“…kalau ini dibikinkan satgas, 1×24 jam (akan) terang-benderang semua kok. Kenapa, karena semua datanya ada di seluruh Kementerian itu,”
— Direktur Eksekutif Walhi Zenzi Suhadi
Keberadaan pagar laut misterius sepanjang 30 kilometer di perairan Tangerang tak bisa diselesaikan dengan cara yang normatif alias biasa-biasa saja. Untuk bisa mengungkap pihak mana saja yang terlibat, tukar kepentingan apa yang terjadi, adakah suap di balik pengurusan izinnya, semua itu tak bisa diserahkan hanjya pada satu lembaga saja. Diperlukan satuan tugas (satgas) khusus yang terdiri dari berbagai elemen institusi agar semua bisa benar-benar terbuka.
Pendapat ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) 2021-2025 Zenzi Suhadi dalam wawancaranya bersama Budiman Tanuredjo di siniar Back to BDM.
“Walhi mengusulkan ini harus ada satuan tugas (satgas) khusus. Satuan tugas khusus ini kalau menteri yang harus ada itu tiga, Menteri KKP, Menteri ATR/BPN, dan Menteri Lingkungan Hidup, tiga ini. Yang berikutnya itu aparat penegak hukum,” kata Zenzi.
Satgas diperlukan, karena jika hanya dilimpahkan pada satu penegak hukum saja, atau pada satu kementerian saja, maka permasalahan tidak akan terungkap apalagi terselesaikan. Misalnya, jika hanya ditangani oleh Kejaksaan Agung, mereka tidak bisa mengoreksi kebijakan. Padahal, pagar laut ini erat kaitannya dengan pengambilan kebijakan, khususnya di saat penerbitan hak guna dan hak milik lahan dari pemerintah kepada pihak swasta atau perorangan.
Begitu pula ketika ketiga lembaga hukum KPK, Kejaksaan, dan Polri sama-sama bekerja, Zenzi khawatir ketiganya justru saling sandra dan saling berebut kewenangan.
Untuk itu, pembentukan satgas menjadi opsi yang paling rasional agar kewenangan menjadi terpusat pada satu tangan, namun kerja-kerja bisa optimal menyabet semua aspek karena melibatkan berbagai lembaga dan kementerian.
“Makanya harus satgas, supaya semuanya dalam satu kewenangan, penyelidiknya, penuntutnya, maupun yang akan mengoreksi secara administrasi. Karena kalau tidak dibikinin satgas, enggak tahu kita ujung ke mana nanti,” ujar Zenzi.
“Satgas ini dia harus dipimpin Kejagung, karena muaranya nanti di hukum,” imbuhnya.

Saat ini, berbagai lembaga dan kementerian sudah mulai terlihat bergerak menangani permasalahan pagar laut misterius ini. Tentu mereka bergerak sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Jika tidak ada kewenangan tunggal yang mengatur arah penanganan ini, maka Zenzi meyakini semua pihak akan bekerja dengan arah yang berbeda-beda.
“Kalau dia tidak dibentukkan satgas, maka bisa jadi semua bekerja atas dasar penyelidikan atau penyidikan, justru dia bekerja untuk menghentikan proses hukum terhadap itu. Tapi kalau ini dibikinkan satgas, 1×24 jam (akan) terang-benderang semua kok. Kenapa, karena semua datanya ada di seluruh Kementerian itu,” jelas dia.
Kementerian yang ia maksud adalah KKP, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian ATR/BPN. Jadi, jika bukti didapatkan, maka pelaku atau aktor juga bisa diketahui. Jika sudah demikian, maka tinggal diserahkan pada Kejagung atau Polri untuk ditangani secara hukum, karena dua institusi inilah yang memiliki wewenang untuk menegakkan hukum.
Jadi semua pihak akan bersinergi, berperan mengungkap dan menyelesaikan kasus ini sesuai tugas dan wewenangnya masing-masing.
Keterlibatan Orang Lama
Kasus pagar laut, khususnya pemberian hak guna dan hak milik lahan perairan kepada pihak swasta atau perorangan sudah terjadi sejak masa pemerintahan Joko Widodo. Orang-orang yang saat itu duduk sebagai Menteri juga sebagian masih ada yang menjabat di Kabinet Prabowo. Ini berpeluang menghambat proses pengungkapan. Mereka tak mungkin akan blak-blakan membuka informasi-informasi yang diketahui, karena sama saja dengan membuka kesalahan diri sendiri di masa lalu.
Namun, jika menteri di kementerian-kementerian terkait yang saat ini menjabat sudah berganti, maka konflik kepentingan bisa dihindarkan. Mereka pasti tak akan segan mengungkap data atau informasi di kementerian yang bisa membantu menuntaskan persoalan.
“Seperti ATR/BPN, dia tidak ada beban, dia umumkan daftar sertifikat dan penerimanya. Dia tidak ada beban karena tidak menjadi bagian dari itu. Dari awal kami menyatakan kementerian yang menyatakan tidak tahu terhadap proyek ini patut diperiksa dia menjadi bagian dari proyek ini,” tegas Zenzi.
Misalnya, ketika itu Menteri KP Trenggono yang mengaku tidak tahu-menahu soal pagat laut di Tangerang. Inilah salah satu pihak yang dicurigai Zenzi terlibat dalam proyek ini. Termasuk Wakil Menteri ATR/BPN yang mengaku sama, tidak tahu apapun, karena menurutnya yang menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Hak Guna Bangunan (HGB) adalah Badan Pertanahan Kabupaten Tangerang.
“Enggak mungkin pejabat di Badan Pertahanan daerah itu menerbitkan sesuatu sertifikat yang berhubungan dengan usaha besar dia tidak memberitahu atau tidak ada izin dari Kementerian, tidak ada restu. Bahkan pasti ada pengarahan dari Kementerian. Enggak mungkin enggak tahu, pasti tahu,” ujarnya.

Hal yang sama juga disangkakan pada Jokowi yang saat itu duduk di kursi presiden. Pada Mei 2023 Jokowi menandatangani peraturan soal penambangan pasir. Peraturan itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Pengelolaan Pesisir dan Lautan. Pasalnya, UU tersebut mengamanatkan pemerintah untuk membuat tata kelola terhadap wilayah yang mengalami sedimentasi (contoh akibat adanya pengendapan lumpur) agar ekologi di sana tak terganggu dan kembali pulih.
“Tetapi keputusan oleh Jokowi, pasir-pasir yang mengendap oleh proses geomorfologis dan kesetimbangan alam, pasir ini yang dibolehkan untuk diambil, justru Ini merusak ekosistem. Ini bertentangan dengan perintah Undang-Undang Perairan dan Kelautan itu sendiri,” ujar Zenzi.
Padahal, presiden diamanatkan untuk melaksanakan dan taat terhadap konstitusi, bukan melawannya. Oleh karena itu, ZenI tegas mengatakan Jokowi harus dipanggil untuk dimintai keterangan dan pertanggungjawaban atas kebijakannya di masa lalu, meski kini ia sudah tak lagi menjabat sebagai Presiden.
“Yang harus diperiksa oleh pemerintah saat ini, atas kepentingan apa seorang Kepala Negara tahun 2023 itu berani melawan undang-undang untuk menguntungkan pihak lain, apa kepentingannya, apa keuntungannya. Negara ini tidak lagi mempunyai marwah di depan para pengusaha, karena ada yang menjual marwah itu. Siapa yang menjual marwah itu, orang yang seharusnya menegakkan hukum,” jelas dia.
Leave a Reply