“…Tidak pernah dalam pemerintahan semenjak Indonesia berdiri penegakan hukum dijadikan target, enggak pernah. Oke ada tagline memberantas korupsi, tetapi rasio-rasionya enggak pernah, (dibuat),”
— Komisioner KPK 2007-2011 Chandra M Hamzah
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami dinamika yang menarik untuk disimak, khususnya pada lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca revisi UU KPK tahun 2019.
KPK yang semula menjadi lembaga paling ditakuti para koruptor, kini justru dipandang bisa dikondisikan untuk “melindungi” mereka. KPK yang dulu dikenal garang menangkapi garong negara, kini lembek jika perkara menyangkut kelompok penguasa. KPK yang dulu begitu mencuri simpati publik, kini justru banyak menuai kritik. Tingkat kepercayaan publik pada KPK sejak 2020 kian hari kian menukik, mengacu data Litbang Kompas, tingkat kepercayaan pada KPK pada Desember 2023 ada di angka 47,0 persen turun cukup signifikan dibandingkan 2021 yang ada di poin 68,6 persen, dan 2022 55,9 persen.
Luntur Nilai-Nilai Luhur dalam KPK
Kepercayaan publik yang menurun terhadap KPK itu menurut Komisioner KPK 2007-2011 Chandra Hamzah diakibatkan dua hal. Pertama soal perubahan UU KPK melalui revisi di tahun 2019, yang kedua adalah sikap dan perilaku dari para pejabat di KPK itu sendiri.
“Sejak awal, KPK itu dibangun dengan semangat egaliter, dengan semangat meritrokasi, dengan semangat bahwa integritas itu number one, yang mungkin, lagi-lagi saya bilang mungkin, mungkin itu memudar,” kata Chandra saat hadir dalam podcast Back to BDM.
Chandra menceritakan bagaimana para pejabat atau pegawai di KPK begitu menjaga integritas selama bertugas. Bahkan untuk sekadar dibayari makan pun mereka akan menolak. Prinsip-prinsip egaliter juga selalu ditekankan oleh para pimpinan, misalnya dengan melarang penggunaan voorijder untuk mengawal perjalanan para pejabat KPK, meski hal itu bisa saja mereka lakukan.
“Dari awal pimpinan KPK selalu bilang enggak ada tu voorijder, Enggak ada tuh rombongan-rombongan kayak rombongan sirkus jalan di jalan raya tuh pakai ngoang ngoang itu, kita mesti hilangkan,” kisah Chandra.

Selain menjaga integritas dan menerapkan prinsip egaliter, keterbukaan antar pimpinan di KPK juga begitu dijunjung tinggi.
Chandra bercerita, di setiap gelar kasus, setiap orang harus mengemukakan pendapatnya. Bukan diperbolehkan, tapi diharuskan. Tidak ada pembeda, siapa di posisi apa, semua memiliki hak yang sama untuk mengemukakan pendapat.
Tak berhenti di situ, kolegialitas antar pimpinan KPK ketika itu sangat terjaga baik. Setiap pekan, kelima pimpinan pasti bertemu untuk berdiskusi dan membicarakan berbagai hal.
Pimpinan KPK hari ini terdiri dari jajaran dewan pengawas dan komisioner. Belum lama ini, terdapat friksi di antara dua kubu pimpinan itu. Chandra menduga, hal itu karena kurangnya komunikasi di antara mereka.
“Sekarang di pimpinan Dewas KPK dengan pengurus Komisioner KPK ketemu enggak sebulan sekali, kabarnya sih enggak, gimana ada trust di sana. Jadi itu buat perbaikan ke depan,” sebut Chandra.
Turunnya tingkat kepercayaan masyarakat ini harus dijadikan arena refleksi bagi KPK, mereka bisa bercermin pada data survei kepuasan publik yang melandai, lalu melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan.
Pimpinan KPK Bermasalah
Pada 2022, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar terkena sejumlah pelanggaran etik dan terbukti menerima gratifikasi akomodasi untuk menonton MotoGP di Mandalika, Lombok, sehingga ia mundur dari jabatannya. Setahun kemudian, pada November 2023 Ketua KPK Firli Bahuri juga harus mundur dari jabatannya karena menjadi tersangka dugaan korupsi pemerasan dan gratifikasi terkait penanganan persoalan hukum di Kementerian Pertanian.
