“…Fadli Zon enggak mungkin begitulah, apalagi Prabowo, Pak Presiden. Tetapi ‘cocomio-cocomionya’ ini, para kaum penjilat inilah, yang mau naik pangkat itulah yang bikin masalah. Jadi sebetulnya kalau Mas Prabowo itu orangnya santai-santai saja menurut saya. Yang ribet ini kan mereka yang rebutan mau naik pangkat atau mendapat perhatian,”
—Pelukis, Yos Suprapto
Baru-baru ini, dugaan upaya pembungkaman oleh pemerintah terhadap kritik yang disampaikan melalui kesenian kembali terulang. Setelah pameran lukisan karya Yos Suprapto di Jakarta dan Teater Payung Hitam di Bandung gagal digelar karena menampilkan karya bermuatan kritik terhadap Joko Widodo, kini giliran band Sukatani yang tampil meminta maaf melalui media sosial atas lagunya yang berjudul “Bayar Bayar Bayar”. Sebuah lagu dengan lirik berisi sindiran pada kepolisian yang selalu memungut bayaran pada masyarakat untuk berbagai keperluan.
Berikut sepenggal lirik lagu “Bayar Bayar Bayar”:
Mau bikin SIM bayar polisi
Ketilang di jalan bayar polisi
Touring motor gede bayar polisi
Angkot mau ngetem bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
…
Tak hanya meminta maaf, duo personil Sukatani bahkan menyebut identitasnya juga melepas topeng kain yang selama ini menutup kepalanya.
Dari tiga kejadian ini, apakah kebebasan berekspresi, kebebaan menyampaikan kritik sudah mati di Indonesia?
Sejumlah tokoh berbincang dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (26/2/2025) yang mengangkat judul :Kasus band Sukatani Masihkah Kita Bebas Berekspresi?” dan mencari jawaban atas pertanyaan sebelumnya.
Dari pihak Polri, hadir Hermawan Sulistyo selaku Penasihat Ahli Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Hermawan atau yang akrab disapa Kikiek menegaskan tak ada intervensi dari kepolisian di balik permohonan maaf yang disampaikan oleh Twister Angel alias Novi Citra Andriyati selaku vokalis Sukatani dan Electroguy alias Muhammad Syifa Al Lutfi selaku gitaris band tersebut.
Kiki bahkan meminta keduanya untuk tidak menjadi penakut ketika sudah berhadapan langsung dengan polisi yang memintai mereka keterangan atas karyanya.
“Kalau itu benar ada intimidasi, kenapa mau diintimidasi. Gampang saja, lawan dong. Jangan ‘ayam sayurlah’. Nyanyi berani, ngeritik-ngeritik berani, begitu diintimidasi takut. Ayam sayur tuh namanya” ujar Kikiek.
Meski tak diakui telah terjadi intimidasi kepolisian terhadap Sukatani yang membuat duo itu meminta maaf, hingga sejauh ini, setidaknya ada 6-7 anggota polisi dari Polda Jawa Tengah yang sedang diperiksa oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri untuk mengetahui kebenaran adanya intervensi atau tidak.
Meski mengarah pada dugaan intimidasi, polisi-polisi yang dipriksa ini belum bisa dikatakan terbukti melakukannya.
“Kalau polisinya diperiksa Propam, nanti kan ada pengumumannya. Batas intimidasi itu apa sih, apakah ngomong matanya melotot, apakah gebrak meja, apakah mukul,” sebut Kikiek.

Pembacaan berbeda datang dari Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Moh. Choirul Anam alias Cak Anam. Ia menyebut pemeriksaan oleh Propam menunjukkan bahwa memang ada upaya intimidasi yang dilakukan oleh anggota kepolisian terhadap kelompok musik asal Purbalingga, Jawa Tengah itu.
“Diperiksa karena memang diduga ada pelanggaran terhadap ini (intimidasi), proses Sukatani ini, sampai dia minta maaf, buka topeng, dan sebagainya,” sebut Cak Anam yang juga merupakan mantan Komisioner Komnas HAM.
Saat ini Kompolnas masih dalam proses mengumpulkan informasi untuk membuktikan terjadi atau tidaknya intimidasi. Bagi Kompolnas, Polri tidak boleh mengganggu hak kebebasan berekspresi yang dimiliki masyarakat. Cak Anam sempat meminta penjelasan kepada Kapolri terkait oknum polisi yang diduga melakukan intervensi terhadap band punk itu, jawaban Kapolri adalah terjadi kesalahan kebijakan. Secara pribadi, Kapolri Listyo Sigit tetap menjunjung tinggi kebebasan bersuara masyarakat.
Selain dilakukan pemeriksaan oleh Propam, rencananya akan dilaksanakan gelar internal di Pengamanan Internal di Lingkungan Polri (Paminal) untuk menjelaskan seperti apa persisnya duduk perkara yang terjadi.
Sebagai Komisioner Kompolnas, Anam tak menutup mata bahwa memang selama ini polisi kerap memungut uang dari masyarakat untuk berbagai hal, mulai dari pelanggaran lalu lintas, penerimaan laporan tindak kriminal, pengurusan SIM, tes masuk kepolisian, dan lain sebagainya. Jadi, kritik-kritik semacam ini tidak lahir di ruang kosong. Ada sebab-akibat yang menyertai.
“Ini merefleksikan kebutuhan kita terhadap kepolisian. Ayo kita jaga bersama-sama kepolisian kita agar semakin lama semakin profesional,” ujar dia.
Wakil Ketua STH Indonesia Jentera Asfinawati menanggapi pernyataan Hermawan Sulistyo soal jangan takut, jika diintimidasi polisi, lawan saja. Asfin menyebut kepolisian merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang memberikan status tersangka pada seseorang. Jadi, siapapun yang berhadapan dengan polisi pasti akan berusaha untuk tidak membuat mereka tersinggung. Karena jika tidak berhati-hati, polisi bisa dengan mudah mencarikan pasal dan menjadikan pihak yang berurusan dengan mereka sebagai tersangka.
“Polisi kalau tersinggung dia bisa langsung tersangkakan orang. Dan dalam sistem hukum Indonesia itu nyaris tidak ada proses hukum dulu. Jadi sistem itu membuat polisi punya kekuasaan yang lebih besar, setidak-tidaknya saat ini, daripada kalau lembaga lain yang tersinggung,” ungkapnya.
Sementara terhadap Sukatani yang secara mengejutkan membuat video berisi permintaan maaf dan menunjukkan identitasnya, Asfin meyakini semua itu tidak berangkat dari keinginan mereka sendiri. Dipastikan ada paksaan pihak lain di sana.

Sebagai seorang seniman dan budayawan, Eros Djarot mengajak kita untuk tak buru-buru menyorot soal permintaan maaf yang baru-baru ini disampaikan dua personel Sukatani. Mundur ke belakang, Eros justru mengajak kita semua untuk mencari jawaban mengapa lagu kritik terhadap kepolisian itu bisa diciptakan.
Kritik muncul pasti akubat ada ketidakpuasan publik terhadap kinerja Polri. Jadi, Eros berharap keberadaan karya seni berupa lagu ini dimaknai oleh kepolisian, khususnya Kapolri, sebagai sentilan untuk mawas diri. Ini adalah realita yang tidak perlu disangkal, namun dikoreksi.
“Yang namanya polisi selalu menjadi not anymore darling of the people gitu kan, bahkan kayak people enemy, hampir mendekati ke sana. Contohnya ‘partai coklat’. Ini hanya bagian dari hal yang terjadi, realitas sehari-hari direfleksikan lah sama teman-teman ini,” ungkap Eros.
Sebagai sesama insan yang bergerak di bidang kesenian, Eros juga bisa memahami mengapa akhirnya Sukatani memilih untuk meminta maaf ketika sudah ditemui polisi dan tak memilih untuk melanjutkan perlawanan. Hal itu lantaran banyak hal mengerikan yang bisa mereka dapati ketika tetap melawan polisi, terutama polisi di daerah.
Padahal, secara logika bukan Sukatani yang harus memohon maaf atas lagu yang mereka ciptakan, namun polisi yang seharusnya melakukan hal itu. Mengapa, karena alih-alih melaksanakan tugasnya sebagai pengayom yang memberi rasa aman pada masyarakat, mereka justru menebar rasa cemas di sana-sini.
Dari sambungan video juga bergabung Pelukis Yos Suprapto yang rencana pamerannya gagak digelar lantaran sejumlah karyanya ditengarsi memuat kritik pedas terhadap Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo.
Ia bercerita, pameran yang ia gagas sudah mendapat persetujuan dari Galeri Nasional dan Dirjen Kebudayaan. Namun entah mengapa, pameran yang semula dirancang akan digelar 2023, berulang kali diundur hingga disepakati tanggal 23 Desember 2024. Tak hanya diundur, secara mengejutkan pihak Galeri Nasional dan kurator juga tidak menghendaki 7 buah lukisan karya Yos untuk ditampilkan.
Akhirnya secara sukarela ia memutuskan untuk menurunkan seluruh karya lukisannya dan mundur dari pameran itu.
Namun, selalu ada hal yang bisa disyukuri di balik setiap kesulitan. Akibat tidak diizinkannya 7 lukisan Yos untuk ditampilkan di Galeri Nasional, lukisan-lukisan itu justru menjangkau lingkup yang lebih luas, lukisan-lukisan itu bisa diketahui oleh publik yang jauh lebih banyak.
“Itu blessing in disguise, berkat yang tersembunyi,” ujarnya.
Adanya pembatasan atau “pemberedelan” terhadap karya seni seperti yang ia dan Sukatani alami sesungguhnya ia artikan sebagai ketakutan tak beralasan dari kelompok-kelompok penjilat kekuasaan. Padahal, ia mengenal baik Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan Presiden Prabowo Subianto sebagai pribadi yang memahami kesenian dan bagaimana cara berpikir seorang seniman melalui karya-karya yang dibuatnya. Mereka tak akan mempermasalahkan kritik melalui kesenian semacam itu.
“Saya kenal Fadli Zon, Fadli Zon enggak mungkin begitulah, apalagi Prabowo, Pak Presiden. Tetapi ‘cocomio-cocomionya’ ini, para kaum penjilat inilah, yang mau naik pangkat itulah yang bikin masalah. Jadi sebetulnya kalau Mas Prabowo itu orangnya santai-santai saja menurut saya. Yang ribet ini kan mereka yang rebutan mau naik pangkat atau mendapat perhatian,” ungkap Yos.

Melihat adanya pembatasan terhadap kritik-kritik yang disampaikan melalui karya seni, Asfinawati sedikit pesimis dengan nasib kebebasan berekspresi di Indonesia ke depan. Pasalnya, kebebasan berekspresi ini sangat ditentukan oleh kondisi hukum juga seberapa tinggi azas demokrasi dijunjung di suatu negara.
“Kalau orang tidak boleh berbicara, tidak boleh berkesenian, kita bisa tahu berarti pemerintahannya itu tidak demokratis, dan sebaliknya. Saya berharap bahwa Presiden mendukung kebebasan berekspresi, tapi saya pikir ini masih terlalu awal untuk melihat,” kata Asfina.
Asfina juga meminta Kepolisian untuk berkaca diri, bahwa bagaimana mereka dipandang oleh masyarakat saat ini merupakan akibat dari ulahnya sendiri di masa sebelumnya. Misalnya banyak anggota menjalani gaya hidup yang hedon, banhak oknum memberikan perlindungan pada bisnis ilegal, menarik pungutan liar di berbagai bidang, dan sebagainya.
Soal kritik yang dikemukakan Asfinawati terhadap Polri, Kikiek selaku orang yang cukup dekat dengan Kapolri mengakui ada hal yang berjalan tidak sesuai dengan kebijakan di pusat, artinya kebijakan yang dibuat Kapolri. Ini lantaran Polri memiliki anggota lebih dari 400 ribu orang yang masing-masing tentu memiliki pemikiran berbeda-beda.
“Ada dislokasi antara apa yang menjadi kebijakan Kapolri dengan anak buahnya, karena ada 400 ribu polisi yang otaknya beda-beda, pikirannya beda-beda. Mungkin sebagian dari mereka enggak pakai otak, jadi perbedaan persepsi,” sebut Kikiek.
Diketahui, Kapolri Listyo Sigit Prabowo selama ini menerapkan prinsip kerja “Polri Presisi”. Presisi merupakan kepanjangan dari prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan. Selain itu, Kapolri juga sempat menyatakan siapa yang berani mengkritik Polri akan menjadi sahabat Kapolri. Keterbukaan akan kritik itu ia buktikan dengan mengadakan lomba mural dan demo, untuk mengetahui sebenarnya apa saja keresahan dan ketidakpuasan publik terhadap institusi yang ia pimpin.
Leave a Reply