Oligarki Sudah “Menguasai” Indonesia…

“Zaman Pak Harto yang nonpribumi selalu mengatakan dia tidak punya hak untuk berpolitik meskipun dia bisa kaya, bisa jadi oligarki sebesar apa. Artinya state dalam hal ini aktornya Soeharto masih cukup kuat, powerful mengendalikan dia. Sekarang kan beda, sekarang dengan segala macam pemilihan pilkada langsung, pemilu langsung, akhirnya semua orang datang ramai-ramai ke oligarki,”

—Pengamat Ekonomi Yanuar Rizky

Pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, berlaku pembatasan hak politik antara masyarakat pribumi dan nonpribumi. Masyarakat nonpribumi, misalnya keturunan Tionghoa, sama sekali tidak diberi hak untuk masuk ke gelanggang politik. Mereka diizinkan untuk menjadi pengusaha, oligark, sekaya apapun itu boleh, asal satu, tidak masuk ke politik.

Aturan itu dijalankan dengan ketat, sehingga bisa dijumpai seluruh pemangku kebijakan publik di saat itu adalah orang-orang pribumi, sementara orang-orang nonpribumi lebih banyak berkecimpung di bidang usaha. Kita mungkin masih familiar dan kerap mendengar istilah kelompok 9 Naga. Mereka adalah kelompok pengusaha Tionghoa yang memiliki kedekatan dengan Orde Baru.

Namun, pembatasan hak itu tak lagi berlaku di era pasca reformasi. Orang-orang nonpribumi mulai menginjakkan kaki di dunia politik khususnya dengan jalan membuat partai politik baru. Pengamat Ekonomi Yanuar Riza mengatakan setidaknya ini mulai terjadi di masa akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atau sebelum Presiden Joko Widodo menjabat.

“Akhir-akhir zaman SBY oligarki atau konglomerat ini mulai berpartai, ada yang pecahan Golkar buat partai X, ada yang pecah lagi dari Nasdem, misalnya Hary Tanoe buat partai sendiri, kemudian Bakrie misalnya di Golkar. Mereka ibaratnya membuat partai ini kayak pasar saham, dia beli saja partai politik. Ini kan tidak terjadi di zaman Soeharto, karena dia memisahkan betul politik bukan area kamu, kamu boleh kaya tapi enggak boleh pegang politik, ini enggak terjadi (di masa akhir rezim SBY hingga sekarang),” kata Yanuar dalam podcast Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.

Orang-orang nonpribumi itu kemudian terus berkonsolidasi baik dalam dunia usaha maupun dunia politik hingga mencapai puncak kekuatannya pada saat ini.

“Konsolidasi yang sudah terjadi sejak kalau hitungan saya sejak 2006, puncaknya sekarang. Oligarki semakin menguasai partai politik, entah itu dimiliki langsung oleh dia, entah juga lewat orang lain tapi dia yang mengendalikan,” ujar Yanuar.

Wawancara Yanuar Rizky dengan Budiman Tanuredjo di podcast Back to BDM.

Dan hari ini, kelompok oligark itu bahkan bisa dibilang sudah lebih kuat daripada posisi pemerintah formal. Terlihat dari pembuatan keputusan-keputusan yang tidak menguntungkan rakyat yang dikerjakan dalam waktu singkat. Meski banyak penolakan dari masyarakat, namun keputusan itu tetap disahkan. Misalnya UU Cipta Kerja atau soal Putusan MK tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka mendidiki kursi Wakil Presiden di usia 35 tahun.

Ini terjadi akibat tidak adanya kontrol yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok penguasa kapital. Jika pun ada, kekuatan kontrol tak begitu signifikan untuk bisa mengendalikannya.

“Kita ini sekarang sudah engak ada Chinese Firewall (batasan) antara orang yang mengendalikan bisnis dengan orang yang mengendalikan politik,” sebut pria kelahiran Bandung 51 tahun itu.

Hari ini, pesbisnis juga merupakan politisi. Sebaliknya, politisi juga mempunyai bisnis. Tak ada garis batas antara keduanya.

Selain itu, sekarang kita juga bisa melihat bagaimana posisi Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) begitu diperebutkan oleh kalangan oligark. Itu karena posisi Ketua Kadin maupun Hipmi dianggap strategis untuk akhirnya bisa mengendalikan politik di tingkat nasional.

Hal-hal tadi menunjukkan betapa saat ini kekuatan oligark begitu kuat dalam politik, tak lagi sama seperti di masa Orde Baru.

“Sekarang ini menurut saya era yang lebih parah, dalam artian karena pada akhirnya yang melakukan konsolidasi itu si oligarkinya, melakukan hostel takeover terhadap instrumen politik,” kata Yanuar.

Yanuar Rizky dengan Budiman Tanuredjo di podcast Back to BDM.

Tak bisa dipungkiri, politik di Indonesia membutuhkan biaya mahal. Dan para taipan atau oligark adalah pihak yang bisa memberikan pendanaan besar itu pada para politisi yang akan bertarung. Oligarki adalah ATM para politisi. Jadi, secara tidak langsung mereka lah sesungguhnya yang tengah beradu memenangkan pertandingan politik, namun melalui tangan-tangan politisi yang bermain di lapangan.

Namun Yanuar menyayangkan, ideologi dalam berpolitik di Indonesia sudah tidak lagi ada. Di Tanah Air, politik adalah bagaimana cara agar bisa menang dan mendekat pada kekuasaan. Tak peduli cara apa yang digunakan dan kemana keberpihakan akan diarahkan.

“Di kita itu intinya menang, bahkan untuk menang kita juga kayak soal (mengakali konstitusi melalui) MK itu hal yang lumrah, kemudian masyarakatnya juga yang penting saya menang pemilu saya dapat legalitas. Kalau di Amerika misalnya Elon Musk, kalau Trump kalah dia enggak cepat-cepat ke Kamala Haris, dia akan hidup bersama Trump. Beda di kita, di kita ini kalau jagoan saya kalah, (pindah) ke sebelah,” papar Yanuar.

Oleh karena itu, kelompok oligark seolah mendapatkan wadah untuk bersatu. Mereka tak lagi bersaing di dunia politik. Kelompok manapun yang mereka sokong, entah akan menang atau kalah nantinya, toh akan bersatu menjadi sebuah kekuatan.

Oleh karena itu, konflik di dunia usaha tak lagi terlihat, khususnya di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Alasannya karena para pengusaha saat ini saling bekerja sama di bidang politik, tak lagi sikut-sikutan untuk menang dan menguasai semuanya sendiri.

Padahal, ketika Orde Baru negara masih begitu berkuasa untuk mengontrol dan mengendalikan oligarki. Sekarang yang terjadi adalah sebaliknya.

“Zaman Pak Harto yang nonpribumi selalu mengatakan dia tidak punya hak untuk berpolitik meskipun dia bisa kaya, bisa jadi oligarki sebesar apa. Artinya state dalam hal ini aktornya Soeharto masih cukup kuat, powerful mengendalikan dia. Sekarang kan beda, sekarang dengan segala macam pemilihan pilkada langsung, pemilu langsung, akhirnya semua orang datang ramai-ramai ke oligarki (untuk meminta dukungan kapital),” jelas ekonom yang merampungkan memeroleh Magister Hukum dari Universitas Indonesia itu.

Jadi, kondisi saat ini negara begitu lemah dalam hal mengontrol kekuasaan oligarki. Bahkan, negara itu sendiri saat ini secara tidak langsung sudah dikuasai oleh oligarki. Oligarki menguasai negara melalui orang-orang, para pemimpin formal yang mereka biayai proses mendapatkan kursi kekuasaannya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *