“Ada kondisi di mana persoalan hak asasi tidak lagi dilihat secara sungguh-sungguh sebagaimana di masa lalu, mungkin karena ada normalisasi bahwa persoalan-persoalan hak asasi di masa lalu seperti tidak ada hubungannya dengan apa yang kita hadapi sekarang karena ada persoalan yang lebih kompleks,”
-Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro
Indonesia memiliki sederet catatan hitam terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu yang belum juga dituntaskan hingga hari ini. Misalnya, Tragedi Kudatuli 1996, Kerusuhan Mei 1998, juga soal pembunuhan aktivis HAM Munir 2004.
Meski sudah belasan bahkan puluhan tahun berlalu, kasus-kasus itu tak pernah benar-benar dituntaskan. Misalnya kasus Munir, hingga saat ini tak diketahui siapa otak yang mendalangi pembunuhan itu, meski sejumlah orang yang terbukti terkait sudah diselidiki bahkan dijatuhi hukuman.
Beragam upaya sesungguhnya pernah dicoba oleh pemerintah di berbagai era untuk menyelesaikan noda sejarah ini. Misalnya Joko Widodo yang ketika memimpin memilih menyelesaikannya dengan jalan nonyudisial atau di luar jalur hukum. Metode ini lebih fokus pada keberpihakan Negara pada korban atau keluarganya dengan cara memberikan rehabilitasi, bantuan material, pemberian beasiswa, jaminan kesehatan, dan lain-lain.
Penyelesaian melalui jalan nonyudisial itu seharusnya masih tetap berjalan hingga saat ini meski pemerintahan telah berganti.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro menjelaskan saat ini ada perubahan mendasar terkait kementerian di Kabinet Merah-Putih. Sebelumnya, penanganan HAM ini diatur melalui Instruksi Presiden (Inpres) ada di bawah Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) dan akan dilaksanakan oleh 19 kementerian/lembaga sebagai pelaksana teknis, maka saat ini akan sedikit berbeda.
“Dulu kemenkonya hanya satu di bidang politik, hukum, keamanan, sekarang ada dua, ada Kemenkopolkam ada Kemenko Kumham, Imigrasi, dan Lapas. Saya melihat kecenderungannya harusnya ini dibawa ke Kemenko Kumham, Kemenko Hukum dan HAM lah yang nanti mengoordinasikan 19 kementerian/lembaga yang di dalam Inpres itu diberikan tugas,” jelas Nike saat berbincang dengan Budiman Tanuredjo dalam siniar YouTube Back to BDM.
Komnas HAM telah memberikan data korban-korban pelanggaran HAM berat pada pemerintah untuk diberikan penyelesaian nonjudisial, ada sekitar 3.000 nama korban yang telah terverifikasi diserahkan pada pemerintah. Namun. hingga saat ini Nike melihat baru sedikit di antara 3.000 nama itu yang sudah menerima bentuk-bentuk pemulihan dari pemerintah
Penyelesaian melalui jalur nonjudisial ini sayangnya belum nampak ada kelanjutannya di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto meski mengusung tema keberlanjutan dari pemerintahan sebelumnya. Terlebih saat ini ada kebijakan efisiensi anggaran yang berakibat pada berkurangnya anggaran-anggaran tiap kementerian/lembaga untuk bisa melaksanakan tugas dan fungsinya.

Dan setelah 100 hari lebih pemerintahan baru berjalan, nampaknya belum ada sekalipun isu soal HAM ini dibicarakan oleh Presiden ataupun pemerintah. Yang mereka sibukkan adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan sejumlah hal terkait upaya meningkatkan pendapatan juga keuangan negara.
Nike beranggapan jika pemerintah tak membicarakannya, maka tugas Komnas HAM dan masyarakat untuk terus memperbincangkannya sehingga PR-PR terkait pelanggaran HAM berat masa lalu ini akan terus muncul di ruang publik. Sebagaimana Aksi Kamisan yang rutin dilakukan korban-korban pelanggaran HAM di depan Istana Negara setiap hari Kamis.
Kata Komnas HAM soal Kamisan
Aksi Kamisan sudah berlangsung sejak Januari 2007, 18 tahun sudah para korban dan keluarga dari pelanggaran HAM berkumpul untuk menyuarakan tuntutan demi memeroleh keadilan.
Namun entah apa yang terjadi, Kamisan tetap berlanjut hingga saat ini, sementara pemerintah seolah abai dan membiarkannya begitu saja. Apakah Kamisan sengaja dipelihara untuk menunjukkan bahwa demokrasi di negeri ini masih tumbuh subur sehingga aksi demonstasi di depan Istana Negara pun bebas untuk dilakukan.
Atnike akhirnya harus mengungkapkan, bahwa penanganan pelanggaran HAM tak lagi menjadi prioritas kerja pemerintah kita.
“Ada kondisi di mana persoalan hak asasi tidak lagi dilihat secara sungguh-sungguh sebagaimana di masa lalu, mungkin karena ada normalisasi bahwa persoalan-persoalan hak asasi di masa lalu seperti tidak ada hubungannya dengan apa yang kita hadapi sekarang, karena ada persoalan yang lebih kompleks,” kata Nike.
Selama ini, selalu ada upaya yang dikerjakan, namun upaya itu selalu terputus sehingga tak pernah tuntas menjawab tuntutan para korban dan keluarga korban yang telaten menggelar aksi.
“Ini menjadi proyek yang unik, Indonesia ini dalam melihat persoalan penyelesaian masa lalunya berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang dalam momentum relatif cepat melakukan terobosan seperti KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) di Afrika Selatan atau pengadilan hak asasi di negara-negara pasca konflik,” sebutnya.
Sementara dari sudut pandang Komnas HAM, Nike merujuk pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, seharusnya ada Pengadilan HAM untuk menyelesaikan persoalan yang disuarakan melalui Aksi Kamisan. Namun, ada kemacetan dalam mekanisme pidana HAM di Indonesia, persaingan penyelidikan antara Komnas HAM dengan Kejagsaan Agung, juga ada kebuntuan politik.
Kebuntuan politik yang ia maksud adalah ketiadaan niat serius dari pemerintah untuk menengok apalagi menyelesaikan persoalan-persoalan masa lalu itu. Nike bahkan menyebut, hampir tidak ada politisi yang memiliki agenda menyoal hal itu.
“Mungkin ada, tapi tidak sebesar dari keperluan-keperluan politik yang lain,” sebutnya.

Padahal, semestinya Indonesia memiliki satu mekanisme untuk melihat persoalan masa lalu dan menganggapnya sebagai satu kesalahan yang tidak untuk diulang. Semua harus menyesalinya, entah itu dengan menggelar peradilan, membentuk KKR, permintaan maaf, memorialisasi, atau yang lainnya.
Komnas HAM sebagai sebuah lembaga berupaya untuk dapat mewujudkan hal-hal tersebut, namun Nike harus menyampaikan bahwa ada keterbatasan kewenangan pada lembaga yang ia pimpin, Komnas HAM hanya diberi mandat untuk melakukan penyelidikan, tidak lebih.
“Padahal proyek-proyek mengenai masa lalu di berbagai negara itu membutuhkan kepemimpinan politik, tidak hanya mandat-mandat prosedural seperti Komnas HAM untuk menyelidiki. Itu harus diamplifikasi menjadi satu pernyataan politik, menjadi satu ingatan kolektif, itu yang kosong, karena mekanismenya selalu terputus, kepimpinan politiknya juga tidak berkesinambungan dalam mengawal upaya-upaya penyelesaian pelanggaran HAM,” jelas Nike.
Indonesia dulu memiliki pemimpin yang peduli terhadap kasus-kasus HAM, yakni Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sayangnya, Gus Dur hanya menjabat dalam waktu yang begitu singkat, sehingga persoalan HAM lagi-lagi tak bisa dikerjakan optimal.
Setelah itu, tak ada lagi Presiden yang fokus terhadap persoalan masa lalu, melainkan sibuk dengan urusan-urusan elektoral. Akibatnya, perbincangan soal pelanggaran HAM berat di masa lalu menjadi semakin lirih, terdengar hanya sayup-sayup.
Kembali pada Aksi Kamisan, Komnas HAM melihat itu sebagai salah satu upaya masyarakat untuk tetap menyuarakan PR-PR masa lalu kita. Jangan pernah jadikan aksi itu sebagai etalase atau simbol semata.
“Tentu harus ada breakthrough, tetapi breakthrough-nya itu siapa yang harus memulai. Harus ada terobosan yang lain, tetapi momentumnya apa itu juga saya masih belum bisa melihat. Jangan-jangan itu harus dihubungkan dengan persoalan kebangsaan yang lain di saat ini,” ujar Nike.
Namun, melihat dampak efisiensi yang ada saat ini, Komnas HAM pesimis untuk bisa melakukan terobosan-terobosan yang diperlukan. Bahkan Nike mengatakan, mungkin hal itu tidak ada dalam konteks sekarang.
Leave a Reply