Pimpinan KPK yang mengemban tugas untuk memimpin pemberantasan korupsi, ternyata terlibat dalam kegiatan korupsi itu sendiri. Ya, menerima gratifikasi alias suap masih masuk dalam turunan korupsi yang dijelaskan dalam undang-undang.
Apa yang salah dengan kondisi pimpinan KPK saat ini?
Dengan tegas Chandra menjawab yang salah adalah pola pikirnya. Cara pandang yang menyatakan bahwa pimpinan sama dengan pemegang kekuasaan, di situ permasalahannya. Karena sejatinya, pemimpin hanya diamanahi kewenangan yang akan dituntut pertanggungjawaban, bukan diberi kekuasaan yang melegitimasi mereka untuk berbuat sewenang-wenang.
“Yang salah adalah mindset bahwa jadi Pimpinan KPK itu berkuasa, dengan dengan merasa berkuasa maka dia merasa berhak menerima pemberian, merasa berhak mendapatkan fasilitas. Masalahnya di situ kan dari nama-nama yang disebut tadi, merasa berhak menerima tiket Mandalika lah,” ujar Chandra.

Chandra saat ini menjabat sebagai Komisaris Utama di salah satu bank BUMN, ia pun membagikan tips yang selama ini ia lakukan untuk menghindari gratifikasi atau suap pada diri dan bawahannya. Yang ia lakukan adalah meminta semua pegawai untuk menuliskan berapa gaji yang didapat, apa saja fasilitas penunjang yang diberikan perusahaan pada dirinya sesuai dengan jabatannya.
“Dari awal kita sampaikan bahwa yang halal adalah gaji kita dan fasilitas yang disesuaikan, yang diatur oleh undang-undang, oleh peraturan, di luar itu Anda enggak boleh terima,” jelas Chandra.
Kesalahan pola pikir yakni menganggap dirinya berkuasa atas kedudukan yang dimiliki, membuat oknum-oknum pejabat merasa berhak menerima sesuatu di luar haknya. Padahal, sekadar menerima parcel, itu juga bukan hak dari seorang pejabat publik. Pejabat publik tugasnya adalah melayani masyarakat. Imbalan yang diberikan atas pelayanan itu adalah gaji dan tunjangan atau fasilitas yang semuanya telah diatur dalam undang-undang.
Ia tak habis pikir dengan orang-orang yang hari ini gila dengan jabatan, berlomba-lomba mendapatkan kursi. Lagi-lagi semua ini karena ada kesalahan berpikir, banyak orang menganggap bahwa dengan menjabat maka ia akan berkuasa. Padahal tidak. Jabatan menungkinkan seseorang untuk memiliki kewenangan, bukan kekuasaan. Dan di balik kewenangan itu, ada pertanggungjawaban yang harus dilakukan.
“Orang berpikir bukan tanggungjawabnya, orang berpikir berkuasanya. Jadi daulat tuanku, zaman-zaman feodal ini masih di kepala kita. Kita berkuasa, senang, bahagia, dipandang orang bahwa kita berkuasa. Padahal Anda bukan berkuasa, Anda berwenang, enggak ada kekuasaan, yang ada kewenangan. Kewenangan diberikan oleh siapa, konstitusi dan undang-undang. Di balik kewenangan apa, pertanggungjawaban,” ungkapnya.
Pemberantasan Korupsi di Era Prabowo
Sebagai seorang pemimpin bangsa yang baru beberapa bulan dilantik, Prabowo memang telah menunjukkan retorika yang baik terkait pemberantasan korupsi di Indonesia, terkait pemerintahan yang bersih. Semangat itu ia tunjukkan melalui pidato-pidatonya di berbagai kesempatan.
Soal pasukan khusus pemburu koruptor, tekad mengejar koruptor sampai Antartika, menyingkirkan orang-orang yang tak setuju dengan konsep pemerintahan bersih yang ia usung, mengimbau menteri untuk tidak mencuri uang APBN, dan sebagainya.
