“…omnibus tidak cocok bagi Undang-Undang Pemilu, karena Undang-Undang Pemilu itu di manapun di dunia dia menjadi instrumen pendidikan politik. Dari mana masyarakat belajar pemilu, salah satunya dari undang-undang. Omnibus itu kan secara struktur dia menyebar, mengubah sana, mengubah sini, tambal sulam, dan itu buruk sekali bagi konsolidasi aturan, kepastian aturan main, dan juga sebagai instrumen pendidikan politik,”
-Pakar Pemilu Titi Anggraini
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meniadakan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki tugas untuk segera merevisi Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu agar pasal-pasal di dalamnya selaras dengan putusan MK, khususnya di Pasal 222 yang memuat soal threshold.
Namun, saat ini DPR masih dalam masa reses, sehingga belum ada pernyataan resmi apapun yang disampaikan untuk merespons hal tersebut. Meski demikian, Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menyebut pihaknya telah mengusulkan akan membuat paket undang-undang politik atau omnibus law politik. Hal itu ia sampaikan saat menjadi narasumber dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (8/1/2025).
“Dalam tahun 2025 ini kami mengusulkan paket Rancangan Undang-Undang Politik atau omnibus law politik. (Mencakup) Satu, terkait partai politik, dua pemilu termasuk pilpres di dalamnya, yang ketiga pilkada, keempat hukum acara sengketa pemilu…,” kata Rifqi.
Menanggapi rencana DPR itu, Pakar Pemilu Titi Anggraini dalam siniar Back to BDM di YouTube Budiman Tanuredjo mengatakan bahwa UU Politik tidak semestinya dibuat menjadi paket atau omnibus law.
Alasannya dua. Pertama itu bukan merupakan amanat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan tidak cocok.
Titi menjelaskan, dalam UU Nomor 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025-2045 disebutkan arah sistem pembangunan demokrasi Indonesia akan diwujudkan melalui pembangunan demokrasi substansial dengan menempuh dua cara: melakukan kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah undang-undang dengan semangat penguatan hak politik rakyat.
“Artinya Pilkada Langsung, itu RPJPN 2025-2045, Undang-Undang 59 2024,”
Kemudian, model undang-undang omnibus juga tidak cocok untuk UU Pemilu, karena UU Pemilu merupakan instrumen pendidikan masyarakat terkait kepemiluan. Jika UU itu diubah menjadi bentuk omnibus atau paket, maka ia tak lagi layak untuk dijadikan sebagai media pendidikan politik.
“Omnibus tidak cocok bagi Undang-undang Pemilu, karena Undang-Undang Pemilu itu di manapun di dunia dia menjadi instrumen pendidikan politik. Dari mana masyarakat belajar pemilu, salah satunya dari undang-undang. Omnibus itu kan secara struktur dia menyebar, mengubah sana, mengubah sini, tambal sulam, dan itu buruk sekali vbagi konsolidasi aturan, kepastian aturan main, dan juga sebagai instrumen pendidikan politik,” jelas dia.
Oleh karena itu, Titi tegas menyampaikan Omnibus Law Pemilu harus ditolak, karena itu merupakan instrumen yang buruk dan akan menyulitkan masyrarakat dalam memahami aturan pemilu juga politik di Indonesia.
Langkah Parpol di Pilpres 2029 Pasca Threshold Dihapus
Meski belum bisa dipastikan bagaimana DPR akan menindaklanjuti putusan MK soal penghapusan ambang batas, apakah dalam bentuk revisi UU Pemilu atau membuatnya menjadi bentuk omnibus, yang pasti pada Pilpres 2029 peluang untuk muncul lebih banyak kandidat secara teori akan terbuka lebar.
Setiap partai yang lolos pemilu bisa mencalonkan satu pasang kandidat. Misalnya saja ada 8 partai yang lolos, maka ada potensi 8 kandidat yang bisa tampil.
Namun, apakah realita nanti akan semudah hitung-hitungan secara teori di aturan? Titi menjawab, tidak. Meski aturan sudah diubah menjadi lebih fleksibel, sangat dimungkinkan kandidat yang muncul akhirnya tetap dua atau tiga pasang saja.
“Sangat mungkin, kan kita tidak pernah tahu akan seperti apa komunikasi politiknya akan berlangsung. Jangan-jangan ada pendekatan kekuasaan, hukum yang akan digunakan untuk menekan kekuatan-kekuatan politik lawan supaya mau bergabung misalnya dalam satu poros politik tertentu. Itu yang sangat berbahaya,” ujar dia.
Indonesia juga sudah memiliki pengalaman serupa ketika Pilpres 2004. Dengan ambang batas 3 persen dan ada 8 partai politik yang lolos, nyatanya ketika itu hanya ada 5 pasangan calon yang bertanding. Artinya, 3 partai memilih untuk tidak mengajukan calonnya sendiri, meski sesungguhnya bisa. Hal ini tentu dilatarbelakangi oleh banyak pertimbangan, salah satunya adalah mahalnya biaya yang dibutuhkan oleh partai untk secara swadaya mengusung pasangan capres dan cawapres.
Titi menambahkan, secara politis ada langkah yang dinilai lebih menguntungkan bagi partai-partai itu, yakni dengan bergabung pada kelompok yang berpotensi besar menjadi pemenang.
“Misalnya dengan menjadi bagian dari kabinet lalu menjadi bagian untuk mendapatkan coat-tail effect dari tokoh yang populer. Kecenderungan politik kita kan selalu partai merapat kepada petahana,” ujarnya.
Begitu pula dengan Pilpres 2029 nanti, Prabowo Subianto diduga akan kembali mencalonkan diri untuk periode kedua. Sebagai petahana, Prabowo memiliki segala sumber daya dan kekuatan yang bisa menarik kekuatan-kekuatan partai politik peserta pemilu lain bergabung dengannya dan melepaskan kesempatan yang diberikan MK untuk bisa mencalonkan kandidatnya masing-masing.
“Ini kan akan menjadi kutub yang menarik kekuatan-kekuatan politik, meski juga pasti akan ada partai-partai yang mendapatkan tekanan dari anggotanya atau pengurusnya untuk tetap maju dengan calonnya sendiri,” demikian Titi menduga.
Saat ini, sejumlah ketua umum partai politik peserta pemilu tengah menjabat posisi menteri di Kabinet Prabowo. Misalnya Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Menko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar sebagai Menko bidang Pemberdayaan Masyarakat, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan sebagai Menko Bidang Pangan.
Nama-nama itu tentu memiliki peluang besar untuk maju mencadi kandidat calon presiden mewakili partainya masing-masing. Namun, opsi itu belum tentu akan diambil, terlebih jika yang bersangkutan tidak memiliki angka elektabilitas yang memadai.
Kedudukan sebagai menteri menjadi penting bagi mereka untuk menunjukkan kapabilitas kerja politik di hadapan publik. Oleh karena itu, mereka masih akan tetap harmonis dengan kubu Prabowo Subianto demi kepentingan membangun citra positif di mata masyarakat.
Namun, jika sampai akhir ternyata elektabilitas para ketua umum partai itu tetap rendah untuk bisa bersaing di gelanggang pencapresan, Titi menyebut mereka lebih baik mengurungkan niatnya. Jika pun partai tetap ingin mengajukan calon sendiri, artinya keluar dari koalisi yang saat ini sudah ada, maka carilah sosok yang lebih kapabel, disukai, dan diterima masyarakat.
“Jangan sampai popularitas yang jeblok dari elit membawa partainya juga jeblok, kan dia punya kepentingan menjaga kursi DPR. Kalau misalnya si calonnya ini jeblok, elektabilitas dan popularitasnya di masyarakat pasti akan berdampak kepada partai, karena ada kecenderungan coat-tail effect, orang akan memilih partai politik yang mencalonkan presiden yang juga dia pilih,” kata Titi.
Dengan alasan itu, partai politik juga pasti akan berhitung ulang apakah yakin akan maju sendiri dalam Pilpres 2029 atau bergabung dengan kekuatan lain. Jika maju, apakah akan mengusung elite dari internal atau justru mengusung sosok lain yang lebih rasional untuk “dijual”.
“Bagi dia, mempertahankan kursi di parlemen itu juga sangat penting ketimbang sekedar memasukkan elite partainya ke dalam surat suara sebagai capres atau cawapres,” pungkas Titi.
Leave a Reply