“Kalau disamaratakan efisiensi terhadap kami dengan efisiensi terhadap K/L yang lain, kami memang agak berat juga. Ketika dipotong itu bukan kami menjadi efisien, kami menjadi tidak bisa bekerja. Berbeda dari yang tidak efisien menjadi efisien,”
—Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro
Efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah Prabowo-Gibran mengakibatkan hampir seluruh kementerian dan lembaga terdampak, tak terkecuali Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro buka-bukaan kepada Budiman Tanuredjo dalam podcast Back to BDM, bahwa Komisi yang ia pimpin mengalami pengurangan anggaran hingga 40 persen dari Pagu Anggaran 2025 yang sudah disetujui sebelumnya.
Dana yang semestinya diterima Komnas HAM adalah Rp112 miliar, namun akibat pemangkasan yang dilakukan, jumlah anggaran Komnas HAM hanya menjadi sekitar Rp70-an miliar. Jumlah itu digunakan untuk kegiatan dan operasional Komnas HAM selama satu tahun ke depan.
Dari jumlah uang yang ada, Rp47 miliar untuk gaji pegawai, sisanya sekitar Rp30 miliar digunakan untuk belanja operasional sehari-hari.
“Setelah kami hitung-hitung, betul-betul dipilah, sudah yang paling penting yang harus kita gunakan, maka hanya tersisa untuk pemajuan HAM hanya ada sekitar Rp600 juta dan untuk penegakan HAM Rp1,2 sekian miliar,” papar Nike.
Padahal, pemajuan dan penegakan HAM merupakan tugas dan fungsi utama dari Komnas HAM. Pemajuan HAM meliputi pendidikan dan pengkajian, sementara penegakan HAM meliputi penerimaan pengaduan, pemantauan kasus, termasuk penyelidikan HAM.
Sebelum ada efisiensi, jika dibandingkan dengan anggaran yang dimiliki kementerian/lembaga lain, anggaran Komnas HAM terbilang sangat kecil, apalagi setelah efisiensi dikerjakan. Oleh karena itu, Nike berujar pihaknya sydah terbuasa bekerja dengan sederhana dan efisien. Misalnya ketika melakukan perjalanan dinas untuk melakukan pemantauan kasus, mereka hanya memberangkatkan tim yang sangat kecil tanpa fasilitas lebih.
“Kalau disamaratakan efisiensi terhadap kami dengan efisiensi terhadap K/L yang lain, kami memang agak berat juga. Ketika dipotong itu bukan kami menjadi efisien, kami menjadi tidak bisa bekerja. Berbeda dari yang tidak efisien menjadi efisien,” ujarnya.
Di tengah keterbatasan anggaran yang dimiliki, Nike bertekad untuk tetap menerima seluruh pengaduan masyarakat terkait HAM yang masuk ke pihaknya. Sejauh ini sudah ada 300-an pengaduan yang mereka terima.
Hadapi Kesulitan
Tekad Komnas HAM untuk tidak menolak satupun laporan masyarakat di tengah dana yang begitu terbatas, praktis membuat Nike dan jajarannya mengalami kesulitan.
“Ini dia yang sulit, karena setiap pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat kepada kami itu harus kami olah, kami analisis, kalau ada informasi yang kurang harus kami cari,” tutur dia.
Ia pun menyadari persoalan yang masuk ke Komnas HAM pasti bukan persoalan yang mudah atau sederhana. Penyelesaiannya pun tak bisa menggunakan prosedur-prosedur yang biasa. Komnas HAM layaknya pintu terakhir masyarakat korban pelanggaran HAM di Indonesia untuk mengakses keadilan.
“(Karena anggaran terbatas) Kami akan kehilangan kemampuan misalnya melakukan kunjungan ke daerah untuk mengecek seperti apa sebenarnya peristiwa atau persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Kami juga akan kesulitan untuk mendapatkan informasi, bukti-bukti maupun keterangan yang first hand langsung dari lapangan, baik dari masyarakat sendiri, maupun dari pihak-pihak terkait di dalam peristiwa yang diadukan kepada kami,” jelas Nike.

Kebijakan untuk tidak melakukan kunjungan secara langsung ke daerah-daerah nampaknya menjadi opsi paling logis bagi Komnas HAM untuk tetap bekerja meski dihimpit anggaran yang sangat terbatas.
Hanya kasus-kasus pelanggaran HAM berat atau serius yang akan ditindaklanjuti secara langsung. Misalnya kasus yang menyangkut hak hidup (timbul korban jiwa), juga kasus yang memiliki dampak luas baik dari segi korban maupun aspek sosial ekonomi politiknya.
