Sengkarut Komunikasi di Seputar Istana

Budiman Tanuredjo

Kontroversi soal pemaafan koruptor, amnesti untuk koruptor, dan penerapan denda damai untuk koruptor, mempertontonkan salah satunya, ada problem besar komunikasi di seputar Istana, selain problem subtansi. Pernyataan Presiden Prabowo Subianto di Kairo yang akan memaafkan koruptor asal mengembalikan kekayaannya menimbulkan kontroversi meluas.

Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra membenarkan bahwa Presiden punya hak konstitusional memberikan amnesti, abolisi, dan grasi untuk terpidana. Yusril juga mengatakan dari 44.000 terpidana yang akan mendapatkan amnesti, jumlah terpidana korupsi hanya beberapa ribu.

Tidak ada yang membantah bahwa Presiden punya hak konstitusional untuk memberikan amnesti, abolisi, dan grasi. Pernyataan Yusril itu menunjukkan ada proses hukum yang mendahului sebelum kemudian dihentikan penuntutannya. Namun, pembelaan Yusril itu bisa kurang sinkron ketika Presiden Prabowo sudah berbicara soal mekanisme pengembalian kekayaan secara diam-diam.

Pernyataan Yusril kemudian disusul pernyatan Menteri Hukum Supratman Andi Atgas yang menawarkan solusi denda damai untuk koruptor. Sayangnya, pernyataan politisi Partai Gerindra ini juga kurang tepat karena denda damai yang dimiliki Jaksa Agung hanya untuk tindak pidana ekonomi, seperti kepabeanan atau bea cukai, bukan untuk korupsi. Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Harli Siregar juga membantah. “Denda damai” tidak untuk koruptor,” kata Harli. Soal amnesti untuk koruptor, Supratman juga meluruskan pernyataan Yusril bahwa tidak ada pemberian amnesti untuk terpidana korupsi yang diberikan Presiden Prabowo.

Sengkarut komunikasi di kalangan pembantu Presiden Prabowo itu bisa merugikan citra Presiden yang pemerintahannya belum berusia 100 hari. Sengkarut komunikasi bisa dibaca publik sebagai belum adanya kajian komprehensif soal pemaafan koruptor yang akan diambil Presiden Prabowo. Selayaknya kebijakan didasarkan ada evidence based policy.

Apresiasi harus diberikan kepada Menteri Supratman yang secara cepat meluruskan dan membatalkan gagasan denda damai untuk koruptor. Pembatalan gagasan denda damai – yang memang tidak tepat diterapkan untuk tindak pidana korupsi – sedikit meredakan perbedaan pendapat yang tidak produktif di antara pembantu Presiden.

Publik bertanya-tanya dimana peran Kantor Komunikasi Presiden dengan sejumlah juru bicara presiden. Sejumlah juru bicara presiden yang sebelum ini begitu piawai berbicara di televisi memberikan analisis politik, mengapa tidak terdengar kiprahnya mengatasi sengkarut komunikasi seputar pemaafan koruptor.

Selain substansinya yang sangat sensitif, komunikasi publik menjadi penting. Terlebih, meminjam istilah Jakob Oetama, kita berkomunikasi di masyarakat yang tidak tulus sehingga dibutuhkan strategi komunikasi yang ngepas. Pesan komunikasi bukan hanya teks, tapi konteks. Ketika konteks tak diberikan, jangan memaksa pubik harus memahami konteks masalahnya. Dan, jangan terlalu cepat menghakimi publik dengan ungkapan, “tokoh gagal”.

Ilustrasi perbedaan pernyataan antar anggota pemerintah.

Isu korupsi masih menjadi isu sensitif. Belum saatnya negara memaafkan koruptor. Mengutip esai Aswar Hasan di Kompas, 27 Desember 2024, “… Korupsi bukan hanya kejahatan individu, melainkan juga ancaman serius terhadap kedaulatan, keadilan, dan masa depan suatu bangsa. Ketika korupsi dibiarkan atau dianggap remeh, negara kehilangan legitimasi, kepercayaan rakyat, dan koruptor berpotensi untuk berkembang. Negara harus menunjukkan bahwa hukum berlaku tanpa pandang bulu, termasuk kepada pejabat tinggi dan tokoh berpengaruh yang terlibat korupsi. Korupsi telah merampas hak masyarakat atas pendidikan, kesehatan, dan pembangunan yang layak. Negara wajib melindungi rakyat dari dampak buruk tersebut…”

Psikologi publik dihadapkan pada rasa perasaan ketidakadilan ketika majelis hakim menjatuhkan vonis 6,5 tahun terhadap Harvei Moeis atas kerugian perekonomian negara Rp300 triliun dalam kasus korupsi timah di Bangka. Publik juga gerah ketika kasus mafia peradilan bekas pejabat MA Zarof Ricar ditangani secara biasa-biasa saja. Istana juga tidak bereaksi atas berbagai peristiwa hukum yang melukai perasaan publik.

Mengambil terobosan atau kebijakan di luar kebiasaan selayaknya mempertimbangkan sentimen dan rasa perasaan publik. Pada masa Orde Baru, Istana kerap mengundang secara terbatas sejumlah pemimpin redaksi untuk mendiskusikan kebijakan baru yang diambil pemerintah disertai latar belakangnya. Pemimpin redaksi ditempatkan sebagai “devil advocate” untuk men-challenge—kebijakan yang diambil pemerintah. Dari situlah, strategi dan mitigasi komunikasi dipersiapkan sehingga reaksi yang timbul sudah bisa dimitigasi. Fase ini bisa disebut fase “building understanding” antara pemerintah dan media.

Tahapan ini tidak dilakukan. Pemerintah tampaknya sangat percaya diri dengan dukungan mayoritas partai politik di DPR. Partai politik memang seperti mengalami disfungsi menghadapi isu kepublikan, termasuk program pemaafan koruptor. Elite partai politik berupaya main aman dengan mengamini semua kebijakan pemerintah. Partai politik yang saat kampanye garang terhadap korupsi, kini mlempem. Bahkan, anggota DPR menghardik dengan kata-kata kasar, termasuk menyebut gagal terhadap tokoh di luar pemerintahan yang gencar mengkritik dan program pemerintah.

Bangsa ini masih beruntung ada secercah harapan pada minoritas kreatif yang tetap menjaga akal sehat dan nurani publik. Di tengah disfungsi partai politik, masih ada suara kritis seperti disuarakan Zaenur Rohman dari Pukat UGM atau pun Mahfud MD yang dinilai “tokoh gagal” oleh Ketua Komisi III Habiburohman. Masih ada suara kenabian dari Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo soal dijadikannya korupsi sebagai alat sandera politik.

Saya bertanya pada Chat GPT soal sengkarut komunikasi seputar pemaafan koruptor. Dan ini jawabannya:

“…Pernyataan pembantu presiden soal pemafaan koruptor memiliki pengaruh langsung terhadap persepsi publik tentang keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Misalnya, jika pola komunikasinya cenderung membela koruptor dengan dalih seperti usia lanjut atau kesehatan, publik bisa menganggap pemerintah tidak berkomitmen terhadap agenda pemberantasan korupsi. Persepsi negatif ini dapat melemahkan legitimasi pemerintah dan memperkuat narasi bahwa ada pelemahan sistemik terhadap institusi antikorupsi seperti KPK…”

Hati-hati berkomunikasi karena komunikasi membentuk persepsi…Jangan sampai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia kian anjlok…


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *