Utang Jatuh Tempo 2025-2028, Paksa Pemerintah Putar Otak Dapatkan Pemasukan Tambahan

“Harusnya pemerintah menunjukkan bahwa ini akibat belanja di masa lalu yang buruk, kita atasi yang buruknya itu, kita lakukan penegakan hukum, kabinet juga efisien, dan sebagainya,”

—Pengamat Ekonomi Yanuar Rizky

Saat ini Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tengah dihadapkan pada kewajiban membayar utang negara yang jatuh tempo pada 2025, 2026, 2027, dan 2028. Mengutip data profil jatuh tempo utang dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, jumlah utang jatuh tempo 4 tahun ke depan mencapai lebih dari Rp 3.100 triliun.

Utang jatuh tempo 2025 sebesar Rp800,33 triliun, 2026 sebesar Rp803,19 triliun, 2027 sebesar Rp802,61, dan 2028 turun menjadi Rp719,81 triliun.

Jumlah utang yang besar ini disebut-sebut karena kebutuhan Pemerintah untuk menghadapi pandemi Covid-19 di tahun 2019-2021.

Pengamat Ekonomi Yanuar Rizky menyebut jatuh tempo utang yang begitu besar ini menjadi salah satu alasan pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen di awal tahun 2025, meski akhirnya Presiden membatalkannya.

Dalam podcast Back to BDM, Yanuar menjelaskan pada dasarnya prrhitungan APBN kita adalah penerimaan negara dalam bentuk tunai dikurangkan dengan jumlah belanja negara. Jika hasilnya minus atau defisit, jumlah maksimalnya adalah 3 persen, tidak boleh lebih dari itu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan untuk tidak khawatir terhadap jatuh tempo utang yang akan datang di tahun-tahun ini dan kedepan. Ia menyebut pemerintah bisa melakukan revolving alias membayar sebagian atau seluruh utang yang ada untuk menarik utang baru dalam batas plafon yang sama. Konsekuensinya, revolving ini menyebabkan bunga utang naik dibanding utang sebelumnya.

“Kalau sekarang Pemerintah punya penerimaan di 2025, setelah belanja rutin, ada peningkatan untuk bayar utang jatuh tempo masuk ke (daftar komponen) belanja, gimana bayarnya? Penerbitan utang baru untuk membayar utang. Itulah Kenapa PPN naik, karena Pemerintah tidak menginginkan menaikkan defisit di atas 3 persen, terutama Sri Mulyani,” kata Yanuar.

Yanuar Rizky dalam Back to BDM.

Menaikkan PPN dianggap menjadi opsi yang rasional mengingat Indonesia merupakan negara yang ekonominya bertumpu pada konsumsi. Dengan meningkatkan PPN, maka penerimaan negara akan naik. Penerimaan yang naik ini diharapkan bisa membantu mengurangi potensi defisit APBN akibat harus membayar utang yang bunganya meningkat.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, utang baru yang diambil pemerintah ditujukan untuk menutup utang lama yang sudah harus dibayar. Gali lubang tutup lubang, adanya utang baru tidak lantas menambah ruang fiskal APBN yang ada di garis defisit. Oleh karena itu, mau tidak mau Pemerintah harus meningkatkan penerimaan Negara.

“Kenapa PPN naik, mengatasi shortfall. Shortfall-nya karena apa, karena terjadi peningkatan belanja akibat ada utang jatuh tempo. Penerbitan utang juga dipakai untuk ngatasin utang, jadi harus ada penerimaan baru. Maka secara matematis penerimaan saya naikkan dengan naikin PPN,” jelas Yanuar.

Meski rasional, menaikkan PPN dari 11 menjadi 12 persen bukan opsi yang tanpa risiko jika tetap diambil oleh Pemerintah, karena besarnya penolakan dari masyarakat, khususnya masyarakat kelas menengah. Dan nampaknya Presiden Prabowo tidak ingin ambil risiko muncul konsolidasi kelas menengah yang resisten terhadap pemerintahannya, maka ia membatalkan pemberlakuan PPN 12 persen awal tahun kemarin.

Tak hanya masyarakat umum, Yanuar mengatakan saat ini bahkan banyak pendukung Prabowo di Pemilihan Presiden kemarin yang juga menyatakan kecewa terhadap rencana kebijakan yang akan diambil pemerintah terkait kenaikan pajak itu.

“Jadi kalau kita lihat sinyalnya sudah terjadi konsolidasi kelas menengah loh di musuh bersamanya (pemerintah), kelihatannya ini yang ditakutkan. Kalau ini ditakutkan, kemudian ada makan siang gratis, mesti bayar utang, berarti harus ningkatin jumlah defisit, nerbitin utang baru. Problem juga muncul,” sebut Yanuar.

Masalah yang ia maksud adalah jika defisit ditingkatkan menjadi 5 persen, misalnya, kemudian pemerintah menerbitkan surat utang baru, siapa yang mau membeli? Menaikkan PPN sudah dihadang oleh penolakan masyarakat, oeh karena itu muncul ide-ide kreatif untuk menambah aliran dana segar di APBN. Membuat kebijakan soal Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Uang tabungan dari masyarakat pekerja “ditahan” oleh negara dan baru bisa diambil oleh pemiliknya di usia 58 tahun. Kalaupun pekerja tersebut terkena PHK, uang tabungan itu tidak sekonyong-konyong bisa langsung dicairkan. Dengan kebijakan ini, negara memiliki uang tambahan yang bisa diputar untuk memenuhi berbagai keperluan.

“Tapi kan logikanya itu kalau kelas menengahnya baik-baik saja, masih punya pekerjaan, tidak ada PHK. Dikenai Tapera dan segala macam itu juga permainan berisiko tinggi. Kalau saya engak mau naikin defisitnya, tapi saya ingin membiayai pembangunan gimana?” singgung Yanuar.

Pembangunan yang dimaksud adalah berbagai proyek strategis nasional yang saat ini ditanggung oleh pemerintahan Prabowo. Salah satunya warisan dari rezim pemerintahan Joko Widodo, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Di luar itu, Prabowo juga memiliki program unggulan yang membutuhkan anggaran tak kalah besar, Makan Siang Bergizi.
Oleh karena itu, Yanuar menyarankan agar Pemerintahan sekarang mengakui bahwa belanja di era pemerintahan sebelumnya sangat buruk. Setelah itu, segera mengambil tindakan perbaikan. Jangan terus-terusan memuji sesuatu yang terang-terangan buruk.

“Sayangnya gini, entah kenapa Pak Prabowo ini kan selalu mengatakan Pak Jokowi ini bagus, melandaikan inflasi bagus, sehingga Prabowo tidak punya lagi wajah aslinya. Kan harusnya kita sekarang mulai berani mengatakan bahwa belanja di masa lalu ini jelek, korupsi, dan sebagainya,” tegas Yanuar.

Ia menjelaskan bagaimana Sri Mulyani pada Oktober lalu menyebut keseimbangan primer APBN sebelum membayar bunga utang adalah surplus Rp39 triliun. Namun, begitu bunga utang dibayarkan APBN langsung defisit Rp980 triliun.

Bagi Yanuar, ini menunjukkan utang yang diambil sebelumnya tidak digunakan untuk hal-hal yang bersifat produktif, tidak mampu menumbuhkan pajak, menandakan alokasi belanja yang buruk.

“Bahkan sekarang untuk jatuh temponya pun kita harus berutang baru. Ini yang dikatakan pada akhirnya negara berkembang gagal melakukan yang namanya monetasi fiskalnya karena terjebak oleh gali lubang tutup lubang,” ujar dia.

Ia membayangkan pemerintahan sekarang mau mengakui keburukan belanja negara di era pemerintah sebelumnya, kemudian siapapun yang korup ditangani secara serius tanpa tebang pilih. Rasa-rasanya masyarakat tak akan terlampau menolak jika pemerintah harus menaikkan PPN menjadi 12 persen. Masyarakat tahu, itu langkah yang harus dilakukan untuk menutup semua lubang yang diciptakan rezim sebelumnya. Masyarakat pun akan mendukung, jika arahnya adalah untuk kebaikan di masa mendatang.

“Kalau ini kan belanjanya enggak ada yang ngatasin, tidak ada pengakuan bahwa IKN itu menimbulkan pemborosan pemborosan, shortfall, dan bahkan membentuk kabinet yang gemuk. Ya wajar kalau orang pada akhirnya ngelihat loh ini gimana gitu,” ungkap Yanuar.

“Harusnya pemerintah menunjukkan bahwa ini akibat belanja di masa lalu yang buruk, kita atasi yang buruknya itu, kita lakukan penegakan hukum, kabinet juga efisien dan sebagainya,” lanjutnya.

Yanuar benar-benar berharap pemerintah segera melakukan “pertaubatan nasional” dengan mengakui bahwa pemerintahan sebelumnya membuat utang banyak tapi dibelanjakan secara ugal-ugalan dan tidak terukur alias “mabok”. Selanjutnya, demi menciptakan kondisi keuangan negara yang lebih baik, Prabowo harus bisa melakukan pembelanjaan yang jelas dan terarah. Sekalipun terpaksa harus mencetak uang dari utang baru, uang tersebut harus dibelanjakan untuk sesuatu yang produktif, misalnya untuk reforma agraria atau energi. Sehingga utang bisa meningkatkan pendapatan dari sektor pajak, menciptaan lapangan kerja baru, dan sebagainya.