Namun bagi Chandra, ungkapan-ungkapan itu bukan sesuatu yang luar biasa. Pada umumnya setiap presiden pasti melakukan apa yang dilakukan Prabowo.
Misalnya Soeharto dan Soesilo Bambang Yudhoyono. Soeharto dulu mengatakan akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi di Indonesia. Di masa kepemimpinannya, Soeharto membentuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menggantikan Perpu Nomor 24 Tahun 1960 yang mengatur tentang engusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Sayangnya, lama-kelamaan semangat itu mengendur.
Ungakapan akan memimpin langsung pemberantasan korupsi juga disampaikan oleh SBY.
“Pak SBY di awal-awal oke, (namun) beberapa jadi tagline,” kata Chandra.
Kemudian Gus Dur juga memiliki tekad serupa untuk memberantas korupsi di Indonesia, bedanya dengan Soeharto dan SBY, Gus Dur langsung membubarkan Departemen Sosial yang ia anggap sebagai sarang koruptor.
Bahkan, beberapa saat sebelum meninggal Gus Dur pernah mengatakan pada Chandra yang ketika itu sedang ada di dalam tahanan soal kemungkinan pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Chan untuk berantas korupsi dibutuhkan orang gila, enggak akan bisa kalau enggak ada orang gila,” demikian Chandra mengulang kalimat yang dikatakan Gus Dur padanya.
Meski upaya-upaya perlawanan terhadap korupsi itu selalu digaungkan tiap pemimpin di negeri ini, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tetap saja jeblok. Terakhir adalah 34 dari 100.
Oleh karena itu, agar retorika baik yang sudah ditunjukkan Presiden Prabowo menunjukkan hasil yang juga baik, diperlukan tindakan nyata dari pemerintah untuk mewujudkannya. Jangan biarkan semangat Prabowo memberantas korupsi hanya berakhir sebagai sebuah jargon kosong. Perlu kebijakan politik untuk merealisasikannya.

Sayangnya, fokus pemerintah selama ini memang tak pernah sepenuh hati diarahkan pada pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi hanya disampaikan begitu saja tanpa ada upaya lebih untuk merealisasikannya.
“Kita lihat sekarang, pertumbuhan ekonomi sekian persen. Itu kan selalu menjadi quote unquot KPI (key performance indicators), tingkat gini rasio, kemiskinan, itu dijadikan parameter (sukses tidaknya sebuah pemerintahan). Enggak satu pun parameter hukum di sana. Apa pernah pemerintah bilang IPK kita 50, kira-kira begitu, berani enggak. Tidak pernah dalam pemerintahan semenjak Indonesia berdiri penegakan hukum dijadikan target, enggak pernah. Oke ada tagline memberantas korupsi, tetapi rasio-rasionya enggak pernah (dibuat),” ungkap dia.
“Sekarang gini deh, coba Pak Prabowo bikin target. IPK kita sekarang 34, ya (targetkan) 40 lah kembali ke 2019, bikin target itu sebagai (indikator) keberhasilan. Pak Prabowo berani kayaknya, kalau Pak prabowo berani saya angkat dua jempol deh,” lanjutnya.
Atas dasar itu, Chandra mengatakan pemberantasan korupsi di Indonesia memang tak pernah serius. Semua hanya sebatas jargon, ada upaya pun tidak maksimal. Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tak pernah menjadi target yang dikejar untuk menunjukkan keberhasilan suatu pemerintahan.
Akibatnya, korupsi di Indonesia makin merajalela. Investor pun akan berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di sebuah negeri yang di dalamnya menjamur korupsi.
Hingga ada ahli yang mengatakan bahwa melakukan korupsi di Indonesia adalah pilihan rasional untuk dilakukan. Aturan lemah, hukuman ringan, risiko mengembalikan kerugian negara juga kecil.
“Mungkin kalau di Indonesia kalau mau survive koruplah. Tetapi kan akhirnya orang berpikir, banyak perusahaan yang akhirnya pindah, karena di Indonesia harga untuk melakan korupsi tinggi. Akhirnya mereka pindah ke negara-negara Vietnam, negara-negara yang lebih jelas (bersih),” sebut Chandra.
Leave a Reply