Ketidakseriusan Pemerintah Lawan Korupsi dari Masa ke Masa

“…kompromi dengan elit politiknya salah satunya adalah pelemahan KPK dan itu terwujud begitu cepat. Begitu Pak Jokowi terpilih periode kedua itu langsung dilakukan Revisi Undang-Undang KPK 2019 padahal dia belum secara resmi dilantik sebagai presiden untuk periode kedua,”

—Pengamat Korupsi Vishnu Juwono

Korupsi menjadi masalah pelik yang saat ini menjerat Indonesia. Korupsi bukan barang baru, kejahatan itu sudah ada bahkan jauh sebelum negeri ini merdeka. Kejahatan yang merugikan begitu banyak orang ini seolah terus terpelihara, sulit sekali ditumpas, meski berbagai upaya nampaknya telah dilakukan pemerintah, salah satunya melalui pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tindakan hukum diberlakukan, sanksi sosial pun diberikan. Namun korupsi masih saja dianggap sebagai jalan pintas mengeruk pundi-pundi kekayaan yang menjanjikan. Orang-orang yang menduduki jabatan, mereka diberi wewenang, tapi justru menyalahgunakan dan mencari-cari kesempatan.

Korupsi hari ini terjadi di mana-mana, dia terjadi di pusat atau daerah, dilakukan oleh pucuk pimpinan atau pegawai biasa, ada dalam jumlah fantastis atau receh. Pertanyaannya, seriuskah pemerintah memberantas korupsi yang terus menggerogoti Indonesia?

Pengamat Korupsi yang juga merupakan dosen di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) Vishnu Juwono menganggap penanganan korupsi di Indonesia tidak pernah sepenuhnya tuntas. Kesimpulan itu ia dapatkan dari thesis doktoralnya mengenai sejarah politik dari reformasi tata kelola dan inisiatif anti korupsi di Indonesia pada tahun 1945–2014.

“Temuan yang paling signifikan dari disertasi ini, saya melihat bahwa di setiap era ada isu anti korupsi, dari zaman kemerdekaan, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, Orde Baru, kemudian reformasi, hingga Pak SBY 2 periode, tapi tidak pernah tuntas karena tidak menyelesaikan masalah fundamental yaitu memitigasi, menetralisir pengaruh patronase ekonomi,” kata Vishnu saat berbincang di podcast Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.

Menurutnya, para elite politik membiarkan patronase ekonomi ini tumbuh subur untuk keuntungan mereka sendiri. Misalnya untuk keperluan transaksi politik, jual beli jabatan, jual beli pengaruh, dan sebagainya.

Vishnu menyorot patronase ekonomi ini terjadi bukan hanya di tingkat pusat, namun juga hingga ke tingkat bawah di daerah, terutama daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam.

Jika pemerintah serius menangani korupsi, semestinya mereka mencoba menetralisir sumber-sumber patronas ekonomi. Misalnya dengan mendorong inisiatif penggunaan uang elektronik, mengesahkan RUU Pembuktian Terbalik, dan mendorong reformasi penegakan hukum.

Wawancara BDM dengan Vishnu Juwono.

Awal Reformasi

Awal masa reformasi sesungguhnya menjadi momentum baik untuk melakukan penanganan kasus-kasus korupsi yang ada. Mengingat saat itu semangat bersih-bersih sistem politik masih gencar-gencarnya. Sayang, momentum itu lepas, karena para politisi akhirnya tergoda dengan uang yang diberikan pihak oligark yang semula dikenal dekat atau loyal dengan Soeharto dan saat itu mulai bergeser mendekat pada penguasa baru demi mengamankan urusannya masing-masing.

“Karena dananya tidak terbatas sehingga siapapun yang berkuasa mereka tetap survive dengan bantuan elite politik dan dibantu dana-dana politik, itu yang terjadi. Sehingga akhirnya momentum itu lepas karena elite politik akhirnya terbuai dengan hal tersebut,” ujar peraih gelar Doktor dari London School of Economics and Political Science itu.

Megawati

Puncak kerja sama oligark dan politisi itu terjadi pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Sukarnoputri dimana Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) yang memberi ampunan terhadap para peminjam dana Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI).

Langkah Mega itu menuai banyak kritik, karena dinilai menunjukkan adanya kesepakatan antara pihak elite politik dan oligark.

“Itu menunjukkan bahwa memang pada akhirnya ada semacam kesepakatan antara elite politik dengan oligarki bahwa jangan diganggu bisnis saya segala macam, saya akan support secara finansial dan nonfinansial untuk kepentingan politik,” jelas Vishnu.

Kerjasama antara elite politik dan oligark itu masih langgeng hingga sekarang. Hubungan ini pula yang menyebabkan politik uang merebak. Politisi yang mempunyai modal lebih (dekat dengan oligark) biasanya akan lebih sukses dalam kampanye dan perolehan suara. Ini mengingat masyarakat pemilih di Indonesia mayoritas berasal dari kalangan dengan latar belakang pendidikan rendah.

SBY

Masuk ke era pemerintahan Presiden SBY, lahirlah KPK, lembaga ini resmi memiliki undang-undang, dibuatkan kantor, dan bekerja secara independen juga profesional.

“Itu salah satu simbolik yang menyatakan bahwa negara menyediakan sumber daya untuk KPK dalam melaksanakan tugasnya,” kata penulis buku Melawan Korupsi: Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1945 – 2014 itu.

Pesiden SBY pun dianggap sebagai pemimpin yang berpihak pada KPK ketika terjadi konflik antara KPK dan Polri atau yang dikenal sebagai Cicak versus Buaya baik jilid I maupun II.

“Ada yang mengatakan bahwa SBY terpaksa, mungkin SBY dianggap pencitraan, jadi tidak ada pilihan. Tapi apapun itu faktanya pada saat konflik terjadi misalnya Cicak Buaya I, saat Cicak Buaya II pada akhirnya SBY berpihak pada KPK. Itu test-nya, real test-nya,” sebut dia.

Di masa kepemimpinan SBY, penanganan korupsi memang mendapat penilaian baik dari publik. Bagaimana tidak, penindakan terhadap koruptor benar-benar dilakukan tanpa pandang bulu. Bahkan besan Presiden sendiri, Aulia Pohan, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Tak berhenti di situ, kader-kader Partai Demokrat, partai yang dipimpin SBY, juga ada yang terseret pusaran kasus korupsi, salah satunya Angelina Sondakh.

Sayangnya SBY tak lagi fokus menangani perkara korupsi di periode keduanya (2009-2014), karena saat itu ia lebih fokus mempertahankan kredibilitas partainya pasca elite-elite Partai Demokrat terjerat kasus korupsi.

“Itulah yang menghancurkan kredibilitas dari Partai Demokrat. Kita lihat suaranya langsung turun drastis dari 20 persen jadi 7 persen dan akhirnya Pak SBY dengan elektoral seperti itu dia tidak punya leverage politik untuk mendorong reform karena sibuk untuk defensif mempertahankan eksistensi politiknya pada waktu itu,” jelas Vishnu.

Meski sikapnya sebagai pemimpin terbilang benar, membiarkan hukum memproses siapapun orang yang bersalah, termasuk orang-orang yang berasal dari lingkar terdekatnya. Namun, sayangnya publik memberi penilaian berbeda. Masyarakat lebih banyak yang kecewa dan melihat ketidakkonsistenan pada diri SBY. Ia dan Partai Demokrat lekat dengan jargon “katakan tidak pada korupsi”, namun justru kader-kader partai itu banyak terlibat korupsi.

Vishnu Juwono dalam Back to BDM.

Jokowi

Berlanjut ke era pemerintahan Jokowi, Vishnu melihat ada pola baru dalam penumpasan korupsi di Indonesia, khususnya di periode kedua (2019-2024).

Pada periode pertama (2014-2019) Jokowi mempersilakan KPK leluasa melakukan penangkapan terhadap pelaku kejahatan korupsi, termasuk pada kader-kader PDIP yang merupakan partai Jokowi.

Namun pada periode kedua, Jokowi mendapat dukungan besar dari banyak partai politik. Berkerumunnya partai-partai politik di sekitar Jokowi diduga akibat adanya kesepakatan-kesepakatan politik di belakangnya untuk melindungi kasus-kasus korupsi yang melibatkan kader partai-partai politik tersebut.

“Akhirnya dibentuk sebuah koalisi yang besar, kepercayaan (terhadap) Pak Jokowi menjadi tinggi, tapi kompromi dengan elit politiknya salah satunya adalah pelemahan KPK dan itu terwujud begitu cepat. Begitu Pak Jokowi terpilih periode kedua itu langsung dilakukan Revisi Undang-Undang KPK 2019 padahal dia belum secara resmi dilantik sebagai presiden untuk periode kedua,” papar Vishnu.

Adanya revisi ini menunjukkan bahwa para elite politik memang terganggu dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Mereka merasa tak bisa bergerak leluasa untuk membangun patronase ekonomi yang mereka inginkan.

Sayangnya, keberpihakan Presiden juga tak lagi ada pada KPK. Jokowi lebih mementingkan lancarnya pembangunan infrastruktur secara fisik, ketimbang penanganan korupsi. Kita tahu, ada sejumlah proyek besar yang dikerjakan Jokowi di periode keduanya, misalnya Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan Ibu Kota Nusantara (IKN).

“(Kerja-kerja KPK) Itulah yang dianggap mengganggu elite-elite politik dalam membangun patronase ekonominya dan pak Jokowi pada akhirnya mengritik KPK, bahkan dianggap membuat rasa takut, orang tidak bisa membuat keputusan strategis padahal pembangunan butuh diakselerasi,” kata Vpria yang pernah berkarier di International monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia itu.

Meski pemberantasan korupsi ada dalam kampanye politiknya, namun itu tak lebih penting dari pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas Jokowi.

“Saya tidak menyatakan pembangunan infrastruktur satu yang salah, itu hal yang bagus. Tapi kan lebih baik dikawal efisiensi biayanya, banyak diskusi saat ini yang mengritik banyak BUMN yang bleeding juga membantu pembangunan infrastruktur, salah satunya karena tidak efisien dan biaya tinggi. Akhirnya membuat patronase ekonomi itu menjadi tetap tumbuh subur,” pungkas Vishnu.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *