“What is it that makes us trust our Judges?–Their independence in office, and manner of appointment,”
John Marshall, Hakim Agung AS.
Nama I Gede Dewa Palguna bukan nama baru dalam dunia hukum di Indonesia. Palguna dikenal sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali dan pernah menjabat posisi Hakim Konstitusi 2 periode (2003-2008 dan 2015-2020).
Dua kali mengenakan toga kebesaran sebagai hakim konstitusi, Palguna menyebut ada tugas berat yang dipikul oleh ia dan kawan-kawan hakim MK untuk mengawal tegaknya konstitusi. Seorang hakim konstitusi harus merupakan orang-orang yang menguasai konstitusi sekaligus memiliki sifat negarawan.
“Itu syaratnya memang berat, tetapi memang harus begitu syaratnya kalau menurut saya. Sebab kan yang dibutuhkan orang yang nanti di dalam pekerjaan sehari-harinya memberikan tafsir tentang konstitusi lewat kewenangan-kewenangan yang diberikan kepadanya,” kata Palguna dalam siniar Back to BDM kanal YouTube Budiman Tanuredjo.
Misalnya, menangani sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, sengketa pemilu, hingga impeachment presiden atau wakil presiden. Semuanya adalah tugas berat, maka tidak aneh jika syarat hakim yang diberlakukan juga berat.
“Mengenai syarat itu tidak ada perdebatan, memang itu yang kita butuhkan. Seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, berintegritas, jujur, tidak tercelakan, tidak merangkap sebagai pejabat negara,” jelas pria kelahiran Bali berusia 63 tahun itu.
Meski sudah diberlakukan persyaratan yang sedemikian ketat, tetap saja ada oknum-oknum hakim konstitusi yang tersandung masalah pelanggaran etik. Salah satunya adalah mantan Ketua MK Akil Mochtar karena sejumlah permasalahan, di antaranya ditemukan narkotika di meja kerjanya dan ditemukan belasan rekening juga transaksi tidak wajar yang dilakukan Akil juga istrinya. Pelanggaran juga dilakukan oleh mantan Ketua MK Anwar Usman, ia terlibat dalam pembuatan keputusan yang membuat keponakannya (Gibran Rakabuming Raka) berkesempatan maju dalam pencalonan wakil presiden di Pilpres 2024.
“Itu tidak terlepas dari proses seleksi ya menurut saya. Oleh karena itu maka elaborasi dari syarat yang berat itu harus tampak dalam undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Sayangnya itu yang tidak ada sampai sekarang,” ujar dia.
Dalam Undang-Undang MK hanya disebutkan hakim konstitusi harus dipilih secara transparan dan akuntabel, selanjutnya proses seleksi diserahkan pada masing-masing 3 lembaga yang memilihnya (DPR, Presiden, dan MA). Tidak adanya kejelasan syarat dalam undang-undang dapat memunculkan beban psikologis, baik bagi orang yang dicalonkan, maupun bagi lembaga yang mencalonkan.
Publik bisa saja mempertanyakan alasan mengapa seseorang dinyatakan lolos dan tidak lolos menjadi hakim konstitusi. Apa alasannya? Apa landasannya?
“Misalnya prinsip integritas itu kalau publik, oh dia pantaslah (terpilih), dia menguasai konstitusi dan ketategaraan, oh ini, oh pantas dia. Kan akhirnya jadi enggak ada beban. Itu yang sebenarnya dasar kita untuk membentuk integrty. Harus mulai dari situ dulu, dari awal, dari fundamennya, ya proses seleksinya itu,” jelas dosen Hukum Tata Negara FH Universitas Udayana itu.
Ia tidak meragukan para hakim konstitusi jika dilihat dari segi kapasitas intelektualitasnya. Namun menjadi ragu ketika berbicara mengenai kualitas integritas dan etikanya.
Lalu bagaimana Palguna menjaga dan tetap memastikan integritasnya?
Ia memiliki resep pribadi yang komposisinya hanya 2: taati hukum acara dan patuhi kode etik. Di atas itu semua, harus ada panggilan dari dalam diri untuk mau taat dan patuh.
“Kalau dua ini kita sudah pegang baik-baik, integritas itu akan terpancar dengan sendiri. Tinggal berikutnya integritas juga akan muncul dari pertimbangan hukum dari setiap putusan yang kita buat atau kalau secara personal dari legal opinion yang kita buat terhadap suatu kasus,” kata Palguna.
Menaati hukum acara dan kode etik adalah rumus formalnya, namun di luar itu Palguna juga menerapkan rumus yang bersifat lebih personal untuk menjaga integritas diri tetap pada tempatnya. Rumus itu adalah tidak sungkan untuk mengatakan tidak dan menolak sesuatu yang memang tidak semestinya dilakukan atau dikatakan.
“Berani mengatakan tidak kepada kawan. walaupun bentuk tidaknya itu sangat sederhana, misalnya gimana kira-kira nanti putusan Mahkamah? Oh enggak, kebetulan sekarang itu belum dibicarakan, kalaupun saya tahu itu bagian yang tidak boleh saya bicarakan. Setelah itu biasanya orang enggak akan berani mencoba lagi,” sebutnya.
Menjaga informasi terkait proses atau hasil putusan Mahkamah yang belum dipublikasikan konsisten ia lakukan, sekalipun ia tengah berada di ruang akademis, sedang menjalankan tugasnya menjadi dosen. Meski ia bisa saja membukanya kepada para mahasiswa sebagai bahan diskusi, namun Palguna memilih tetap tidak melakukannya. Ia tetap tidak mau melakukan pengecualian dengan berlindung di balik istilah kebebasan akademik.
“Ketika kita sedang memutus perkara atau sedang menghadapi perkara, saya tetap tidak mau membicarakan itu, bahkan dengan istri sekalipun,” kisah dia.
Jadi, ia pun kerap menemukan istrinya kaget dengan putusan MK atas suatu perkara setelah informasinya muncul di pemberitaan media massa. Suaminya, yang notabene menjadi bagian dari pengambil keputusan itu tak pernah sekalipun memberikan bocoran kemana arah suatu perkara akan diputuskan.
Harus diakui, di hari-hari ini tak banyak orang yang bisa membatasi urusan profesional dengan urusan pribadi. Hal-hal terkait pekerjaan bebas dibuka dan dibicarakan di ruang-ruang yang bersifat pribadi. Oleh karena itu kriteria seleksi yang jelas harus benar-benar disematkan dalam undang-undang.
Dengan adanya kriteria calon hakim konstitusi sejak awal proses seleksi, maka menurut Palguna hal itu bisa menjadi preliminary cautions.
“Kalau proses seleksinya masih longgar kemudian terjadi hal yang demikian gitu (pelanggaran etika), oh pantes-pantesan sih, publik akhirnya ngomong begitu. Tapi kalau proses di awalnya sudah kita lakukan dengan ketat, saya kira, (pelanggaran etika) itu akan dilihat sebagai accident, tidak sebagai sesuat yang wajar dari sebuah keteledoran,” ungkap Palguna.
Sekali lagi ia mengingatkan pentingnya upaya pencegahan sejak awal dengan memberikan rincian persyaratan kepada para calon hakim konstitusi. Itu sangat penting, selain juga harus menjaga agar seluruh tahapan seleksi tetap berjalan transparan dan akuntabel.
Hakim Konstitusi bukanlah pejabat publik yang bukan lahir dari hasil demokrasi. Oleh karena itu, Palguna berpendapat bahwa pertanggungjawaban hakim konstitusi kepada masyarakat hanya bisa dilihat dari dua cara: independensi dalam mengambil keputusan dan cara pengangkatannya.
What is it that makes us trust our Judges?–Their independence in office, and manner of appointment.
Itu adalah ungkapan dari John Marshall, Hakim Agung Amerika Serikat, yang Palguna kutip ke dalam orasi pengukuhan guru besarnya di Universitas Udayana akhir November lalu.
Leave a Reply