Budiman Tanuredjo
Koruptor alias “pembusuk” negeri seakan mendapatkan tempat Istimewa dalam wacana elite. Saat berada di Kairo, Presiden Prabowo Subianto yang biasanya retorikanya keras terhadap “pembusuk” negeri, mulai melunak. Presiden Prabowo mengatakan akan memaafkan koruptor yang mau mengembalikan kekayaan kepada rakyat. “Cara pengembaliannya bisa diam-diam,” kata Presiden Prabowo.
Perubahan tone ini menimbulkan pertanyaan. Saya belum menemukan penjelasan mengapa ada perubahan tone pemberantasan korupsi dari Presiden Prabowo. Selama ini, saya mencermati diksi yang dipakai Presiden Prabowo untuk pemberantasan korupsi. “Korupsi sudah mencapai stadium empat.” “Kita akan kejar koruptor sampai ke Antartika dengan pasukan khusus.” Sebuah tone: perang melawan korupsi.
Kini, koruptor akan dimaafkan jika mau mengembalikan kekayaannya kepada rakyat.
Dalam khasanah negeri ini, tak ada akar kata korupsi. Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruptio yang berarti pembusukan. “Corruptor” berarti pembusuk. Pernah suatu masa koruptor disebut garong atau perampok uang negara. Harian Kompas pada tahun 1967 pernah menyebut koruptor sebagai pentjoleng.
Korupsi bukan hanya perkara penggelapan, pencurian, perampokan uang negara. Cara pandang itu hanya mereduksi sifat ekonomistik dan negara sentris yang membiarkan kerusakan negeri ini kian parah. Korupsi adalah proses pembusukan hidup bersama. Kita lihat proses pembusukan itu sedang terjadi dan terus terjadi. Ada polisi tembak polisi. Ada polisi tembak warga. Ada bekas pejabat MA kumpulkan uang suap. Ada kampus mencetak uang palsu. Ada jual beli doktor di kampus-kampus.
Di negeri ini, perilaku yang membusukkan negeri mendapatkan pencanggihan istilah menjadi korupsi. Dan, kemudian ditambahkan menjadi kolusi dan nepotisme dan diakronimkan menjadi KKN. Istilah KKN kian menjauhkan dari realitas kehidupan rakyat. Rakyat yang masih berjibaku dengan beratnya hidup sehari-hari, akibat kenaikan pajak, kian dijauhkan dari konsep pembusukan di negeri. KKN kemudian mendapatkan pembenaran menjadi “narik kanca kanca” atau narik teman-teman.
Kini posisi “pembusuk” negeri seperti dimuliakan. Akan dimaafkan atau diampuni jika mau mengembalikan kekayaannya. Berapa besar harta yang telah dikorupsi dan berapa besar harta yang harus dikembalikan, bukan sesuatu yang mudah untuk dihitung. Pasar gelap negosiasi akan terbuka. Upeti atau komisi bisa jadi jalan baru. Dalam persidangan terbuka kasus korupsi timah, majelis hakim mengamini kerugian negara Rp300 triliun dihukum 6,5 tahun penjara untuk terdakwa Harvey Moeis.
Menko Yusril Ihza Mahendra membela ide Presiden Pabowo. Presiden punya hak memberikan amnesti atau abolisi atau grasi. Hak itu memang ada di konstitusi. Tapi biasanya, amnesti atau abolisi lebih banyak diberikan kepada narapidana terkait dengan politik. Bukan untuk korupsi atau para pembusuk negeri. Berbeda lagi dengan pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Atgas. Politisi Partai Gerindra itu mengatakan, mekanisme untuk koruptor akan digunakan mekanisme denda damai yang dimiliki Jaksa Agung. UU Kejaksaan Agung memang memberi hak kepada Jaksa Agung untuk menetapkan denda damai untuk tindak pidana ekonomi, seperti kepabeanan atau bea cukai. Bukan untuk korupsi. Kepala Pusat Penerangan Hukum Harli Siregar mengatakan, “denda damai” bukan untuk tindak pidana korupsi tapi tindak pidana ekonomi.
Perdebatan di kalangan elite pemerintah itu menarik diamati. Bisa ditafsirkan ketika Presiden Prabowo berbicara soal kemungkinan pemaafan koruptor kajiannya belum tuntas. Bagaimana caranya. Padahal di Kabinet Merah Putih ada sejumlah guru besar hukum seperi Prof Dr Edward Oemar Hiariej, ada Prof Dr Otto Hasibuan yang seharusnya bisa diajak bicara bagaimana kalau ada program pengampunan koruptor. Bagaimana caranya?
Publik bingung dengan strategi pemberantasan korupsi pemerintahan Prabowo. Ada kesan terjadi pengistimewaan terhadap pembusuk negeri. Presiden bilang akan ada pemaafan, Menko Yusril mengatakan, pemidanaan koruptor tidak membawa manfaat bagi negeri, Menteri Hukum Supratman bilang akan ada denda damai. Kejaksaan Agung bilang “denda damai” tak bisa diterapkan untuk tindak pidana korupsi.
Sengkarut komunikasi di antara para menteri ini tidak elok. Publik bingung. Koruptor senang. Padahal sudah dibangun Kantor Komunikasi Presiden dengan sejumlah jubir-jubir handal yang selama ini diandalkankan berada di jajaran masyarakat sipil. Yang terampil berbicara di layar-layar kaca. Tapi sekarang juga sepi.
Saya teringat tulisan Pendiri Kompas PK Ojong, Kamis 28 Desember 1967 di Kompasiana. Saya kutipan beberapa alinea:
“Selama hari raja ini kami banyak bertjakap-tjakap dengan kawan dan kenalan. Jang pesimis sudah putus asa. Kata mereka, “Seluruh aparat negara menderita penjakit korupsi: tidak mungkin menjehatkannya kembali. Kaum pesimis ini kadang perlu juga didengar pandangannya. Dalam mentjari-tjari kelemahan dan keburukan mereka kadang lebih tadjam penglihatannya.”
Panjang lebar Ojong berargumen. Namun akhirnya dia sampai pada usulan. Perbaikan kelembagaan secara bertahap. “Pilihannya dapat berbeda tapi kami memilih untuk saran pertama adalah hakim-hakim kita. Adakan inventaris. Pilihlah unsur yang masih bersih. Adjaklah mereka. Adakan pembersihan. Djaminlah hidup yang masih ketinggalan. Naikkan gadji mereka. Perbaiki nasib mereka.”
Tulisan Ojong itu dipublikasikan di Kompas, 28 Desember 1967. Suasana kebatinannnya sama: korupsi merajelela. Sarannya memperbaiki aparatur lembaga dan dimulai dari korps kehakiman. Dalam konteks sekarang, pintunya ada. Mafia Peradilan yang melibatkan Zarof Rizar. Itu momentum untuk membersihkan mafia peradilan. Pembantu Presiden selayaknya mengarahkan Presiden Prabowo untuk memfokuskan diri pada mafia peradilan, bukan malah mengusulkan sesuatu yang bisa mendorong Presiden mengambil langkah yang salah. Tulisan Binziad Kadafi, (Hampir) Robohnya Pengadilan Kami (Kompas, 27 Deseember 2024), OTT Korupsi dan Masa Depan KPK (Syamsuddin Haris, Kompas, 27 Desember 2024), dan Memaafkan Koruptor Isyarat Negara Kalah, (Aswar Hasan, Kompas, 27 Desember 2024) cukup memberikan peringatan.
Seperti biasa, partai-partai politik memilih diam. Belum terdengar suara Ketua Umum Partai Golkar Bahlih Lahadalia, Ketua Umum PAN Zuklifi Hasan, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum PSI Kaesang Pengarep soal gurita korupsi dan rencana pemaafan koruptor. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga tak terdengar suaranya.
Mereka memilih tidak terlibat dalam wacana pemaafan pembusuk negeri. Partai politik seperti tengah mengalami disfungsi akut. Tugas mewakili kepentingan rakyat terabaikan. Syukur masih ada Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat UGM) Zaenur Rochman yang berteriak-teriak menentang kebijakan pengampunan pembusuk negeri. Masih ada kalangan kampus yang mampu menjaga kewarasan intelektual yang mencium ada yang janggal dalam wacana pengampunan koruptor.
Di tengah perayaan Natal, Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo menyoroti persoalan korupsi yang masih mengakar di masyarakat. Para koruptor telah mengingkari jati diri manusia yang paling dasar, yakni diciptakan untuk memuji dan memuliakan Allah. Mereka pun terseret dalam berbagai kepentingan dan melunturkan jati dirinya yang sejati.
Dalam konteks masyarakat, korupsi juga berkelindan budaya feodal yang masih berakar di Indonesia. Orang-orang yang hidup dalam kultur itu disebut hanya berpikir tentang kedudukan dan gengsi. ”Kalau orientasi hidup sudah seperti itu, segala macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan. Entah itu kekuasaan, gengsi, dan itu semua butuh uang. Terjadilah korupsi,” katanya.
Suharyo juga menyoroti pengungkapan kasus korupsi yang terjadi belakangan ini. Menurut dia, itu menunjukkan masalah pada sistem tata kelola negara dalam memberantas korupsi. ”Kita semua akhir-akhir ini mendengar, kok korupsi malah jadi alat untuk ’membunuh’, untuk mematikan, untuk menjegal orang. Korupsi dibiarkan supaya nanti pada waktunya bisa digunakan untuk kepentingan tertentu. Nah, itu politik yang kusut sebetulnya,” ujarnya.
Sahabat saya Akbar Faisal lewat akun twitternya mengatakan, “Mari kita gelar tikar…” ***
Leave a Reply