Benarkah MK Bisa Diintervensi?

“Cara yang paling mudah melihat itu (intervensi) adalah di pertimbangan hukum putusannya, ada enggak keganjilan di situ, ada enggak kepatahan bernalar, kalau saya mengatakan itu. Penalaran yang tidak koheren dari pertimbangan…”

Ketua MKMK, Prof Dr I Gede Dewa Palguna

Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk di Indonesia pada tahun 2003 dengan tujuan menjaga konstitusi agar prinsip-prinsip konstitusionalitas hukum tegak berdiri. Semua itu bisa tercapai apabila MK sebagai sebuah lembaga dan orang-orang yang ada di dalamnya, termasuk para hakim konstitusi, bekerja secara profesional, dan menunjukkan integritas yang paripurna.

Sayangnya, saat ini lembaga tinggi negara seperti MK ternyata sudah bisa disusupi kepentingan, diintervensi pihak eksternal, dan mengesampingkan tugas utamanya untuk memastikan konstitusi berjalan dengan baik.

Ketua Majelis Kehormatan MK, Prof Dr I Gede Dewa Palguna, S.H.,M.Hum tidak bisa menampik hal-hal itu bisa terjadi pada MK hari ini. Penyebabnya bisa dua, pertama karena ada pihak eksternal yang mencoba mengintervensi, kedua karena karena ada pihak internal yang memungkinkan untuk diintervensi.

Salah satunya pada kasus mantan Ketua MK Anwar Usman pada putusan MK terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden.

“Kalau kita mengikuti dari pertimbangan yang dibuat oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Ad hok waktu itu yang diketuai oleh Prof Jimly Asshiddiqie itu kan menunjukkan kok mudah sekali orang intervensi ke sana dan kok bisa sampai terjadi hal yang seperti itu, yang dalam pengalam saya belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Palguna dalam podcast Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.

“Ada pelanggaran-pelanggaran seperti itu kok bisa lewat. Jadi refleksi saya yang pertama saya kaget saja, dalam pengertian ini mungkin saya naif atau apa karena sesuatu itu sama sekali gak pernah terbayangkan waktu masa saya. Benar-benar gak terbayangkan,” lanjutnya.

I Gede Dewa Palguna dalam podcast Back to BDM.

BDM bertanya kepada Palguna apakah MK sekarang mudah diintervensi oleh kekuasaan atau kapital?

Secara umum, Palguna menyebut MK sebagai lembaga sulit untuk diintervensi. Namun, jika ditilik secara personal hal itu mungkin saja terjadi.

Untuk mengetahui apakah seorang hakim menerima intervensi atau tidak, menurut Palguna hal itu sulit dideteksi melalui gelagat dan sikap-sikapnya dalam musyawarah hakim. Pasalnya, dalam musyawarah itu setiap hakim memiliki kemerdekaan untuk menyampaikan pendapatnya masing-masing tanpa adanya strata yang membedakan antara satu hakim dan hakim lainnya.

“Mau dia ketua, mau wakil ketua, mau dia profesor, mau dia enggak, kita mempunyai kemerdekaan yang sama,” sebut Palguna.

Namun, ada satu cara yang paling mudah dilakukan untuk mengetahui apakah suatu putusan dicampuri kepentingan dari luar alias diintervensi.

“Cara yang paling mudah melihat itu adalah di pertimbangan hukum putusannya, ada enggak keganjilan di situ, ada enggak kepatahan bernalar, kalau saya mengatakan itu. Penalaran yang tidak koheren dari pertimbangan tiba-tiba dia langsung loncat pada amar putusan yang mengatakan a, b, atau c,” ungkap Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali itu.

Jika ada keganjilan yang nampak, maka itu bukan suatu keteledoran, melainkan memang hal sesuatu yang patut dicurigai sebagai bentuk intervensi. Jadi, tidak perlu mecurigai orang per orang, cukup perhatikan saja bagian pertimbangan hukum pada putusan yang dihasilkan.

Wawancara Budiman Tanuredjo dengan I Gede Dewa Palguna untuk podcast Back to BDM.

Padahal di masa ia menjabat Hakim Konstitusi (2003-2008 dan 2015-2020), intervensi semacam itu tidak pernah sekalipun terjadi. Paling tidak, tidak pernah ada pihak yang memintanya untuk melakukan hal tertentu terkait perkara yang ditangani di MK.

“Sepanjang menyangkut pengalaman saya pribadi, saya belum pernah ada orang yang berani mengintervensi,” sebut Palguna.

Ia mencontohkan bagaimana MK memutuskan UU No 16 Tahun 2008 tentang APBN 2008 yang saat itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945 karena hanya sebesar 15,6 persen. Konstitusi mensyaratkan minimal 20 persen.

Palguna ingat betul, keputusan itu dikeluarkan MK 2 hari jelang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan nota keuangan di hadapan DPR. Seharusnya, Presiden atau pemerintah secara umum akan merasa kesal dengan MK, karena keputusannya membuat mereka harus mengutak-atik pos-pos anggaran dalam waktu singkat demi dana pendidikan minimal 20 persen bisa terpenuhi.

“Tetapi menurut saya tidak tampak ada intervensi kepada kami, bahwa kami (pemerintah) akan menaati, kita (pemerintah) akan taati putusan Mahkamah Konstitusi. Buat saya itu sangat melegakan dan itu menunjukkan bahwa kita memutus secara sangat independen waktu itu,” ujarnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *