Budiman Tanuredjo
Kamis 2 Januari 2025, dunia pers berduka. Tokoh pers nasional, Atmakusumah Astraatmadja (86) meninggalkan kita semua. Salah satu warisan yang ditinggalkan Ketua Dewan Pers Independen (2000-2003) adalah prinsip kebebasan pers. Kebebasan pers adalah salah satu pilar demokrasi. Atmakusumah adalah Ketua Dewan Pers pertama yang independen.
Bagi saya pribadi, kepulangan Atmakusumah dan sebelumnya adalah kepulangan Mochtar Lubis dan Jakob Oetama adalah kehilangan tokoh-tokoh pers besar yang menjiwai jurnalisme sebagai medan perjuangan. Dengan genre masing-masing, Atmakusumah, Mochtar Lubis, dan Jakob Oetama adalah penjaga “danyang” jurnalisme. “Danyang” dalam bahasa saya adalah “roh” yang menggerakkan jurnalisme bekerja.
Mochtar Lubis meninggal pada 2 Juli 2004 dengan meninggalkan karya esai yang masih relevan sampai sekarang, “Manusia Indonesia”. Adapun Jakob Oetama yang meninggal dunia 9 September 2020 meninggalkan gaya jurnalisme Kompas: polite watchdog. Atmakusumah dikenal sebagai pembela kebebasan pers sejati.
Kamis siang itu saya mendapat kabar dari WA Grup Forum soal kepergian Atmakusumah. Atma sudah hampir satu bulan dirawat di RSCM Kencana karena komplikasi penyakit yang dideritanya. Perawatan Atmakusumah di RSCM mendapatkan dukungan dari sejumlah wartawan senior, Uni Lubis, Timbo Siahaan, Marah Sakti Siregar, dan sejumlah wartawan lain. Perawatan Atmakusumah juga sempat mendapat perhatian Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Saya mengenal cukup dekat ketika Atmakusumah menjadi Ketua Ombusman Kompas (2000-2003). Ombusman Kompas didesain oleh wartawan senior Kompas St Sularto pada era Jakob Oetama. Ombudsman adalah lembaga yang membahas karya jurnalistik Kompas dan menjadi penampung keluhan para pembaca. Dari berbagai forum Ombudsman itu, kentara bagaimana Atmakusumah sangat gigih dan getol memperjuangkan kebebasan pers.
Saya tiba di rumah duka di Kompleks PWI Cipinang, Jakarta Timur. Tampak hadir wartawan/aktivis Imran Hasibuan, anggota DPR Bonny Triyana, mantan Pemred Republika Nasihin Masha, aktivis Lukas Luwarso, novelis Ayu Utami, Ismid Hadad, Luwi Iswara. Menjelang maghrib tampak Rikard Bagun, Don Bosco Salamun, Agus Sudibyo, dan mantan Menteri Koperasi Teten Masduki.
Di salah satu ruangan di rumah itu, penerima Ramon Magsasay itu, Atma disemayamkan. Sejumlah buku jurnalisme, tentang Atmakusumah dan karya Atmakusumah ditempatkan di samping jenazah tokoh pers yang mengawali karier jurnalistiknya di Harian Indonesia Raya. Atmakusumah dikenal sebagai penyunting yang teliti dan membuat karya-karya jurnalistik menjadi enak dibaca. Atma adalah penyunting tajuk-tajuk Mochtar Lubis dan Tahta untuk Rakyat, serta Mochtar Lubis Wartawan Jihad. Ada juga buku Pers Ideal untuk Masa Depan Demokrasi yang ditulis Atmakusumah.
Atmakusumah adalah tokoh pers Indonesia yang lahir di Labuan, Banten, pada 20 Oktober 1938. Ia lahir dari keluarga Joenoes Astraatmadja yang pernah menjadi asisten wedana, wedana, dan pejabat Bupati Bekasi. Dilansir dari laman LPDS, Atmakusumah merupakan pengajar di Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS), pusat pendidikan dan pelatihan jurnalistik praktis di Jakarta, sejak 1992.
Atmakusumah pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pers pada periode 2000-2003. Dewan Pers adalah lembaga independen yang bertugas melindungi kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas pers. Keberadaan lembaga ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang merupakan buah dari gerakan reformasi. Karier jurnalistik Atmakusumah bermula pada usia 20 tahunan di Harian Indonesia Raya pertengahan 1950-an hingga tutup pada 1958.
Atmakusumah kemudian bergabung menjadi redaktur pelaksana saat Harian Indonesia Raya terbit kembali pada 1968 hingga dibredel pemerintah Orde Baru pada 1974. Penutupan surat kabar tersebut dikaitkan dengan pemberitaan “Malapetaka 15 Januari” atau Malari, demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan yang terjadi pada 15–16 Januari 1974. Saat berkelana di Eropa, Atmakusumah Astraatmadja sempat berkarier menjadi koresponden Pers Biro Indonesia (Press Indonesia Agency/PIA) 1960 yang melebur ke kantor berita Antara pada 1962.
Sikap dan komitmennya terhadap kebebasan pers dituangkannya dalam beberapa esai Atmakusumah di Harian Kompas. Dalam esainya di Kompas 12 Maret 2005, Atmakusumah menulis esai berjudul, “Dekriminalisasi Pers Tuntutan Zaman”. Di situ Atmakusumah menulis, “…
“… Dekriminalisasi karya jurnalistik dalam media pers kini sudah menjadi tuntutan zaman yang tidak terelakkan. Tuntutan ini tidak memungkinkan kita menarik kembali sejarah kebebasan ke masa lampau. Kebebasan itu termasuk kebebasan pers, yang merupakan bagian satu paket yang tidak terpisahkan dari kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat yang dimiliki setiap warga, seperti demonstran, aktivis advokasi, dan penceramah…”
“…Perkembangan kebebasan manusia di banyak negara sudah demikian jauh sehingga dipandang tidak lagi wajar, bahkan tidak patut untuk menjatuhkan sanksi hukum pidana penjara kepada para pencipta karya pemikiran kreatif, seperti karya jurnalistik, pendapat, atau ekspresi. Berkat perjuangan yang amat panjang dari para pendukung kebebasan, keterbukaan, dan demokrasi, perkembangan itu kini amat berbeda dari, umpamanya, sikap para penguasa pemerintahan lima abad lalu…”
Ketika dunia cetak-mencetak baru mengawali sejarahnya di Eropa sekitar 500 tahun silam, seorang pejabat tinggi Inggris mengingatkan, “Kita harus menghancurkan percetakan. Jika tidak, percetakan akan menghancurkan kita.” Tetapi, para pencetak terus mencetak segala rupa gagasan pada mesin cetak berukuran kecil dan sederhana. Ketekunan ini hanya berbekal keyakinan pada kata-kata pemikir besar bahwa “Kita harus mengetahui kebenaran, dan kebenaran akan membuat kita bebas.”
Di Inggris pada masa itu, mengkritik raja, para menteri, dan parlemen, dipandang sebagai kejahatan. Hakim Agung Inggris bahkan menetapkan, “Menulis masalah pemerintah-tidak menjadi soal, apakah itu memuji atau mencela-adalah tindak kejahatan karena tidak seorang pun berhak mengatakan sesuatu tentang pemerintah.” Hukuman bagi pelanggaran terhadap ketetapan ini ialah memotong daun telinga, mengiris lidah, dan siksaan lain, hukuman mati (Gertrude Hartman, Builders of the Old World).
Penindasan terhadap arus informasi dan pendapat di Inggris mencerminkan kekhawatiran di Eropa bahwa percetakan telah menjadi alat untuk berekspresi dan melakukan pembaruan melalui produk bacaan. Ketakutan demikian juga menyebar ke wilayah koloni Inggris di Benua Amerika. Gubernur Inggris di Virginia, Sir William Berkeley, pada tahun 1671 mengatakan, “berterima kasih kepada Tuhan” karena wilayah kekuasaannya terbebas dari kegiatan cetak-mencetak (Edward C Smith, A History of Newspaper Suppression in Indonesia, 1949-1965).
Ketakutan itu menular ke Hindia Belanda 41 tahun kemudian. Seharusnya Indonesia sudah memiliki surat kabar pertama pada tahun 1712. Tetapi, De Heeren Zeventien, 17 direktur VOC (Perserikatan Dagang Hindia Timur), di Nederland melarang rencana penerbitan surat kabar itu di Batavia karena takut para pesaingnya mendapat keuntungan dari berita perdagangan yang dimuat di koran itu.
Barulah 32 tahun kemudian, pada tahun 1744, pemerintah liberal dari Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron von Imhoff membolehkan penerbitan surat kabar pertama di negeri ini, Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia). Nasib koran pertama ini tetap buruk. Hampir dua tahun kemudian, pada 20 Juni 1746, gubernur jenderal terpaksa memberedelnya atas perintah para direktur VOC yang menganggap koran itu “merugikan dan membahayakan.” Barangkali karena mereka ketakutan kepada para pesaing dagang yang memperoleh informasi dari Bataviasche Nouvelles.
Setelah itu, pemberedelan media pers hampir terus terjadi di Hindia Belanda. Demikian pula pada masa penjajahan Jepang selama Perang Dunia II bahkan setelah Indonesia merdeka. Pemberedelan terakhir terjadi pada tahun 1994, 250 tahun sejak kelahiran surat kabar pertama di negeri ini dan empat tahun sebelum pemerintahan Orde Baru berakhir.
Saat menulis obituari meninggalnya Jakob Oetama, Kompas 11 September 2020, Atmakusumah menulis obituai berjudul, “Pelopor Pers Menyejukkan”.
Atmakusumah menulis, “Jakob Oetama merupakan pelopor dunia pers dari masa sebelum berkembangnya media daring, digital, atau siber di negeri ini yang paling akhir meninggalkan kita. Almarhum juga dikenal sebagai pelopor media pers bernada ”sejuk”, menyejukkan, yang bersama-sama Petrus Kanisius Ojong membangun perusahaan pers cetak terbesar yang pertama di Indonesia. ”Kesejukan hatinya” tecermin dalam gaya pemberitaan dan kolom opini surat kabar harian Kompas yang lebih mengembangkan tujuan edukatif dan menjauhi sikap provokatif.
Pendiri dan Pemimpin Umum Kompas itu menempatkan profesi pengelola media pers seperti ini: ”Ya, memang saya sering menggambarkan kita ini ibarat memasukkan kaki ke sungai, lalu terantuk batu. Kita bisa bersikap, tendang batu itu. Tetapi, kalau batu itu besar, mungkin kaki saya yang patah. Tetapi, kita bisa juga mengambil sikap: ”Oh, ada batu! Ah, saya mundur.” Bukan mundur-mundur terus, tetapi belok lewat yang tidak ada batu. Ini melelahkan karena kita kadang tidak sabar. Juga kadang ada konflik karena kita beranggapan bahwa yang menjadi pertaruhan itu besar.”
Jakob, yang pernah menjabat pemimpin redaksi, mengemukakan pandangan itu dalam tulisannya berjudul ”Menunjang Keterbukaan” yang dimuat Kompas pada 7 Januari 1978. Namun, disampaikannya pula dalam tulisan ini: ”Karena itu, saya sering berkata kepada sejawat dan bawahan saya, yang penting jangan selalu merasa puas. Tetapi, perlu mempersoalkan terus. Sebab, kalau sudah dihinggapi rasa puas, dia bukan lagi wartawan. Paling banter hanya berfungsi sebagai juru informasi. Juru penerang. Wartawan lebih dari sekadar juru penerang. Keadaan yang ada memang kita terima, tetapi sebagai bekal realitas yang kita perjuangkan terus, kita luaskan terus.”
Jakob menilai penting persyaratan pendidikan akademis untuk memperoleh wartawan profesional, yang mampu meliput dan menulis berita, selain bervisi. Wartawan yang diidamkannya adalah ”yang mampu melihat peristiwa dalam kerangka kontekstual, bukan melihat peristiwa secara telanjang”. Kemampuan seperti itu, dalam pandangannya, pada tingkat minimal diharapkan dimiliki mereka yang bergelar sarjana.
Para pengamat perkembangan pers lazim mempertentangkan sikap Jakob yang ”lembut” dengan sikap kritis Mochtar Lubis, pendiri dan Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, harian yang sering dibredel pemerintahan Presiden Soekarno dan terakhir kali dibredel oleh pemerintahan Presiden Soeharto.
Jakob menyebut Mochtar sebagai ”wartawan yang berani dan terkenal sebagai pelawan semua yang batil”. Dikatakannya: ”Orang bisa berbeda pendapat tentang sikap dan penilaian politiknya. Akan tetapi, setuju dan tidak setuju dengan pandangan dan sikap politiknya, disepakati bahwa Bung Mochtar adalah wartawan yang mempunyai komitmen. Dialah tipe ideal seorang journalist engage, wartawan yang menjadi wartawan karena mempunyai komitmen; karena ada perjuangan yang ingin dilaksanakan.”
Jakob mengemukakan penilaian itu terhadap Mochtar Lubis dalam tulisannya sebagai pengantar untuk buku biografi Mochtar Lubis Wartawan Jihad yang diterbitkan pada Maret 1992. Dikemukakannya lebih jauh: ”Dalam perjuangan itu yang tegar, perjuangan melawan segala bentuk kebatilan. Perjuangan menegakkan kemanusiaan dan melawan semua hal yang menekan, merugikan, dan menindas kemanusiaan. Ia juga pro kemajuan dan dalam kaitan itu ia menunjukkan sikap sangat kritis terhadap kebiasaan dan kebudayaan tradisional yang feodal, konservatif, dan represif.” Bagi pengamat perkembangan pers, penilaian Jakob terhadap karakter Mochtar ini dirasakan juga sebagai pendirian Jakob.
Ketika Dewan Pers independen terbentuk pada tahun awal masa Reformasi, Jakob termasuk yang diusulkan sebagai calon ketua, dari sembilan anggota yang terpilih dan sudah disetujui Presiden Abdurrahman Wahid pada April 2000. Undang-Undang (UU) Pers yang baru, UU Nomor 40 Tahun 1999, yang disetujui DPR dan disahkan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie pada September 1999, mengamanatkan pembentukan Dewan Pers independen untuk melindungi kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Dewan Pers independen, seperti diatur dalam UU Pers ini, sama sekali berbeda dari Dewan Pers pada masa Orde Baru yang lebih sebagai corong pemerintah, yang terlibat dalam pembredelan media. Dewan Pers independen adalah lembaga swaregulasi dan bekerja tanpa campur tangan pemerintah.
Dari kesembilan anggota Dewan Pers yang baru itu, tiga orang mewakili kelompok wartawan, empat dari kalangan pimpinan perusahaan media pers cetak, televisi, serta radio, dan dua orang lagi dari unsur tokoh masyarakat.
Pada Mei 2000, Dewan Pers independen menggelar rapat pleno pertama untuk memilih ketua dan wakil ketua serta menyusun komisi-komisi.
Saya, yang terpilih di antara kesembilan anggota Dewan Pers, terlambat hadir karena harus menjadi pembicara dalam diskusi tentang pers. Sebagai pembicara terakhir dalam rapat pleno Dewan Pers, saya mula-mula mengusulkan Benjamin Mangkoedilaga sebagai ketua karena ia satu-satunya anggota yang berlatar belakang birokrasi, yang diperlukan guna memahami kerja sama Dewan Pers dengan pemerintah. Namun, ia menolak karena sedang dicalonkan sebagai Ketua Mahkamah Agung.
Anggota berikutnya, yang menurut saya patut menjadi ketua Dewan Pers, adalah Jakob mengingat pengalaman dan kredibilitasnya dalam dunia pers. Akan tetapi, Jakob juga menolak usulan itu karena, saya kira secara berkelakar, ”Orang semua tahu, saya ini orang Orde Baru,” katanya.
Saya merasa itulah kerendahan hati Jakob untuk menolak menjadi ketua Dewan Pers pada masa transisi politik saat itu. Padahal, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, ia bisa bersikap bertentangan dengan kebijakan politik pemerintah Orde Baru yang ditampilkan oleh Menteri Penerangan Harmoko.
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memeriksa gugatan Goenawan Mohamad serta 43 wartawan dan karyawan majalah Tempo terhadap Menteri Penerangan, September 1994. Dikatakan dalam gugatan itu bahwa, sebagai akibat pembredelan majalah Tempo (bersama majalah Editor dan tabloid politik Detik), penggugat ”kehilangan kesempatan untuk ikut berpartisipasi mencerdaskan bangsa, kehilangan forum informasi dan aspirasi rakyat, serta kehilangan hak kontrol dan kritik konstruktif”.
Selain itu, mereka mengatakan telah menderita kerugian nyata karena kehilangan mata pencarian. Oleh karena itu, mereka meminta Menteri Penerangan meninjau kembali pencabutan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) majalah itu dan mengizinkan Tempo terbit kembali.
Persidangan di PTUN mendengarkan kesaksian yang penting dan agak mencengangkan dari Jakob sebagai ketua pelaksana harian Dewan Pers. Ia mengatakan kepada hakim Benjamin Mangkoedilaga bahwa para anggota Dewan Pers dalam dua kali sidang menjelang pembredelan pada 21 Juni 1994 hanya menyarankan kepada Menteri Penerangan untuk memberi pernyataan keras kepada berbagai media pers, bukan menutup Tempo, Editor, dan Detik.
Dewan Pers, yang diketuai oleh Menteri Penerangan, adalah lembaga otonom di lingkungan Departemen Penerangan yang merupakan badan penasihat bagi pemerintah dalam masalah pers. Dalam surat-surat keputusan ”pembatalan SIUPP” ketiga mingguan itu disebutkan, putusan itu diambil dengan ”Memperhatikan: 1. Saran dan pertimbangan Pelaksana Harian Dewan Pers dalam sidang tanggal 21 Juni 1994; 2. Saran Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika”.
**
Leave a Reply