“Kami harus memilih betul-betul yang sangat serius dan sangat berdampak dari sekian banyak pengaduan yang akan diterima atau telah diterima,” jelas dia.
Nike menjelaskan, meski tidak didatangi secara langsung ke daerah, bukan berarti kasus-kasus yang lain tidak direspons atau tidak ditindaklanjuti oleh Komnas HAM. Tindak lanjut mungkin akan dilakukan dengan mengandalkan surat-menyurat, Zoom meeting, atau koordinasi secara online lainnya.
Ia pun sudah mengetahui sudah mengetahui sejak awal jika hasil penanganan secara daring dan formalitas surat-menyurat ini tak akan seoptimal penanganan yang dilakukan secara langsung ke lapangan.
Kondisi ini mendorong Nike untuk melontarkan kritik pada kebijakan efisiensi pemerintah. Menurutnya efisiensi baik dilakukan, seperti untuk perjalanan dinas. Namun perlu dilihat lebih lanjut, perjalanan dinas mana yang memang harus dihilangkan dan perjalanan dinas mana yang harus tetap dibiayai
“Dia bukan perjalanan dinas untuk rapat-rapat atau seminar. Salah satu jenis anggaran yang tidak dipotong adalah bantuan sosial. Bantuan sosial itu bantuan negara dalam bentuk apakah uang atau barang kepada masyarakat yang membutuhkan. Perjalanan Komnas HAM ke daerah membawa bantuan sosial, bukan bentuk natural, bukan bentuk uang, tapi bentuk perhatian negara terhadap masyarakat. Jadi perjalanan dinas kami itu adalah bantuan negara bagi masyarakat untuk mendapatkan perlindungan hak asasi, (tapi) dianggap sama seperti perjalanan dinas kementerian/lembaga mau kunjungan ke daerah,” jelas Nike.
Mudah-mudahan pemerintah mau mengoreksi pemotongan anggaran untuk pos perjalanan dinas dan tidak menyamaratakan semua pos di semua kementerian/lembaga.

Kantor Komunikasi Kepresidenan sempat mengemukakan, pemotongan dilakukan untuk memangkas lemak-lemak yang ada, namun bukan otot-otot yang menunjang kinerjanya. Nike pun menanggapi hal itu dengan sederhana.
“Dipotong lemak itu kalau orangnya kelebihan lemak, kalau Komnas (HAM) itu kalau organisasi dia sudah ramping sekali. Jadi betul kami ingin juga melakukan inovasi, tetapi dengan syok terapi yang terlalu mendadak seperti ini juga sulit ya,” ungkapnya.
Nike membocorkan, sesungguhnya tanpa ada efisiensi semacam ini, pemerintah tetap memegang tabungan anggaran sebesar 5 persen dari tiap kementerian/lembaga, karena dari 100 persen anggaran yang diberikan, 5 persen di antaranya di tahan oleh pemerintah, jika dibutuhkan baru akan dicairkan. Kebijakan itu disebut sebagai blokir automatic adjusment.
“Dia akan dicairkan apabila pelaksanaan tusi kita berjalan efektif, nanti dievaluasi pada semester kedua, penyerapan baik, output tercapai. Artinya kita tidak dibiasakan untuk menghabiskan uang sembarangan, dikasih 100 persen pokoknya dihabis-habiskan. Dengan automatic adjustment itu negara punya saving 5 persen setiap tahunnya yang juga bisa negara gunakan kalau ada force mayor, ada hal yang mendesak yang harus didanai bisa pakai yang 5 persen itu,” papar dia.
Selain Komnas HAM, untuk persoalan HAM Indonesia juga memiliki Kementerian HAM yang baru dipisahkan dari Kementerian Hukum dan HAM di era kepemimpinan Prabowo.
Meski sama-sama bekerja di lingkup HAM, namun dampak efisiensi yang dirasakan Komnas HAM dan Kementerian HAM sangat berkebalikan. Komnas HAM harus ekstra hemat demi semua tusinya tetap terlaksana, itupun mereka dilanda kesulitan dan harus membatasi sebagian besar pelayanan secara online. Sementara Kementerian HAM tak terdengar mengalami kesulitan terkait efisiensi ini.
Nike pun berpikir, hal itu dikarenakan jumlah pelayan yang harus dilakukan Kementerian HAM tak sebanyak Komnas HAM.
“Mungkin karena masih penataan internal kelembagaan, belum ada demand seperti kalau kepada Komnas (HAM) per hari ini sudah lebih dari 300 kasus, mungkin kepada Kementerian HAM belum sampai ada demand publik yang seperti itu,” ujar Nike.
Leave a Reply