Wawancara Yanuar Rizky dengan Budiman Tanuredjo di podcast Back to BDM.

BP Investasi Danantara

Badan Pengelola (BP) Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) merupakan salah satu rencana pemerintah untuk melakukan pembiayaan pembangunan di luar anggaran APBN, alias menggunakan dana di luar dari APBN.

Rencana ini muncul terkait dengan kebutuhan pembangunan pemerintah di tengah keterbatasan anggaran APBN, karena habis terserap untuk pembayaran utang dan bunga utang yang jatuh tempo.

Danantara itu nantinya merupakan gabungan dari sejumlah BUMN besar, seperti PLN, Pertamina Mandiri, BRI, BNI, Telkomsel, dan Mind Id. Ketujuh BUMN itu

Jika ketujuh BUMN itu disatukan, maka Yanuar mengatakan aset yang dimiliki sekitar Rp15.000 triliun. Jika utang negara Rp8.000 triliun, maka masih ada leverage Rp7.000 triliun. Jika proporsi leverage adalah 1:10, maka Danantara dapat mengambil pendanaan baru sebesar Rp70.000.

“Jadi idenya Danantara melakukan konsolidasi laporan keuangan BUMN, menciptakan leverage baru, menerbitkan obligasi pembangunan yang dikeluarkan oleh Danantara,” jelas Yanuar.

Namun, hingga kini pemerintah belum juga mewujudkan Danantara itu. Yanuar menduga ada sejumlah masalah yang membuat Prabowo urung merampungkan “barang baru” ini. Masalah itu salah satunya adalah soal pertikaian kepentingan di kalangan elite.

Diketahui, selama ini BUMN dipimpin oleh seorang Menteri BUMN yang saat ini dijabat oleh Erick Thohir. Sementara nantinya BP Investasi Danantara akan dipimpin oleh Kepala BP Danantara yang telah ditunjuk, yakni Muliaman Hadad.

“Kita bicara real-nya aja, mang Erick mau yang tadinya menggunakan BUMN untuk segala macam glorifikasinya, termasuk PSSI, akhirnya tidak bisa mengendalikan itu, pindah (ke Miliaman Hadad). Unik kan isunya,” sebut Yanuar.

Terlebih, isu ke depan Danantara akan dibuat model komisioner. Jadi Muliaman Hadad menjadi Ketua Dewan Komisioner, wakilnya diisi oleh Menteri Keuangan,ada perwakilan dari pemerintah, dan ada pula yang akan mewakili publik.

Yanuar mendengar bahwa pihak yang akan mewakili pemerintah dalam komisioner Danantara bukanlah Menteri BUMN, melainkan Menteri Investasi dan Hilirisasi Rosan Roeslani.

“Dari sisi Rosan, dulu kan situ (Erick Thohir) megang BUMN karena ketua timses (Jokowi-Ma’rif). Ketua timsesnya (Prabowo-Gibran) kan sekarang saya, saya juga kan perlu bagi-bagi. Jadi Danantara ini rusak oleh beginian, rusak oleh orang-orang yang tadinya teman kemudian rebutan. Tapi kalau konsep dan idenya benar, dalam artian pembiayaan pembangunan,” kata Yanuar.

Meski terjadi gesekan di internal para elite, Prabowo diduga kuat akan mempercepat pengoperasian Danantara. Mengingat kebutuhan dana yang terus memburu, sementara PPN 12 persen yang digadang-gadang bisa mendatangkan pemasukan tambahan batal diterapkan.

Di akhir sesi, Yanuar menyampaikan ia meyakini bahwa Danantara akan begitu membantu persoalan kebutuhan pendanaan pembangunan negara jika dikelola dengan baik.

Selama ini, saldo anggaran lebih yang dimiliki pemerintah disimpan di rekening sal. Anggaran itu bisa dipinjam oleh BUMN, Pemda, dan lain sebagainya dengan memberikan jaminan berupa Surat Utang Negara (SUN).
“Yang saya baca dari situ, oh ini mau menciptakan uang baru dari liquidity-nya. Jadi dengan kata lain BUMN atau bank, dia punya Surat Utang Negara, daripada SUN itu kamu jual, kamu kasih deh, saya kasih pakai uangnya Sal. Saldo anggaran lebih dari pemerintah ini nanti memungkinkan pemerintah menerbitkan surat utang baru,” jabar Yanuar.

“Nanti kalau ada Danantara, diperluaskan, bisa pakai Danantara,” ia menambahkan.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *