“Dari dua keadaan itu (partai politik tanpa sistem meritokrasi dan MK tanpa integritas), pikiran rasionalitas kita pasti mengatakan demokrasi kita akan suram,”
I Gede Dewa Palguna, Ketua MKMK
Demokrasi di Indonesia kini seolah sedang diujung tanduk. Kedaulatan tertinggi yang semestinya ada di tangan rakyat ternyata hanya satu formalitas saja. Rakyat memberikan suara secara langsung saat pemilihan umum, ya benar. Hanya sebatas itu kedaulatannya.
Selebihnya, rakyat hanya dikelabui dan dipaksa “tunduk” pada pemegang kuasa dan kewenangan atas keputusan apapun yang mereka buat, atas cara berpolitik apa yang mereka mainkan, dan atas tujuan pribadi apa yang sedang mereka kerjakan di balik kursi jabatan.
Misalnya, politik uang untuk membeli suara, menggunakan lembaga negara dan hukum untuk menekan lawan politik, pengambilan keputusan tanpa persetujuan rakyat, intervensi untuk utak-atik konstitusi, nepotisme demi memperkuat kekuasaan. Apakah yang demikian yang kita sebut sebagai negara demokrasi?
Masihkah demokrasi hidup di Indonesia? Jika masih, bagaimana kabarnya di hari-hari ke depan?
Hakim Konstitusi dua periode (2003-2008 dan 2015-2020) Prof Dr I Gede Dewa Palguna pesimis dengan masa depan demokrasi di Indonesia, jika dua hal masih berlangsung buruk, partai politik dan Mahkamah Konstitusi.
Pertama, partai politik. Parpol sebagai agen utama yang menjalankan roda pemerintahan kini berjalan tanpa asas meritokrasi, melainkan kekeluargaan.
“Ketika partai politiknya tidak menerapkan prinsip-prinsip meritokrasi sebagai sebuah partai yang minimal melaksanakan fungsi-fungsi politiknya secara baik, semua sistem kena. Anggota DPR-nya berasal dari partai politik, presidennya orang partai politik, kemudian nanti mau memilih Hakim Agung ada campur tangan partai politik melalui DPR, mau milih Hakim Konstitusi 3 orang dari dari DPR, mau milih Panglima TNI, mau milih Kapolri ada peran partai politik lewat DPR di situ. Bagaimana kita?” kata Palguna dalam podcast Back to BDM kanal YouTube Budiman Tanuredjo.
Jika asas meritokrasi tidak dijaga, maka orang-orang yang akan memimpin kita adalah orang-orang yang dekat dan memiliki akses ke kekuasaan, bukan orang-orang yang memang memiliki kompetensi dan kapabilitas.
Kedua adalah Mahkamah Konstitusi. MK merupakan “gerbang” terakhir yang bertugas menjaga tegaknya konstitusi di Republik ini. Namun, jika integritas MK baik secara lembaga maupun personal jajaran hakim di dalamnya diragukan, maka menurut Palguna hanya satu kata untuk menggambarkan demokrasi di Indonesia. Suram.
“Dari dua keadaan itu pikiran rasionalitas kita pasti mengatakan demokrasi kita akan suram,” ujar Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) itu.
Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi sebenarnya telah dirancang sedemikian rupa agar negara ini berjalan dalam keseimbangan, tidak dikuasai oleh kelompok tertentu saja. Kita mengenal konsep pembagian kekuasaan negara pada tiga cabang kekuasaan atau trias politika: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Eksekutif bagian yang melaksanakan undang-undang, legislatif adalah pihak pembuat undang-undang yang dimaksud, sementara yudikatif adalah pihak yang memastikan undang-undang berjalan selaras dengan konstitusi UUD 1945.
Namun, menurut Palguna ketiga cabang kekuasaan tersebut hari ini justru terlihat saling membaur, bersekutu, bukannya berjalan di jalurnya masing-masing dengan tugasnya masing-masing pula.
“Presiden dia dipilih langsung directly elected, oleh rakyat langsung, dia memperoleh mandatnya langsung dari rakyat, DPR punya (hak dan kewenangan tersendiri), tidak bisa saling ini (bertabrakan). Tetapi kenapa kemudian praktik nya kok jadi seperti itu,” ujar Palguna.
Kondisi ini ia sebut berasal dari partai politik di Indonesia yang kondisinya tidak baik-baik saja. Hampir semua partai dijalankan dengan unsur keluarga atau “dinasti” di dalamnya.
“Ketika itu masih ada, bagaimana kita bisa mengharapkan ada partai politik yang menerapkan prinsip meritokrasi? Karena pertimbangannya pasti sudah tidak semata-mata rasionalitas atas dasar keinginan untuk menjadikan dia sebagai infrastruktur politik yang penting buat membangun demokrasi, tetapi loh ini milik saya, ini partai saya, kan gitu jadinya,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana itu.
Jadi, bagi Palguna partai politik yang dijalankan dengan mengesampingkan asas meritokrasi inilah biang dari rusaknya demokrasi di Indonesia.
Melihat kondisi kabinet pemerintahan saat ini, Presiden Prabowo Subianto didukung oleh mayoritas partai politik, termasuk partai non parlemen dan beberapa partai yang menjadi rivalnya di Pilpres 2024, kecuali PDIP dan Nasdem. Dengan kekuatan besar itu, secara tidak langsung Presiden akan mendapat dukungan yang besar pula di DPR jika ada suatu hal yang harus diputuskan.
Palguna khawatir, hubungan yang tidak semestinta terjalin antara eksekutif dan legislatif itu akan berdampak buruk pada proses pembentukan undang-undang.
“Ketika hubungan antara eksekutif dan legislatif yang notabene kedua lembaga ini adalah lembaga pembuat undang-undang—dia berada dalam hubungan yang tidak sehat seperti itu, akhirnya undang-undang yang dihasilkan tidak lebih sekedar hasil kompromi politik antara dua lembaga ini yang bisa jadi dia melanggar konstitusi,” ungkap Palguna.
Kerusakan demokrasi di titik ini akan semakin menjadi-jadi ketika kemudian bertemu dengan MK yang tidak berintegritas.
“Lalu di mana letak supremasi konstitusinya? Kemudian kalau ternyata undang-undang yang lahir, yang nyata-nyata hanya melindungi kepentingan politik dari sekelompok orang, kemudian katakanlah ada civil society mengajukan itu ke Mahkamah Konstitusi tapi ternyata oleh Mahkamah Konstitusi dilolos-loloskan saja,” ujar dia.
Itu baru satu contoh rusaknya demokrasi pada satu kewenangan di MK, belum pada kewenangan-kewenangan lain. Perlu diingat, MK juga memiliki kewenangan untuk menangani sengketa partai politik, pemilu, bahkan impeachment presiden dan wakil presiden. Bisakah terbayang, bagaimana keputusan-keputusan yang akan diambil jika kondisi partai politik yang begitu memengaruhi komposisi eksekutif, legislatif, bahkan termasuk yudikatif—ternyata rusak dan jauh dari kata baik-baik saja?
“Terus kita mau ngomong apa tentang demokrasi. Itu makanya saya katakan, mungkin kita masih punya harapan tentang demokrasi Indonesia ketika Mahkamah Konstitusi benar-benar terjaga integritasnya secara institusional maupun secara personal,” pungkasnya.
Leave a Reply