palsu, karena Kemenaker terus melakukan intervensi terhadap proses ke depan, hasilnya pihak kurator menyatakan komitmen terhadap Menaker Prof Yassierli, akan membuka rekrutmen baru lagi.

“Komitmennya kawan-kawan kurator bahwa proses rekrutmen ini kawan-kawan yang mantan di PHK ini akan menjadi diprioritaskan, tinggal kita kawal saja. Kita lihat apakah jaminan itu benar-benar terpenuhi atau tidak, kan 2 minggu ke depan,” ujarnya.

Jadi, mereka yang saat ini terkena PHK semestinya dapat dipekerjakan kembali selama tidak diberlakukan syarat-syarat khusus yang menyulitkan, seprti syarat akademik, usia, dan sebagainya.

Sementera itu, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Mirah Sumirat menyebut gelombang besar PHK di Indonesia sudah terjadi sejak 2015, jauh sebelum Sritex baru-baru ini. Alasannya beragam, mulai dari pandemi Covid-19, penerapan teknologi sehingga mengurangi kebutuhan tenaga manusia, penerapan upah murah yang berimbas pada melemahnya daya beli pasar, hingga terbitnya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Tak hanya di PHK, dari puluhan ribu pekerja yang di-PHK itu juga banyak yang hingga hari ini belum menerima hak pesangonnya karena belum dibayarkan oleh perusahaan.

“Ada Undang-Undang Omnibus Law. Undang-Undang ini mempermudah sekali orang-orang itu di PHK. Bisa dibayangkan paginya kerja, siangnya bisa di-PHK, sorenya bisa di-PHK. Saking betapa mudahnya itu Undang-Undang untuk mem-PHK para pekerja buruh,” sebut Mirah.

Hingga saat ini, sudah hampir 80.000 pekerja yang menjadi anggota Aspek telah terkena PHK. Jumlah itu baru dari satu federasi, belum dari federasi pekerja yang lain.

Adapun terkait PHK di Sritex, Mirah mengapresiasi langkah berani Noel yang bersedia mempertaruhkan jabatannya. Itu menjadi wujud bahwa Negara hadir untuk rakyatnya.

Hanya saja, ia menyampaikan catatan pada pemerintah khususnya Kemenaker, bahwa perusahaan yang mengalami pailit dan terpaksa mem-PHK karyawan tidak hanya terjadi di Sritex. Mereka juga sama-sama membutuhkan kehadiran Negara, walau mungkin dalam bentuk yang berbeda.

Selain itu, hak pesangon para pekerja yang di-PHK setelah perusahaan dinyatakan pailit kebanyakan juga mengalami masalah. Prosesnya sangat lama dan ketika dibayarkan ternyata tidak dibayarkan secara penuh.

“Pengalaman saya pada saat sudah dipailitkan itu akan melakukan proses yang lama sekali untuk mendapatkan hak sangon. Itu pun enggak full, dapatnya paling setengahnya, 50 persennya,” ungkap Mirah.

Hal semacam ini bahkan dialami oleh mereka yang di-PHK sejak 2020 akibat perusahaan merugi di era pandemi. Mereka belum juga mendapatkan haknya.

“Undang-Undang Omnibus Law mengatur itu diperbolehkan untuk tidak diberikan pesangon kalau perusahaan rugi,” kata dia.

Pengamat Ekonomi Yanuar Rizky (tengah) saat di backstage Satu Meja KompasTV.

Pengamat Ekonomi Yanuar Rizky melihat ada sejumlah hal yang salah di Indonesia terkait ketenagakerjaan dan penciptaan lapangan kerja.

Pertama, pendataan angka pekerja dan pengangguran di Indonesia yang dicatatkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Di tengah fakta terjadinya PHK masal, BPS justru merilis data yang menyatakan angka pengangguran di Indonesia turun dua hal yang sungguh kontradiktif.

Yanuar menilai BPS melakukan kesalahan dalam mencatat data pengangguran. Badan pemerintah itu mencatat kelompok pekerja informal sebagai pekerja, meskipun yang bersangkutan tidak memiliki gaji tetap, jaminan perlindungan kerja, kontrak profesional, dan sebagainya. Misalnya para pengendara ojek online.

Yanuar menyebut data tahun 2025 perbandingan antara pekerja formal dan informal adalah 30:70. Namun, saat ini komposisinya sudah berubah menjadi 40:60. Terjadi pergeseran sektor kerja yang cukup signifikan dari formal menjadi informal.

“Kalau kita keluarkan angka-angka seperti ini sebetulnya angka pengangguran kita itu naik tajam, bisa lebih dari angka 4% (angka pengangguran tercatat sekarang),” ungkap Yanuar.

Ia mencontohkan 8.000 buruh Sritex yang baru saja di PHK, sebagian dari mereka mungkin akan bekerja di sektor informal yang sifatnya tidak tetap, tak memiliki jaminan sosial, seperti mendaftar menjadi mitra ojek online. Maka BPS akan mencatatnya sebagai seseorang yang bekerja, padahal sesungguhnya tidak bisa demikian dalam kacamata Yanuar.

Kedua, soal penciptaan lapangan kerja atau job creation, bank sentral Indonesia hanya mengemban satu mandat alias mandat tunggal. Ia tidak diberi mandat untuk menciptakan lapangan kerja, melainkan hanya menjaga inflasi. Berbeda dengan negara kapital seperti Amerika Serikat yang bank sentralnya memiliki dua mandat sekaligus: menjaga stabilitas harga daj menyerap tenagq kerja.

“Kalau kita lihat hari ini Amerika enggak apa-apa inflasinya naik, karena dia demi kepentingan menyerap lapangan kerja. Dia selalu balance di antara dua itu,” ujar Yanuar.

Ketiga, memperlakukan sektor formal seperti sektor informal, khususnya setelah lahirnya UU Cipta Kerja dan Omnibus Law sektor keuangan.

“JHT enggak bisa langsung diambil, ada term waktu. Ini kan menurut saya ciri bahwa kita sebetulnya membenarkan sektor formal kita menuju sektor informal. Salah enggak, ya enggak salah, sepanjang kita membangun sistem jaminan sosial yang kuat seperti negara-negara maju,” papar Yanuar.

Kesalahan-kesalahan ini ditambah dengan politik Indonesia yang kian lama kian pragmatis dikhawatirkan akan menjadi bom waktu yang bisa meledak di kemudian hari, terutama jika pelemahan daya beli sudah terjadi.

Sekretaris Umum Apindo Aloysius Budi Santoso saat di backstage Satu Meja KompasTV.

Sekretaris Umum Apindo Aloysius Budi Santoso mengajak masyarakat untuk memahami persoalan PHK dari sudut pandang yang lain. Baginya, PHK hanyalah muara dari proses di tingkat atasnya yang bermasalah atau rumit. Jadi jangan selalu memandang PHK sebagai akibat dari suatu kebangkrutan atau beban biaya yang harus dikeluarkan perusahaan.

PHK datang dari dunia usaha. Namun apakah jumlah orang yang ingin menjadi pengusaha lebih banyak dibandingkan dengan orang yang ingin mencari kerja? Jawabannya adalah tidak. Mengapa? Iklim usaha di Indonesia tidaklah baik. Ada beragam masalah yang menggelayuti dunia usaha di Indonesia sehingga para investor atau pengusaha kesulitan bahkan enggan melanjutkan usahanya di Indonesia.

“Kalau kita sebagai negara bisa menciptakan iklim berusaha yang baik, sehingga banyak orang ingin berusaha, pasti banyak orang juga dipekerjakan,” ujar Budi.

“Sekarang bagaimana kita bisa menciptakan bahwa makin banyak (orang) jadi pengusaha dan pengusaha bisa berkembang. Dengan demikian PHK tidak terjadi,” lanjutnya.

Anggota Komisi IX DPR Zainul Munasichin meminta kita semua untuk bersepakat, paradigma mana yang ingin digunakan dalam melihat hubungan industrial Indonesia. Apakah kerja tetap, atau tetap kerja?

Meski serupa, namun keduanya adalah hal yang jauh berbeda.

“Kalau kita pendekatannya adalah kerja tetap ya pasti kita akan bagaimana caranya agar orang tidak di PHK. Tapi apakah itu mungkin dalam situasi ekonomi global yang seperti ini,” tanya Zainul.

Oleh karena itu, DPR mendorong pemerintah untuk menggunakan paradigma lain, yakni tetap kerja. Pemerintah harus bisa memberikan jaminan agar orang bisa tetap bekerja. Pun jika ada pekerja yang terkena PHK, pemerintah harus memastikan hak-haknya diselesaikan saat PHK dilakukan dan segera mendapat pekerjaan pengganti.

“Kalau kita pakai pola pendekatan itu maka mau berapaap pun yang di-PHK kita enggak perlu mempersoalkan, karena akan ada lapangan pekerjaan baru dimana ketika pekerja menunggu dapat lapangan kerja baru itu ada bantalan sosialnya. Dan saya kira pemerintah sudah menyiapkan yaitu melalui JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan),” ungkap Zainul.

Hal demikian sudah dilakukan oleh Badan Penjamin Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan pada pekerja di Sritex yang terkena PHK. JKP sudah dicairkan dan akan terus diberikan selama 6 bulan ke depan.

Langsung mendapat pekerjaan pasca terdampak PHK, disebut Noel sebagai hal yang disebut sangat mungkin terjadi. Kuncinya, negara harus ramah pada pengusaha agar mereka bisa berkembang sehingga memiliki kebutuhan tenaga kerja yang lebih besar.

“Sangat mungkin, siapa bilang tidak mungkin. Tinggal begini, negara ini juga harus ramah dengan para pengusaha-pengusaha, terkait izin. Terkadang izin juga menjadi kendala karena kan mereka juga cerita kita, Pak ini gimana kita mau menciptakan lapangan pekerjaan izinnya dipersulit,” ujar Noel.

Namun, Noel tak mengaku tak tahu ketika ditanya siapa pihak yang dimaksud mempersulit pengurusan izin usaha. Karena selama ini soalan izin merupakan ranah kewenangan pemerintah.

Janji 19 Juta Lapangan Kerja Baru…

Di masa kampanye Pilpres 2024, calon wakil presiden yang kini telah menjabat Wakil Presiden, Gibran Rakabumin Raka sempat menjanjikan akan membuka 19 juta lapangan baru bagi kalangan muda dan perempuan.

Namun, janji itu nampak muluk-muluk dan jauh di angan jika melihat kondisi dunia kerja saat ini.

“Ya itu kan angka optimis kenapa kita tidak (yakin), harus yakin dong,” kata Noel yang juga merupakan Ketua Relawan Jokowi Mania (JoMan) itu.

Kata Noel, angka itu bisa diciptakan dari pembukaan ruang-ruang kerja yang diupayakan oleh pemerintah dengan berkolaborasi dengan sejumlah pihak.

“Misalnya Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian itu akan membuka para petani-petani milenial. Kemudian di Kementerian BUMN, kemudian ada beberapa kementerian yang lain. Belum lagi Badan Halal, kemarin Badan Halal itu Pak Haikal menyampaikan, kita bisa kok resap sekitar 10.000. Jadi ruang-ruang lapangan pekerja ini memang sedang kita cipakan. Belum lagi nanti ada Danantara, proyek investasi pasti serap tenaganya juga besar,” jabar Noel.

Sekali lagi, Noel mengatakan bahwa kuncinya adalah ramah pada para pengusaha. Selain itu pemerintah juga harus bijak mendengarkan tuntutan kelompok buruh.

“Ini kan pahlawan dua-duanya, tugas negara adalah mampu menjadi jembatan kesejahteraan antara pengusaha dan buruh, bukan saling malah menjadi bagian masalah,” ujarnya.

BDM bersama seluruh narasumber: Zainul Mutasikin, Emmanuel Ebenezer, Aloysius Budi Santoso, Mirah Sumirat, dan Yanuar Rizki.

Yanuar mengomentari soal pembukaan 19 juta lapangan pekerjaan itu. Dari kacamata seorang pengamat ekonomi, pembukaan lapangan kerja sebanyak itu di kondisi perekonomian yang seperti sekarang ini mungkin akan sulit dilakukan.

Sektor industri yang saat ini menyerap banyak tenaga kerja adalah sektor jasa, bukan lagi pertanian atau industri. Namun di sisi lain, daya beli masyarakat sedang ada di titik rendah. Jadi sektor jasa pun tak bisa banyak menjanjikan lapangan kerja baru, ketika produk jasa yang mereka lemparkan tak terserap pasar.

“Sektor jasa ini bisa bertumbuh, ketika daya belinya juga ada. Jadi selama ini kalau kita mengatakan bahwa kita bisa melakukan penyerapan lapangan kerja (sulit dibayangkan),” kata Yanuar.

Hal itu lantaran angka PHK terus terjadi, setidaknya lebih dari 100.000 pekerja di-PHK berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan. Walaupun, jika mengacu data BPS angka pengangguran terus turun, namun seperti telah dikoreksi sebelumnya, BPS tak memasukkan pekerja informal (tanpa kontrak, gaji tetap, jaminan kerja) ke dalam kelompok pengangguran.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *